Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (5)
****
“Faiz selingkuh?” tanyanya menyelidik.
Aku menganggukan kepala, membenarkan pertanyaan itu.
“Iya, Mas Faiz selingkuh. Simpananya baru saja ke sini, mereka menjalin hubungan entah berapa bulan,” jawabku sambil memainkan kuku.
Aku menunduk, tidak yakin jika beradu tatapan dengan Kak Fahmi.
“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Oh ayolah, kalau tidak bisa memahami posisiku. Setidaknya berhenti bertanya ini-itu.
Ia ini bertanya, apa sedang menjelaskan ...
“Apa aku terlihat seperti bicara omong kosong. Terserah Kak Fahmi mau percaya atau tidak,” seruku.
Hembusan napas kasar terdengar keluar dari rongga hidungnya.
“Kamu diam, Bella?”
“Untuk apa bertanya itu, diam atau tidaknya aku, bukan urusan Kakak.”
Kak Fahmi berdecik, ia terus menatapku tanpa kedip.
Berapa kali aku sampai membahasi tenggorokan, berusaha untuk tetap tenang.
“Kamu biarkan Isna tahu, dia masih kecil, Bella. Apa susahnya kamu panggil pak RT ke sini, sekalian bawa warga.”
Keningku langsung mengernyit kala mendengar penuturannya.
“Kak Fahmi bisa ngomong begitu karena gak ada di posisiku! Aku bisa saja panggil pak RT suruh datang ke sini, tapi Isna, dia ada di rumah ini. Kalau Isna lihat pertengkaran besar, apa nanti gak semakin tertekan. Aku harus apa sekarang? Sedangkan putriku terus menyebut nama Papanya yang bajingan itu, coba katakan, apa aku harus bicara pada Isna. Mengatakan bahwa Papamu selingkuh Nak, lalu mengajaknya pergi dari sini. Begitu? Semudah itu?”
Kak Fahmi terdiam, ia memijat pangkal hidungnya.
“Kenapa tidak bercerita pada saya, Bella.”
“Mas Faiz baru mengenalkan gundiknya siang tadi.”
“Lalu kamu ambil langkah apa, bercerai, atau bertahan?”
“Apa Kak Fahmi tidak bisa melihat wajahku yang sudah muak ini, tentu saja aku memilih bercerai,” teriakku kesal.
Kak Fahmi melotot, giginya nampak beradu.
“Lantas siapa wanita itu? Kamu mengenalnya?”
“Tidak! Tapi aku tahu namanya, Clarissa,” tuturku.
Lagi-lagi Kak Fahmi terkejut, ia dengan cepat mengeluarkan gawainya, lalu menunjukkan sebuah foto padaku.
“Wanita ini?” tanyanya.
“Benar Kak, dia selingkuhan Mas Faiz, seperti yang kubilang, namanya Clarissa.”
Sialan, umpatan kasar langsung keluar dari bibir tebal itu. Dalam hitungan detik, raut Kak Fahmi makin menunjukkan perubahan, ia terlihat marah dengan rona padam yang terpancar di wajahnya.
“Sialan, C'k, wanita gak tahu diri, bisa-bisanya dia selingkuh dengan adik saya!”
Aku cukup kaget mendengar pengakuannya, tunggu, jadi ini benar. Yang kuduga itu ternyata benar. Kak Fahmi ada hubungan dengan Clarissa. Fiks, ini cinta segi tiga.
Dikhianati adik sendiri tak kala menyakitkan.
“Terus rencanamu apa Bell?”
“Kak Fahmi masih waras? Tidak ada niatan menghajar Mas Faiz begitu?”
“Jangan bercanda kamu, Bella, saya belum menikah dengan Clarissa, rencananya Minggu depan saya akan memperkenalkan Clarissa pada orang tua saya, tapi sepertinya akan saya batalkan. Lebih baik saya menunggu seseorang,” paparnya.
Ya terserah, itu urusannya, hak dia juga.
“Apa Kak Fahmi bisa di percaya?”
“Tentu saja, saya akan membantumu. Lagian biar adik saya sadar juga,” ucapnya.
Aku manggut-manggut, dan mulai menjelaskan semua rencana yang telah kususun. Kak Fahmi tidak menyelanya, melainkan ia mendengarkan dengan baik ucapanku.
“Kalau semuanya bisa diakhir dengan baik-baik, aku tidak mau meninggalkan kesan buruk. Intinya besok aku datang ke pengadilan, dan mengurus semuanya,” ungkapku lagi.
“Kamu sudah ambil sertifikat rumah ini, dan berkas penting.”
Aku mengangguk kecil, lalu menjawab. “Sudah, sebagian uangnya juga,” ujarku padanya.
“Saya akan membantumu mengurus semuanya. Jika pilihan yang kamu ambil itu sudah kamu pertimbangan lagi,”
“Aku tidak membutuhkan pendapat Kak Fahmi, yang kumau, Mas Faiz dan selingkuhannya menderita, yah pacar Kakak itu lebih tepatnya.”
Kak Fahmi tertawa kecil, tawa yang terdengar menyeramkan bagiku.
Ia dingin, dan kata Mas Faiz, kakaknya itu penuh misteri.
“Tidak usah khawatir, Tuhan tidak tidur. Faiz akan menuai apa yang dia tanam, cepat atau lambat,” tuturnya.
Aku mendongak sedikit, pusing sendiri. Entah di mana Mas Faiz, kalau boleh jujur, rasa perduliku sepertinya sudah hilang tergerus rasa sakit.
“Aku tidak bisa bertindak dengan bebas, harus memikirkan banyak hal. Apa yang kulakukan ini akan berdampak buruk pada Isna atau tidak. Perpisahan memang menyakitkan, tapi akan lebih sakit jika bertahan dirumah yang sudah tidak layak untuk ditempati,” ungkapku.
Kak Fahmi menyugar rambutnya kebelakang, ia menggulung lengan kemejanya sampai sikut.
“Jangan buru-buru menggungat cerai Faiz, setidaknya sampai rumah ini menjadi milikmu,” katanya.
Ada benarnya juga yang Kak Fahmi katakan, kalau aku tergesa-gesa, dan tidak cukup persiapan, aku bisa kalah. Dan Clarissa, bisa memiliki semua ini. Tidak boleh, aku lah yang berhak, karena aku yang menemaninya berjuang. Kalau Clarissa mau, ia harus memulai semuanya dari nol bersama Mas Faiz.
“Kalau begitu rencana awal dibuang, langsung serang saja,”
“Kalau itu saya setuju, bahwa Isna pergi. Dan pastikan, kamu cukup punya kekuatan untuk melawan,” ujarnya lagi.
Kali ini aku tidak paham maksud bicaranya. Tapi aku mengerti, rencana awal yang harus di buang. Itu tandanya langsung ke inti, aku harus melibatkan keluarganya dan keluargaku untuk proses penggeberekan.
“Tidak perlu khawatir Kak, aku belum kalah. Dan mas Faiz belum tentu menang. Masih ada waktu untuk menghancurkan mereka berdua,” tuturku sinis.
Kak Fahmi menanggukan kepala, ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. Tidak menyangka kalau akan ditusuk dari belakang oleh adiknya sendiri.
“Masuk lah, dan istirahat, besok saya akan carikan pengacara untuk mempercepat masalah ini,”
“Makasih kak, jangan beri tahu siapa pun, sampai tiba waktunya, karena akan ada penggerebekan hebat nantinya,”
“Baik lah, kamu bisa percaya saya.” Kak Fahmi berbalik badan. Ia masuk kembali ke rumah.
Aku lantas menyusulnya, melihatnya berpamitan pada Isna.
“Om bakalan ke sini lagi kan?”
“Iya, kapan-kapan Om ke sini lagi.”
“Ya, Om menginap aja di sini, Isna kesepian tahu, cuman berdua sama Mama,” bujuknya.
Aku masih berdiri di depan pintu, mungkin solusi yang Kak Fahmi berikan akan aku pertimbangkan lagi. Membawa Isna pergi dari sini.
“Gak bisa Sayang, Om ada urusan penting. Kapan-kapan yah, Om Fahmi mampir ke sini lagi.” Aku mendekati Isna, mencoba memberinya pengertian, pasalnya ia tak mau melepaskan pegangan tangannya dari Kak Fahmi.
“Halah, Ma. Kita menginap yah di rumah Nenek,” ucapnya sambil matanya itu berbinar-binar.
Gimana yah?
“Saya setuju, biar malam ini Isna menginap di rumah Mama. Kamu urus soal surat-surat itu,” imbuh Kak Fahmi.
Aku tidak tega melihat Isna merengek, ia hampir menangis. Mau tidak mau aku mengijinkannya menginap di rumah Neneknya, yang tak lain adalah mertuaku.
“Oke, kamu boleh ikut Om Fahmi. Jangan nyusahin ya, jangan nakal,” tuturku pada gadis kecil ini.
Aku berjongkok, menjajarkan tubuhku padanya. Mencium seluruh wajahnya.
“Siap Ma, ayo om,” ajaknya tak sabaran.
“Kak, tolong jaga anakku yah,” pintaku. Kak Fahmi mengangguk, ia mengacungkan jempolnya.
“Kalau gitu kami pergi, kamu tidak perlu khawatir. Isna akan aman dengan saya, lanjutkan misimu.”
Kak Fahmi menggendong Isna. Aku lantas mengantar mereka sampai depan rumah, melihat putriku melambaikan tangan, ada yang terasa hilang.
Demi Isna, Bella, gerak yang cepat. Gumamku.
Setelah memastikan mobil Kak Fahmi meluncur dari pekarangan rumah. Gegas aku masuk ke dalam, masih ada sisa obat tidur yang bisa kugunakan untuk melabui Mas Faiz. Di ATMnya masih ada uang, dan kali ini aku tidak boleh salah langkah.
***
Next?
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6) *** Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. “Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai. Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)***Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya.Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan.Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati.Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku.“Mana kemejaku, hari
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (10)****POV Faiz.“Gimana ini Mas? Kamu bayar pakai apa? Aku mau dress itu, tas itu juga. Aku mau semuanya,” ujar Clarissa. Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan.“Kamu sabar dulu, ini Mas coba hubungi Bella lagi,” jawabku memintanya tenang, sudah cukup Clarissa merengek. Bukannya membantuku mencari solusi, malah memancing emosiku saja.Aku mengumpat dalam hati, sedari tadi aku kelimpungan mencari kartu ATMku yang tidak ada di dompet. Tahunya di bawa Bella. Mana ia tidak mau di ajak kompromi. Seenaknya sendiri.Sial, di tolak lagi. Ini udah keenam kalinya aku menghubungi Bella. Sederet pesan pun turut aku kiri
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (11)****“Ma, tadi Bella kerumah Mama gak?” tanyaku pada Mama, aku berinteraksi padanya melalui sambungan telepon.Memastikan terlebih dahulu, sebelum pergi ke rumah Mama.“Tadi sih ke sini, jemput Isna. Tapi udah pamit pulang,” jawab Mama.Diliputi rasa khawatir, helaan napas berat kuambil, takutnya Bella menceritakan semuanya pada Mama.Aku menoleh ke arah Clarissa, ia meneguk segelas air putih.“Bella, ada bicara sesuatu sama Mama?” tanyaku berdiri tegang.
Maaf Mas, Aku Memilih Bercerai (12)****Satu jam mengendarai mobil, kami akhirnya tiba di puncak. Dan langsung mencari keberadaan Bella. Menanyakan pada orang-orang sekitar, namun, tidak ada yang melihatnya.Kalau Bella tidak ada di sini, lantas dimana ia sekarang? Benar-benar membuat orang pusing tujuh keliling.“Huft, aku capek banget, Mas. Apa jangan-jangan kita salah datang ke sini,” ketus Clarissa.Ia berjongkok, mengatur napasnya yang memburu.“Salah bagaimana? Ini kita di puncak sekarang, ayo cari Bella,” ucapku menyuruhnya bangun.Clarissa mengulurkan tangan, lekas aku menerimanya. Membantunya berdiri, lalu merapikan rambutnya.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (13)****POV Bella.Aku menyentak napas lega kala melihat Mas Faiz menjatuhkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Mati-matian aku harus menahan amarahku saat menggodanya. Beruntung rencanaku berhasil. Kini, aku hanya perlu menyiapkan diri menuju rencana inti. Dan memberikan Isna pengertian tentang hubungan orang tuanya ini.“Bella.”Aku menoleh, dan langsung dikejutkan dengan keberadaan Kak Fahmi yang sudah berdiri di ujung pintu.“Kak Fahmi,” pekikku kaget.Aku lantas menarik selimut, dan melilitkannya pada tubuhku. Belum sempat ganti baju, pria itu sudah datang ke sini.“Maaf Bella, saya t