Share

Menjemput Isna

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)

****

Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam. 

Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali. 

Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku. 

Tok ... Tok ...

Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.

Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar. 

“Bella,” sapa Mama sumrigah. 

Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.

Bukannya aku ini tidak percaya, tapi hanya berjaga-jaga. Sebagian luka biasanya berawal dari orang yang kita anggap istimewa. Contoh kecilnya saja, Mas Faiz. Bukan kah selama ini aku begitu percaya padanya, tapi apa balasan yang ia berikan. Kalian tahu sendiri kan.

“Kamu datang sendiri, mana Faiz?” tanya mertuaku. 

“Biasa, Mas Faiz lagi kerja. Mama kan tahu sendiri, anak Mama itu sibuknya kayak apa,” jawabku sambil mengulas senyum palsu. 

Mama menarikku masuk kedalam rumah, kulihat tadi mobil Kak Fahmi ada di sini. Oya, aku lupa, ini kan rumahnya juga. 

“Kok sepi Ma, Isna-nya mana?” Aku celingukan mencari keberadaan putriku, Isna. 

“Ada,” jawab Mama. Ia menyuruhku duduk dulu, dan akan memanggil Isna. 

“Kamu duduk dulu, Mama panggil cucu Mama, sekalian bikinin kamu teh,” ujarnya. 

Aku menanggapinya dengan sebuah anggukan kepala, dan lekas mendudukan diri, mengarahkan bola mata menelusuri ruangan, tidak kutemui Papa mertua, atau Kak Fahmi. Apa mereka sudah berangkat kerja, tapi mobil kak Fahmi. Argh entah lah. 

“Mama.” Refleks aku menoleh kala mendengar suara putri kecilku. 

Kurentangkan kedua tangan, dan disambut hangat oleh Isna. 

“Putri Mama, udah cantik aja. Enggak repotin nenek kan?” tanyaku sambil mengangkat tubuh kecil Isna, lalu mendudukannya di pangkuanku. 

“Enggak dong Ma, di sini enak. Tadi malam Om Fahmi bacain Isna dongeng sebelum tidur.” Seketika aku melirik Mama, mendengar ocehan lugu dari putriku membuatku tidak enak. 

“Sering-sering bolehin Isna menginap di sini yah Bell, biar rumah ini ramai. Sih Fahmi gak mau nikah, katanya masih nungguin orang,” ujar Mama. 

Aku tersenyum nanar, wanita itu belum tahu saja, kalau anak sulungnya itu di tikung oleh adiknya sendiri. 

Biarlah, nanti juga akan terbongkar dengan sendirinya. Bangkai kalau lama-lama di tutupi, aromanya pasti tercium juga. 

“Jelas Ma, nanti Bella atur waktu.”

“Yeh, Isna bakalan sering tidur di sini, Nek,” kata Isna gembira, binar kebahagiaan terpancar di wajah putriku. 

“Ya Tuhan Bell, Mama sampai lupa bikinin kamu teh.” Mama langsung bangkit dari sofa, belum sempat aku berbicara, wanita paruh baya itu sudah berlalu menuju dapur. 

“Nenek mau kemana Ma?”

“Bikin teh, kita pulang yuk, Na.” tuturku pada Isna, aku menyatukan rambutnya, kemudian kuikat jadi satu. 

“Pulang ke rumah,”

“Bukan, kita ke rumah Omah, nanti kita shoping-shoping bareng omah,” jawabku. 

“Omah? ayo Ma. Isna juga kangen sama Omah,” ujarnya antusias.  

Aku tak bisa berlama-lama di sini, semakin mengulur waktu, banyak kesempatan yang justru terbuang. 

“Kita pamit dulu yah,”

“Ayo.”

Aku menurunkan tubuh Isna, menjinjing tas, lalu menggandengnya menuju dapur. 

“Loh kamu kok ke sini Bell? Bukannya nungguin Mama diruang tamu,” ucap Mama yang sedang menyeduh teh. 

Aku menatap Isna, lalu menatap punggung Mama bergantian. Ia masih sibuk dengan kegiatannya. 

“Nenek, aku sama Mama, mau pulang. Yah kan Ma?”

“Iya Ma, kami ada urusan soalnya,” sambungku. 

Mama menengok kebelakang, wajahnya seketika murung. Aku jadi tak enak hati, tapi mau bagaimana lagi. 

“Loh kok cepet banget sih Bell. Kan baru aja sampai,” keluh Mama. 

Aku melepas genggaman tanganku dari Isna, lantas mendekati Mama. 

“Maaf banget Ma, aku sama Isna ada urusan. Nanti kita ke sini lagi,” ujarku menghibur Mama. 

Gadis kecilku itu menghampiri kami, Mama berjongkok, menjajarkan postur tubuhnya agar sejajar dengan Isna. 

“Nenek nanti Isna ke sini lagi yah, nenek jangan sedih,” tutur putriku, Mama Mertuaku tersenyum mengembang, ia mencium pipi cucunya. 

“Padahal Nenek masih pengen loh main sama Isna. Tapi ya udah lah, gak pa-pa,” jawab Mama. 

