Rencana pernikahan Flavia ditunda selama menjalani terapi pemulihan kakinya akibat kecelakaan ketika menuju rumah sang kekasih. Namun siapa sangka, ia justru mendengar kabar perselingkuhan pria itu? Di saat terpuruk, Dokter Alessandro, yang menangani Flavia, pun menemaninya, seolah memberi perhatian tak terduga?! Sebenarnya, ada apa ini?
View More"Fla, aku akan mengajakmu untuk bertemu dengan orang tuaku, mereka akan membicarakan hubungan kita selanjutnya." Zafran, lelaki yang sudah lima tahun mengisi hari-hari Flavia dengan kebahagiaan.
"Se_sekarang?" Flavia melebarkan pandangannya dengan alis yang terangkat. Zafran mengangguk pelan dengan senyum yang terukir indah menghiasi wajah gantengnya. Pagi itu, langit Brebes cerah seperti biasa. Angin sepoi-sepoi menyapa Flavia yang duduk di belakang motor Zafran, tangannya memeluk erat pinggang pria itu. Mereka dalam perjalanan menuju rumah orang tua Zafran untuk membicarakan rencana pernikahan mereka. Flavia tersenyum bahagia, meskipun hatinya selalu diliputi sedikit kekhawatiran. Bagaimana tidak, Zafran adalah anak orang kaya, sedangkan ia hanyalah anak dari ibu yang hidup sederhana, tepatnya hanya sebagai pedagang kecil alias buka warung di rumahnya. “Kamu yakin mereka setuju sama aku, Mas?” tanya Flavia, mencondongkan sedikit tubuhnya untuk lebih dekat ke telinga Zafran. Zafran menoleh sebentar, senyumnya menenangkan. “Tentu saja, sayang. Mereka akan menerima kamu apa adanya.” Flavia mencoba percaya pada kata-kata Zafran, tapi hatinya masih terasa was-was. Pernikahan mereka adalah impiannya, tapi dia selalu takut akan perbedaan kelas yang begitu besar di antara mereka. Jalanan sedikit lengang, hanya beberapa motor yang melintas di sekitar mereka. Tapi tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah truk besar muncul dengan kecepatan tinggi. Zafran tak sempat menghindar. Hanya dalam sekejap, Flavia merasakan tubuhnya terlempar ke udara sebelum semuanya menjadi gelap. Di Rumah Sakit Flavia membuka matanya perlahan. Cahaya terang dari langit-langit rumah sakit membuat matanya sedikit perih. Rasa sakit yang menusuk di kakinya membuatnya ingin berteriak, tapi hanya suara lemah yang keluar. “Zafran?” bisiknya, mencoba mencari pria yang ia cintai. Suara langkah kaki mendekat, dan seorang perawat segera menenangkan Flavia. “Tenang, Mbak. Pacar Mbak baik-baik saja. Dia hanya luka ringan.” Flavia menghela napas lega. Namun, kebahagiaan itu cepat pudar saat ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Kakinya, yang kini terasa kaku dan sakit luar biasa, terbalut gips tebal. “Kaki saya kenapa, Sus?” tanyanya panik. Perawat itu tampak ragu, tapi akhirnya menjawab. “Kaki Mbak patah. Butuh waktu lama untuk sembuh... mungkin juga tidak akan bisa pulih sepenuhnya.” Mata Flavia membesar. Dunia yang tadi terlihat begitu cerah, mendadak runtuh di hadapannya. Bagaimana bisa dia melanjutkan hidup seperti ini? Apalagi rencana pernikahannya dengan Zafran? Beberapa saat kemudian, pintu terbuka pelan dan Zafran masuk. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap menunjukkan senyum hangat yang biasa. "Sayang, gimana perasaanmu?" tanyanya sambil mendekat. Flavia menatap Zafran, hatinya bergemuruh antara takut dan marah. "Kakiku, Mas... Mereka bilang mungkin nggak akan bisa pulih." Zafran terdiam. Jelas terlihat bahwa kabar itu sangat menghantamnya. Tapi dengan cepat dia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Kamu jangan khawatir, Sayang. Kita bisa lewati ini bersama. Aku akan tetap ada untukmu, menikah denganmu." Penundaan Pernikahan Hari-hari berlalu, dan Flavia mulai menjalani terapi pemulihan. Namun, pernikahan yang telah direncanakan selama bertahun-tahun terpaksa ditunda. Keluarga Zafran mengusulkan penundaan dengan alasan kesehatan Flavia, tapi Flavia tahu alasan yang sebenarnya. Di ruang tamu rumahnya yang sederhana, Flavia duduk di sofa dengan kaki yang masih dibalut. Ibunya, Ibu Mireya, duduk di sampingnya, menggenggam tangan Flavia dengan lembut. “Bu, gimana kalau Zafran ninggalin aku?” tanya Flavia dengan suara pelan, seolah ketakutan kalau kekhawatirannya akan menjadi kenyataan jika diucapkan dengan lebih keras. Ibu Mireya__ Ibu tiri Flavia mengelus punggung tangan anaknya. “Zafran orang baik, Nak. Kalau dia benar mencintaimu, dia nggak akan pergi begitu saja hanya karena kecelakaan ini.” Namun, kekhawatiran Flavia tidak bisa hilang begitu saja. Meskipun Zafran sering datang menjenguk, perlahan-lahan Flavia merasa ada jarak di antara mereka. Terkadang, dia melihat Zafran termenung lama saat bersua, seperti memikirkan sesuatu yang berat. Sore itu, Zafran kembali datang menjenguk. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya. Dia duduk di ujung tempat tidur Flavia, menghindari kontak mata. "Fla," suaranya berat, "aku ingin kita bicara serius." Jantung Flavia berdegup kencang. Ia tahu ini adalah momen yang paling ditakutinya sejak kecelakaan itu. "Apa maksudmu, Mas?" Flavia menatap Zafran, mencoba menebak apa yang akan dikatakan pria itu. Zafran terdiam beberapa saat, lalu menghela napas panjang. "Orang tua aku, mereka... mereka khawatir tentang kondisi kamu. Mereka bilang, kita harus menunda pernikahan lebih lama lagi. Sampai kamu benar-benar sembuh." Flavia merasa dadanya sesak. "Berapa lama lagi, Mas? Apa mereka... atau kamu... sudah nggak yakin lagi sama aku?" Zafran menggeleng cepat. "Bukan itu, Fla. Aku sayang sama kamu, tapi..." Suaranya terhenti, seolah-olah kata-kata yang ingin diucapkannya terlalu berat untuk dikeluarkan. "Tapi orang tua aku berpikir kalau, dengan kondisi kamu sekarang, mungkin kita harus memikirkan ulang semuanya." Deeggg!! Kata-kata itu menyayat hati Flavia. Dia terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. "Ka_mu mau batalin rencana pernikahan kita? Kamu mau meruntuhkan impian yang sudah kita rajut berdua?" Zafran tak langsung menjawab. Ia hanya memandang Flavia dengan wajah penuh rasa bersalah. "Bukan batalin, hanya menunda. Aku butuh waktu, Fla. Aku bingung. Aku nggak tahu harus gimana." Flavia merasa seluruh dunianya hancur. Kakinya yang patah mungkin bisa disembuhkan suatu hari nanti, tapi hatinya? Perasaannya pada Zafran? Mungkinkah semua itu bisa diperbaiki? "Semuanya berubah setelah kecelakaan ini, ya?" bisik Flavia dengan suara parau. Zafran berdiri, menatap Flavia sekali lagi sebelum berjalan menuju pintu. "Tidak ada yang berubah, semua masih sama, hanya saja aku lagi sibuk. Aku harap kamu mengerti." Flavia mengerutkan dahi dengan perasaan yang penuh amarah. "Mengerti? Harusnya kamu yang ngertiin aku, aku kayak gini juga karena kamu. Kamu yang sudah bikin kakiku cacat!" teriak Flavia. "Kamu gak bisa salahkan aku Fla, ini murni kecelakaan. Aku sayang sama kamu, mana mungkin aku mau mencelakaimu," ucap Zafran, ia tak mau disalahkan. Zafran mengelus lembut pucuk kepala sang kekaaih sebelum akhirnya pergi. Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Flavia yang tengah kalut. Air matanya akhirnya tumpah, dan dengan tangan gemetar, ia meremas selimut di atas kakinya yang kini menjadi simbol dari masa depan yang tak pasti. Dalam hati, Flavia tahu. Ini bukan hanya tentang waktu, atau penyembuhan. Ini adalah awal dari perubahan besar yang mungkin tak pernah bisa ia perbaiki lagi. "Maafin aku, Fla, sebenarnya bukan karena orang tuaku yang minta menunda pernikahan kita, tapi aku punya alasan lain yang tidak bisa aku jelaskan sekarang," ucap Zafran dalam hati. To be continued…"Benar, Mas. Kamu kan, Dokter, kamu pasti tahu caranya mengecek makanan untuk memastikan apakah ini aman atau enggak," sela Fla kemudian.Sang suami mengangguk lalu segera mengambil alat penguji makanan.Tatapannya penuh keteguhan. Ia sudah kehilangan Flavia sekali, dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.Di luar, hujan semakin deras, seolah ikut menciptakan ketegangan di dalam rumah itu.Sore itu, di dapur rumah besar keluarga Dokter Alessandro, suasana mendadak mencekam. Di atas meja, ada dua bungkus rujak buah dan asinan yang baru saja diterima dari orang tak dikenal. Alessandro—seorang dokter berpengalaman—menggunakan alat khusus untuk menguji kandungan makanan tersebut.Flavia, istrinya yang tengah hamil empat bulan, berdiri di sampingnya dengan ekspresi tegang. Pak Maximus, satpam yang berjaga di rumah itu, ikut menyaksikan dengan waspada.Beberapa detik kemudian, alat uji berbunyi nyaring. Alessandro menatap hasilnya, lalu menoleh ke arah Flavia dengan wajah menger
Perlahan Dr. Ale membukanya dengan dahi yang mengernyit."Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tak seorang pun bisa."Alessandro menatap surat itu dengan rahang mengeras, sementara Flavia yang membacanya di sampingnya merasakan ketakutan menjalari tubuhnya.Mereka berpikir semuanya telah selesai. Tapi ternyata, badai baru saja dimulai."Valeri ... kau sungguh tidak waras. Aku dulu serius sama kamu, tapi kamu malah menduakan aku. Bahkan, sampai hamil dengan pria itu. Gimana bisa aku memaafkan pengkhianatan seperti itu? Kalau belum ada anak, mungkin aku bisa," gumam dr. Ale yang masih bisa didengar sang istri di sampingnya."Valeri benar-benar nekat ya, Mas. Dia gak takut apa kalau nanti kita laporkan dia ke polisi," sahut Fla menambahi."Dia sering mendapat kekerasan dari suaminya, dan pernah bilang kalau dia gak bahagia karena suaminya kasar dan temperamen. Hingga mungkin dia sekarang baru menyesali perbuatannya hingga sampai kehilangan kewarasannya," papar sang suami sambil merengkuh
Flavia duduk di tepi ranjang, tangannya refleks membelai perutnya yang mulai membesar. Senyum kecil terbit di wajahnya, membayangkan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Namun, ketenangan itu seketika pecah saat sebuah notifikasi masuk ke ponsel suaminya, Dr. Alessandro, yang tergeletak di atas nakas.Flavia menoleh. Biasanya, ia tidak pernah iseng membuka ponsel suaminya, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang mendorongnya untuk melihat pesan itu. Dengan sedikit ragu, ia meraih ponsel itu dan membuka aplikasi biru yang menampilkan pesan masuk dari Valeri.Sang suami yang berparas rupawan itu tengah di dalam kamar mandi dan baru saja masuk.Darahnya seketika membeku. Sebuah video berdurasi lima menit terlampir dalam pesan itu. Jantungnya berdebar kencang saat jarinya dengan gemetar menekan tombol putar.Di layar, terlihat suaminya—pria yang begitu ia cintai—berada di sebuah apartemen. Bajunya terlepas, dan di hadapannya ada Valeri yang hanya mengenakan gaun tidur tipis.
