Share

Kuras ATM-nya

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6)

***

Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. 

“Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. 

Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. 

Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. 

Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai.

Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh tersebut, kemudian mengaduknya. Tak lupa bungkusnya kumasukkan kembali ke saku piayamaku. 

Helaan napas panjang kuambil. 

Ini bukan arti dari segalanya, tekankan sekali lagi, aku belum kalah. Aku belum menyerah. Dan aku bisa membuat mereka menderita. Walaupun dengan cara yang menurut di beberapa pasang mata tidak masuk akal. 

Jujur aku sudah muak, tapi mengingat semua aset yang Mas Faiz punya baru kuurus. Mau tidak mau aku harus menetap di sini, sampai tujuanku selesai. 

Sambil membawa secangkir teh, aku menyusul Mas Faiz ke kamar. Akting sedikit tidak akan membuatku rugi. 

***

Pelan-pelan aku membuka pintu kamar, kemudian melangkah masuk, barulah setelah itu pintunya kututup kembali. 

Kulihat Mas Faiz sudah duduk di tepian ranjang. Ia tak henti-hentinya tersenyum, aku yakin dirinya itu sedang bertukar pesan dengan selingkuhnya itu. 

Hari ini kamu boleh bahagia, tapi jangan lupakan fakta, kalau hidup tidak selamanya soal kebahagiaan. Bisa saja dari senyummu hari ini, kamu harus membayarnya mahal nanti, Mas. 

“Lagi ngapain Mas?” tanyaku seraya menaruh teh di nakas. Mas Faiz menoleh, ia langsung memasang raut wajah datar. 

Tahan, Bella. Batinku.

“Punya mata kan, bisa lihat,” jawabnya ketus. Aku geleng-geleng kepala, terlintas ia dan Clarissa yang keluar masuk kamar mandi. Boleh dicoba lagi, tapi nanti lebih dari yang mereka rasakan tadi. 

“Ini aku buatin kamu teh, Mas.” Aku terus mengamati gerak-gerik Mas Faiz, apa yang ia ketik, dan kirim di ponselnya tidak luput dari perhatianku. 

“Biarin aja di situ, kenapa tatap terus?” tanyanya tidak nyaman. 

Aku menggelengkan kepala, lantas berpindah duduk di sampingnya. 

“Tehnya minum dulu, nanti dingin,” kataku lagi. 

Mas Faiz berdecak, ia tanpa menjawab mengulurkan tangan ke kiri, mengambil secangkir teh yang gumpalan asapnya mengambang di udara. Lalu menyeruputnya sembari jarinya itu menari-nari di layar. 

Satu detik berlalu, mulai ada perubahan yang Mas Faiz tunjukan. Ia menguap, sambil menaruh kembali teh tersebut ke nakas. 

“Mas, kok tiba-tiba ngantuk gini,” ucapnya, beberapa kali matanya itu mengerjap. 

“Tidur Mas." 

Kalau perlu, gak bangun juga gak pa-pa, imbuhku dalam hati. 

Mas Faiz merebahkan dirinya, aku masih setia menunggunya sampai matanya itu benar-benar terpejam. 

Setelah memastikan ia tertidur, aku lekas menyambar benda pipih miliknya. Berjalan menuju sofa yang ada di kamar, mendaratkan pantatku di sana. 

Aku memasukan pin untuk membuka ponselnya, masih kuingat angka berapa saja yang ia ketik. 

Usai terbuka, aku langsung meluncur ke aplikasi M-banking miliknya. 

Sandinya di ganti, sialan, tapi tenang. 

Aku keluar dari aplikasi itu, terjun ke note. Biasanya Mas Faiz akan mencatat sesuatu di sini. 

Benar dugaanku. 

Aku mengingat sandi atmnya, kemudian membuka lagi aplikasi M-banking. Dan tanpa basa-basi lagi, aku mengirim sejumlah uang yang kutujukan ke nomor rekeningku. 

Ada bukti transaksi juga di sini.

Dahiku berkerut, 30 juta ke Clarissa. 

Brengs*k, aku akan meminta uang itu kembali dengan caraku ini. 

Persetan dengan privasi, aku membuka aplikasi berwarna hijau yang ada di ponsel Mas Faiz. Mengirim pesan beserta foto pada Clarissa. Yang dimana, foto tersebut aku ambil dari ponselku. 

[Jelaskan apa ini? Selama ini kamu tipu Mas yah?] Begitulah kira-kira pesan yang kukirim, menyelipkan sebuah foto Clarissa dan Kak Fahmi. Dalam foto tersebut wajah Kak Fahmi tak terlihat. 

Hanya berselang satu menit, Clarissa sudah mengirim belasan. 

[Aku bisa jelaskan semuanya, Mas. Kamu jangan salah paham dulu.]

Najis, penuh drama. Dan apalagi yah, ia sangat cocok jika bersanding dengan Mas Faiz. Satunya tak punya hati, satunya lagi tidak tahu diri. 

[C'k, Bangs*t kamu Clarissa. Kembalikan uang yang tadi Mas transfer. Atau hubungan kita berakhir.]

[Tapi Mas, uang itu kan jatahnya untuk belanja.]

[Ya sudah jangan hubungi Mas lagi kalau begitu.] 

Aku menahan tawa, pasti diseberang sana, si jalang ini sedang panik sekarang. 

[Baiklah Mas, aku akan tranfer kembali.] Balas Clarissa disertai emoticon menyedihkan. 

[Buruan, Mas tunggu tiga menit.] 

Aku terkekeh, mudah sekali ternyata. 

Sampai tiga menit berlalu, lebih beberapa detik. Ada notifikasi M-banking masuk. Tanpa bacod lagi, aku langsung mentransfer uang tersebut ke nomor rekeningku. 

[Mas please jangan tinggalin aku. Udah kukembalikan uangnya.] 

Sekadar kubaca saja, selepas itu aku menghapus pesannya agar Mas Faiz tidak curiga. Kalau nanti Clarissa mengadu padanya, aku tinggal tunjukan bukti tadi. Pasti Clarissa akan bungkam.

Tak lupa juga, aku menghapus aplikasi M-banking di ponsel Mas Faiz. Kemudian aku meletakkannya kembali ke posisi semula. Lalu beralih ke dompetnya. Tak tanggung-tanggung, aku mengambil dua ATM Mas faiz. 

Next?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Citra Afrilia021
mantap banget ceritanya kak.gini nih yng aku suka pemeran utama harus kuat jngn selaly di tindas gregek aku kadang2
goodnovel comment avatar
Fahmi
Sesuatu yang dilakukan sangat menarik
goodnovel comment avatar
Putri
permainan cantik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status