Kami pun akhirnya pamit pulang, aku menggendong Isna sambil berjalan keluar rumah, di samping ada Mama yang menghantar kami sampai depan. 

“Sering ke sini yah Bell,” ulang Mama lagi. 

Aku menganggukkan kepala, membuka pintu mobil, dan mendudukan Isna di sana. Tak lupa memasang sabuk pengaman. 

“Aku pamit pulang yah Ma, ada sesuatu yang harus aku urus. Apa pun yang akan terjadi nanti, Mama tetap Mama buat aku.” 

Mata Mama menyipit, dahinya nampak mengerut. Mama pasti bingung kenapa aku mengatakan hal seperti itu. 

Yah sebagai bentuk persiapan diri. 

Bukan hanya aku yang harus menyiapkan mental, keluarga Mas Faiz juga. 

Jika aku hancur, itu artinya Mas Faiz harus lebih hancur dariku. Biar sama-sama merasakan, entah yang kulakukan ini benar atau salah. Yang jelas, rasa sakit ini sudah mendarah daging. 

“Kamu kok ngomong gitu Bell?”

“Gak pa-pa kok Ma, cuman mau memastikan aja. Ya udah, aku sama Isna pulang,” ujarku mengalihkan pembicaraan. 

Mama membuka kan pintu mobil, segera aku mendudukkan Isna di samping kemudi. Memasang sabuk pengaman. 

“Uuh, cucu Nenek, nanti ke sini lagi yah. Atau besok, pas sekolah nenek antar,” ujar Mama, Isna ini baru masuk TK. Mertuaku sering menghantar dan menemaninya sekolah. 

“Siap Nenek,”

“Hati-hati bawa mobilnya,” tutur Mama padaku. Diri ini bergerak memeluknya, intinya sama-sama saling menguatkan. Meski Mama belum tahu duduk perkaranya. 

“Iya, Ma, aku bawa mobil pelan-pelan,” jawabku. 

“Bella.” 

Tiba-tiba Kak Fahmi datang, langkah panjangnya itu mengarah ke sini. 

“Ada apa Fahmi?” tanya Mama. 

“Hmzz, aku mau numpang Bella, Ma. Mobilku mogok. Gimana Bell, boleh?” Aku tahu itu hanya alasan Kak Fahmi saja. Satu sisi, aku tak enak menolak, tapi di sisi lain takut jadi fitnah. 

“Sama Bella aja kalau gitu, gak pa-pa kan Bell. Ini mobil Fahmi mogok katanya,” ulang Mama. 

Aku memberikan kunci mobilku pada Kak Fahmi sebagai jawaban. 

“Aku berangkat, ada meeting hari ini,”

“Kebiasaan, kalau kerja pasti terlambat. Mentang-mentang perusahaan milik sendiri aja,” cibir Mama. 

Kak Fahmi masuk ke dalam mobil, sedangkan aku duduk memangku Isna. 

Aku melambaikan tangan pada Mama, merasakan mobilku melaju meninggalkan pekarangan rumah mertua. 

Sesekali melirik Kak Fahmi, wajahnya datar, keheningan terasa karena Isna yang semula berceloteh kini tertidur pulas. 

“Bagaimana Bella? Kamu mau kemana sekarang?” tanyanya. 

“Maksud Kak Fahmi, bukannya ada meeting.”

“Semua pekerjaan saya sudah ada yang handle. Kamu bawa semua berkas yang saya butuhkan?”

“Ada di jok belakang,” tuturku. 

“Baiklah, kalau begitu kita ke rumahmu. Kamu harus jujur pada orang tuamu, soal orang tua saya. Itu nanti urusan saya,” tukasnya lagi. 

Aku menghela napas berat, menaruh kepercayaan pada Kak Fahmi, entah ini salah atau benar. 

“Aku ikut aja, otakku buntu sekarang, gak bisa mikir,” 

“Jangan terlalu dipikirkan, di luar sana suamimu sedang kelimpungan,” ucapnya.

Setelah itu tidak ada lagi obrolan, kak Fahmi fokus ke depan, beberapa kali ponselku bergetar, pertanda ada notifikasi pesan masuk. Saat kucek, rupanya dari Mas Faiz. 

[Bella kirim Mas uang, ATM Mas ketinggalan di rumah.]

[Tolong Bell, Mas lagi nemenin Clarissa belanja. Atau enggak, kamu ke sini aja. Mas ada di Mall.]

[Bell, jangan cuman di read. Jawab dong.]

Begitulah isi pesan yang Mas Faiz kirim, persetan. Aku tidak perduli. Itu urusannya. 

Memilih menonaktifkan ponsel, dan membayangkan ia kelimpungan di sana. 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Novi Crewet
mantap Bella aku mendukung tindakan mu.
goodnovel comment avatar
Efa Ockta Efa
kalo mau hartanya kan fahmi juga kaya bos lg punya perusahaan ko malah ngembat adeknya
goodnovel comment avatar
Putri
kasihan ibu mertua baik tapi anak brengsek.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status