Share

Hatimu Terlalu Keras, Mas!

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)

***

Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya. 

Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.

Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan. 

Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?

Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati. 

Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku. 

“Mana kemejaku, hari ini aku ada meeting penting. Kamu siapkan jasnya juga, dan dasinya juga!” suruhnya, nada bicaranya terdengar sebuah perintah. Namun, tidak membuat seorang Bella Putri Sahpira meninggalkan kegiatannya. 

“Kamu dengar gak sih, Bell. Apa yang suamimu barusan bilang!” teriaknya, suaranya itu makin melengking tinggi.

“Suruh saja sana Clarissa yang siapkan,” jawabku enggan meliriknya. 

Aku bisa melihat wajah Mas Faiz padam dari pantulan kaca. Menahan senyum agar tidak melebar di sudut bibir, pura-pura tak terjadi apa pun di antara kami, itu hal yang melelahkan.

Percayalah, jika sebuah ikatan sudah di lumuri dengan noda, jangan harap rasanya akan sama. Pasti banyak perubahan, terutama sikap dan perilaku. 

“Loh, kenapa jadi Clarissa? Dia enggak ada di sini, lagian itu tugasmu sebagai seorang istri. Jangan mulai membangkang ya kamu, Bell!” ketusnya. 

Aku lantas memutar badan, berdiri di depannya. 

“Udah bisu kamu Bell, sampai gak bisa jawab omongan orang,” lanjutnya. 

Tidak bisa dipungkiri, Mas Faiz terlihat seperti sedang menahan emosi. Apa aku sebegitu menyebalkan dimatanya? Sampai ia harus menarik napas berkali-kali. 

“Bella, aku bisa main tangan kalau kamu gak nurut. Udah sana, buruan kamu siapkan kemejaku,” ujarnya lagi. 

Aku memainkan rambut, lalu menaikturunkan alisku. Tidak sama sekali mengidahkan perintahnya. 

“Bukan maksud aku jadi istri pembangkang, apalagi Istri yang durhaka, Mas. Bagaimana caramu memperlakukanku, itu lah yang kulakukan padamu.”

Mas Faiz cukup terkejut mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Prinsip hidup yang sederhana, perlakukan seseorang, seperti yang ia lakukan padamu.

“Bella, kamu ini kenapa sih? Dari kemarin Clarissa datang sampai hari ini, kamu cureng terus, mulutmu itu makin gak di filter. Aku cuman selingkuh, belum juga nikah!” sangkalnya. 

Ya Tuhan, cuman selingkuh, katanya. 

Aku menarik lengan Mas Faiz, memintanya menghadap kearah cermin yang kini ada di depan kami.

“Coba sekarang kamu ngaca, Mas. Paras seseorang itu bisa luntur dimakan usia. Harta bisa habis, yang tersisa cuman hati doang. Di dunia ini semua itu titipan, terus apa yang kamu banggakan sampai bisa sekejam ini?” tanyaku, netra Mas Faiz menatap lurus ke cermin. Syukur-syukur kalau ia segera sadar, kalau tidak. Wallahu a'lam ...

“Maksudmu itu apa Bella? Dosa apa yang aku lakukan, selingkuh itu bukan dosa?” Aku seketika tercengang mendengar pembelaannya. Mas Faiz sudah gila, selingkuh dibilang tidak berdosa. 

Terserah kamu lah, Mas. Percuma bicara pada orang yang hatinya sudah gelap. Nuraninya sudah tertutup oleh nafsu. 

“Ya Tuhan Mas, perbanyak istighfar. Terserah kamu lah, makin hari tampang kamu makin kelihatan, selingkuh itu nikmat sesaat, kalau selamanya itu bagian dari yang kamu tanam,” ujarku kemudian menyambar tas. Entah ia bisa menyerap kalimatku atau tidak. Itu urusannya. 

“Kamu itu yang harusnya tobat Bella. Kamu istri yang gak tahu diri, gimana aku tidak selingkuh, kamu udah gak becus urus aku. Clarissa itu segalanya, dia wanita baik, cantik, cerdas. Kamu sama dia gak ada apa-apanya, dia lebih sempurna dari kamu.”

Omong kosong, Mas ... Mas!

“Oya Mas? Kamu bisa bicara begitu karna kamu belum merasakan penyesalan. Nanti kalau kamu menyesal, ingat satu hal, yang pergi belum tentu kembali, yang kamu lepas, belum tentu jadi milikmu lagi. Tolong kamu ingat itu, bila perlu, catat di jidat!”

Aku langsung pergi meninggalkannya, menutup pintu kamar rada kencang, tidak kuperduli teriaknya memintaku berhenti. Dengan cepat, aku tetap menuruni tangga. 

“Bella, kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara!”

“Bella, stop, kamu setrika kemejaku dulu baru pergi!”

“Bella!”

“Arggh, sialan! Istri gak berguna!” Masih kudengar makiannya. 

Beruntung semalam aku telah berhasil mendapatkan surat-surat penting, dan kartu atm-nya. Sejumlah uang juga sudah kutranfer ke nomor rekeningku. 

Kini saatnya bersenang-senang, dan kembali lagi ke sini, jika membutuhkan tanda tangannya. 

“Terus lah lengah Mas, sampai semua yang kurencakan jadi kenyataan,” gumamku. 

Aku lekas masuk mobil, menjemput Isna di rumah Mama. Sebagian pakaian Isna sudah kukemasi, dan pakaianku juga. Tak lupa semua surat penting juga kubawa. 

Aku menyalakan mobil, sebelum roda empat milikku melaju, aku sempatkan sejenak membaca pesan yang masuk ke ponselku. 

Kak Fahmi. 

[Kamu jemput Isna, rencana akan dimulai hari ini. Saya sudah menyuruh orang untuk memata-matai Faiz. Suamimu itu memboking hotel untuk tiga hari berturut-turut. Kamu tahu kan? Apa yang harus kamu lakukan?] Aku menyeringai lebar, kalau begitu aku akan mengabari orang tuaku. 

Memboking hotel untuk tiga hari berturut-turut, itu artinya aku masih ada waktu mempersiapkan secara matang rencanaku. 

Saatnya bermain, sudah cukup pemanasannya. 

Aku akan membuatmu, dan gundikmu itu senam jantung. 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
Putri
ini baru cerita menarik.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status