Hari ini adalah hari yang dinantikan. Setelah beberapa hari dirawat akibat kecelakaan yang menyebabkan tangan kanannya patah, akhirnya Dr. Alessandro bisa pulang. Meski kondisinya belum sepenuhnya pulih, dokter sudah mengizinkannya menjalani rawat jalan di rumah.Dr. Severino—adik Alessandro yang kini bertugas di Jakarta—datang untuk menjemputnya. Mereka memang sangat dekat, meskipun jarak memisahkan mereka karena tugas masing-masing. Saat Sever mengurus administrasi di resepsionis, Alessandro duduk di kursi roda sambil menghela napas panjang."Sudah nggak sabar pulang, ya?" tanya Sever sambil tersenyum setelah selesai dengan administrasi."Jelas," jawab Alessandro. "Kasihan Flavia, dia sendiri sedang hamil , masih harus mengurusku juga."Sever mengangguk paham. Ia tahu betapa besar cinta Alessandro pada istrinya. Flavia bukan hanya sedang hamil, tapi juga memiliki keterbatasan pada kakinya akibat kecelakaan yang dialaminya dulu. Tapi semua itu tak membuat Alessandro mencintainya kur
Ruangan ini masih berbau obat dan antiseptik khas rumah sakit. Aku duduk di kursi sebelah ranjang Dr. Ale—suamiku—yang terbaring dengan tangan kanannya dibalut gips. Kecelakaan itu hampir merenggut nyawanya. Sialnya, semua ini diduga karena satu orang, Zafran.Aku menghela napas berat, menatap wajah suamiku yang pucat. "Jadi, kamu yakin kalau Zafran yang menyebabkan kecelakaan ini?" tanyaku, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak.Dr. Ale menatapku dalam. "Aku tidak bilang yakin, tapi aku menduga dia melintas mendadak di depanku. Aku refleks banting setir dan..." Ia menggantungkan kalimatnya, seolah mengingat kembali momen mengerikan itu.Tanganku mengepal di atas pangkuan. "Kalau memang dia sengaja, aku tidak akan tinggal diam."Dr. Ale tersenyum tipis. "Jangan gegabah, sayang. Ini masih dugaan."Dugaan atau bukan, aku tahu bagaimana Zafran dan Aurellia. Mereka sudah cukup menyakiti aku di masa lalu. Sekarang mereka kembali muncul dan membawa malapetaka lain."Kamu tenang, jaga
Kabar Tak TerdugaFlavia merasa dunianya berputar saat mendengar kabar mengejutkan itu. Dr. Alessandro, suaminya yang penyayang dan selalu sabar menghadapi segala keadaan, mengalami kecelakaan. Tangan Flavia gemetar, bibirnya bergetar tanpa kata, dan kakinya terasa lemas. Dengan segera, ia gegas turun ke lantai bawah, niatnya untuk memberi tahu mertuanya, Ibu Sofia dan Bapak Maximus.Namun, langkah Flavia terhenti di depan pintu kamar mertuanya. Ia berdiri di sana, mondar-mandir dengan cemas. "Bagaimana cara mengatakannya? Aku gak enak malam-malam gini ganggu. Bagaimana kalau mereka syok?" pikirnya sambil menghela napas panjang. Ia menggigiti ujung kukunya, dadanya naik turun tidak karuan.Severus, adik iparnya yang berusia 30 tahun, muncul dari arah dapur. Ia membawa segelas air, tetapi langkahnya berhenti ketika melihat Flavia yang tampak panik di depan pintu kamar ibunya."Kak Flavia?" tegurnya dengan alis terangkat. "Kenapa mondar-mandir di situ? Ada apa sih, kelihatannya pani
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments