Share

Kedatangan Fahmi

Penulis: ikan kodok
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 21:39:54

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (4)

***

“Ma, tadi Papa sama siapa?” tanya Isna, aku yang sedang menyisir rambut putriku pun tertegun. 

“Yang mana, sayang?”

“Tante tadi loh Ma, Isna lihat kok, Papa turun dari tangga gandengan sama Tante itu,” lanjut Isna, ia menoleh menatap wajahku. 

Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada putri sematang wayangku ini. Mengingat usia Isna yang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. 

Aku lantas mengusap rambut Isna, kembali menyisir rambutnya, kemudian kuikat menjadi satu.

“Kita turun yuk, makan malam,” kataku mengalihkan topik pembicaraan. 

Gadis kecil itu mengangguk, aku segera menggendongnya, membawanya keluar dari kamar. 

“Ma, Papa kok belum pulang? Kita makan berdua lagi?” tanya Isna, rangkaian kejadian yang terputar dibenakku seketika berhamburan, gegas aku kembali mengumpulkan kesadaran, menyudahi lamunan yang tak ada ujungnya. 

Aku beralih menatap wajah sendu putriku, lalu berujar. “Nanti Papa pulang yah sayang, kamu makan dulu sama Mama yah,” tuturku memberinya pengertian. 

Lagi-lagi Isna mengangguk, gadis berlesung pipi itu tak bisa berbohong, ada kerinduan yang tersimpan untuk Mas Faiz. Mungkin saja Isna menyadari, bahwa akhir-akhir ini Papanya sering melewatkan makan malam bersama. 

Isna menerima suapan dariku, ia mengunyahnya pelan, sambil sesekali bercerita tentang harinya bersekolah.

Aku mendengarnya dengan seksama, sesekali menanggapi apa saja yang putriku ceritakan. Untuk sesaat Ibu satu anak ini melupakan masalahnya, melihat putrinya kembali ceria adalah kebahagiaan tak terkira. 

“Mama kapan kita ke rumah Omah?” tanya Isna di sela ia mengunyah makanan. 

“Kapan yah, Minggu depan gimana,” jawabku. 

“Sama Papa kan perginya?” tanyanya lagi. 

Aku mengangguk, lalu kembali menyuapinya. 

“Iya, ke rumah Omah sama Papa,” jawabku. 

Takdir tak pernah bertanya, seseorang akan siap atau tidak. Takdir tak pernah berbicara, meski hanya sekedar menanyakan kabar. Takdir tidak pernah perduli seseorang akan menerima atau menolaknya, karena pada kenyataannya, takdir tetap terjadi. 

Di sini aku meringis, tidak terbayang kalau akan diselingkuhi seperti ini. Pernikahan yang sudah berjalan 5 tahun itu kini diambang kehancuran.  

Hanya ada dua pilihan, menetap atau pergi. Dan keputusanku masih sama. Aku memilih mengakhiri, dari pada harus merawat luka setiap hari. 

Tiba-tiba suara Bel rumah berbunyi, aku yang sibuk dengan kegiatanku, menyuapi putriku pun terhenti.

Aku mengusap lembut bibir Isna, di sana masih ada bekas nasi yang tertinggal. Lalu memintanya menunggu sebentar. 

“Ada tamu sayang, kamu tunggu di sini sebentar. Mama mau buka pintu,”  tuturku.

Isna tersenyum, ia merebut sendok dari tanganku. “Sini Ma, biar Isna makan sendiri,” katanya. 

Maafkan Mama nak, nanti kamu akan mengerti, dan semoga hanya Mama saja yang merasakan ini. Aku membatin dalam hati. 

Melihat putriku makan dengan lahap, tanpa sadar menarik lengkungan tipis dibibirku. Aku berbalik badan, berderap meninggalkan meja makan menuju pintu utama. 

****

Aku membuka pintu pelan, melihat siapa yang datang. 

Kak Fahmi? Ada perlu apa ia datang ke sini?

“Faiz nya ada?” tanya Kak Fahmi, ia kakak iparku yang otomatis kakaknya Mas Faiz. 

Aku menggelengkan kepala, lalu membuka lebar pintu. 

“Gak ada Kak, Mas Faiz belum pulang.”

Nampak Kak Fahmi terhenyak, ia rada terkejut dengan jawabanku. 

“Belum pulang? Jam segini?” tanyanya memastikan, ia melempar tatapan matanya ke arah jam yang melingkar di tangannya. 

“Iya Kak, mari masuk.”

Aku mempersilahkan Kak Fahmi masuk, ia mengangguk kecil. 

Aku kembali menutup pintu usai Kak Fahmi duduk di sofa ruang tamu. 

“Mana Isna?”

“Lagi makan Kak,” jawabku. 

Rasa canggung menyelimuti kami, aku ikutan mendaratkan pantatku di sana. Menanyakan alasannya mencari suamiku.

“Oya Kak, ada perlu apa sama Mas Faiz?” 

Kak Fahmi menarik napas, ia menyatukan tangannya. 

“Ini mau ambil berkas yang kemarin saya titipkan ke Faiz, bisa tolong kamu ambilkan, Bel. Kata Faiz ada di laci kamar,” papar Kak Fahmi. 

“Ommmm!” teriak Isna, aku menoleh kearahnya. Nampak putri kecilku berlari menghampiri Kak Fahmi. 

“Jangan lari, nanti jatuh,” peringatku. 

Isna tak menanggapinya, ia berhambur memeluk Kak Fahmi, melingkarkan kedua tangan mungilnya itu pada leher Kak Fahmi. 

“Apa kabar kecil?” tanya Kak Fahmi, Isna memanyunkan bibirnya. Ia sekarang sudah duduk di pangkuan Kak Fahmi. 

“Baik, Om jangan panggil Isna kecil dong, Isna udah besar, Om ngerti,” marahnya. 

Kak Fahmi menaikturunkan alisnya yang tebal, ia mencubit pipi Isna gemas. 

“Ooh, udah besar yah. Kemarin masih sering nangis,”

“Kata siapa, Isna gak pernah nangis kok. Coba Om tanya Mama, Isna udah besar tahu.”

Aku tersenyum melihat interaksi yang  ada di depanku ini. Tanpa kata aku beranjak dari sofa. “Aku ke atas dulu yah Kak, ambil berkas yang kak Fahmi maksud, Isna jangan nakal,” pamitku. 

Kak Fahmi hanya mengangguk sekilas, segera aku pergi ke kamar, menaiki anak tangga dengan langkah panjang. 

****

Aku kembali ke ruang tamu setelah menemukan berkas milik Kak Fahmi. Aku melihatnya sedang bermain dengan Isna, kadang menanggapi celotehan putriku. 

Sesaat tatapan mata kami bertemu, aku menelan ludah kasar, menyadari sorot mata Iparku seperti sedang menahan amarah. 

Dengan gugup aku mendekat, menaruh map berwarna biru tersebut ke meja. 

“Itu yang kakak cari?” tanyaku sembari menunjukan berkas yang ia maksud. Kak Fahmi masih sama, tatapan matanya makin tajam dan mengintimidasi. 

“Bella, bisa kita bicara sebentar.”

Menghela napas, lalu membuangnya kasar, itu lah yang kulakukan sekarang. 

“Soal apa yah Kak?”

“Perempuan yang tadi datang ke sini, seperti yang Isna ceritakan.” Aku menengok langsung ke arah putriku, ia nampak mendapatkan mainan baru dari Kak Fahmi. 

“Sayang kamu main sendiri yah, Mama mau ngomong dulu sama Om Fahmi,”

“Iya Ma,” jawabnya. 

Aku mengikuti Kak Fahmi keluar rumah, meski tak bisa kupungkiri, benak ini di isi oleh berbagai pernyataan. 

Ada apa ini? Jangan-jangan yang mengirim pesan pada Clarissa itu Kak Fahmi? Dan Isna, menceritakan perempuan yang datang ke sini bersama Mas Faiz?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Tidak baik dalam kerja samanya
goodnovel comment avatar
Putri
kerjasama yang tak enak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai    Ekstra Part (Penyesalan Yang Membelenggu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ekstra part (Merindu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ending (Dia Telah Pergi)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kejadian Menegangkan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Dua Ego

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kebencian Itu Telah Tumbuh!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status