Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (3)
***
“Kamu yakin, Bell. Aku bisa bantu panggil Pak RT dan kumpulin warga sekitar, untuk datangi rumahmu?” tanya Tasha lagi, ia merupakan sahabat dekatku, kami kenal sudah lama.
Bukannya aku tidak mau, dirumah ini ada anak kecil, Isna. Ia sedang tidur siang. Aku lebih takut kesehatan mental anakku terganggu, dari pada kehilangan Mas Faiz. Ia segalanya bagiku.
“Ga usah, Sha. Aku takutnya nanti viral, kamu kan tahu sendiri, jejak digital itu kejam. Aku gak mau sampai anakku dijauhi teman-temannya, atau apa pun itu.” Aku mencoba memberi Tasha pengertian. Kalau banyak warga datang ke sini, apalagi jika keributan terjadi di depan putriku, itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya. Bisa jadi meninggalkan bekas yang menempel di ingatannya.
“Iya juga sih Bell, dirumah ada Isna, terus gimana dong? Kamu mau diam aja di gituin, Faiz?” tanya Tasha, nada bicaranya terdengar gergetan.
Aku mendengus kasar, lalu bergumam. “Aku masih bisa melawan, Sha. Kenapa harus diam? Aku tahu siapa orang yang harus aku libatkan, tapi bukan banyak orang,” ungkapku lagi.
Sesuai dengan rencana yang telah kususun, harus main cantik, tidak usah buru-buru, yang penting hasilnya maksimal.
“Maksud kamu apa sih? Aku makin bingung aja. Udah ya, aku kerumah mu sekarang. Biar aku kasih suamimu dan gundiknya pelajaran.”
“Buat apa? Mereka udah aku kerjain, udah yah nanti aku telepon lagi. Ini aku mau urus surat-surat penting.” Aku lekas mematikan sambungan telepon sepihak. Lalu menaruh kembali ponselku di nakas.
Berhubung Mas Faiz dan selingkuhannya masih mondar-mandir di kamar mandi tamu, alangkah baiknya aku bergerak cepat.
Aku membuka lemari dipojok kiri, tempat dimana berkas, dan aset Mas Faiz disimpan. Sedikit info, sekarang ada sedang menyelinap diruang kerjanya.
Aku tak bisa tinggal diam begitu saja, melihat suamiku terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Clarissa. Bahkan saat statusku ini masih menjadi istrinya. Maka dari itu, kuputuskan untuk ikut berpartisipasi dalam permainan mereka. Entah siapa yang akan menang, kita lihat saja nanti.
Aku buru-buru membuka brankas, memasukan PINnya.
Berhasil, satu Persatu asetnya akan aku ganti nama.
Aku mengambil surat tanah lebih dulu, lalu menukar sertifikat yang asli dengan yang palsu, biar nanti Mas Faiz tidak curiga.
Tak lupa juga aku mengambil uang Mas Faiz, ibaratnya sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukti. Sekarang ambil sekian, besok ambil sekian, lama-lama juga uangnya bakalan habis.
Lantas semuanya kumasukkan ke dalam tas, untuk beberapa hari kedepan nampaknya aku bakalan sibuk mengurus kepemilikan. Tidak masalah, asal jatuh di tanganku.
Aku menutup kembali pintu lemari, setelah memastikan tidak meninggalkan jejak. Kukunci lemarinya, dan kunci kecil tersebut ikut kumasukkan ke dalam tasku. Untung saja aku punya kunci yang mirip dengan lemari ini, meski jika dibuat untuk buka lemari tidak bisa.
Aku menyambar ponselku, kemudian melangkah keluar, terlalu lama di sini bisa bahaya.
****
Aku bersenandung kecil melihat Mas Faiz dan Clarissa mondar-mandir ke kamar mandi. Rasanya bahagia sekali mendapati dua orang ini menderita, meski penderitaan yang mereka rasakan masih dalam kategori ringan.
Anggap saja sebagai salam perkenalan, sebelum benar-benar tumbang.
“Kalian berdua ini kenapa?” tanyaku menahan senyum, aku menatap wajah pucat Clarissa yang baru keluar dari kamar mandi. Sementara suamiku sudah ambruk ke lantai, sambil bersandar pada dinding.
“Perut Mas mulas banget, Bell,” ujar Mas Faiz parau, suaranya melemah seiring tenaganya yang terkuras.
Aku manggut-manggut menanggapi ucapan suamiku. Ia memegang perutnya, keringat sebiji jagung membahasi wajahnya.
Apa aku khawatir padanya? Tentu saja tidak, bukannya aku tadi yang memasukan obat pencahar itu ke dalam semangkuk mie yang mereka nikmati berdua.
“Aku juga Mbak,” sahut Clarissa.
“Mungkin karena kalian makan mie itu kali yah, jadi perutnya sakit,” ucapku.
Seketika mata Clarissa melebar, ia melempar tatapan maut kepada Mas Faiz. “Mas kamu masukan apa ke mie yang kamu buat?” tanya Clarissa marah, bertengkarlah kalian, ayo saling bertengkar.
Biar aku punya banyak waktu, untuk mempersiapkan segala hal sebelum ketuk palu.
“Kamu tuduh aku Yang, aku gak mungkin racuni kamu, orang aku juga makan,” tampik Mas Faiz, ia geleng-geleng kepala tidak terima.
“Terus kenapa, setelah aku makan mie buatanmu, perutku jadi sakit,” sambung Clarissa.
Dengan susah payah Mas Faiz bangun, ia lantas mendekati Clarissa.
“Kamu jangan gitu dong, Yang, aku ga mungkin ngelakuin itu, aku sayang banget sama kamu.”
Yah, siapa pun buaya darat pasti bilangnya sayang, maklum, namanya juga rayuan gombal yang isinya angin doang. Kamu mendingan jawab jujur deh Mas, kamu masukin apa ke mie buatan mu?”
“Gak aku masukin apa-apa Yang, sumpah deh!” geram Mas Faiz.
“Mas bisa tidak, kamu itu gak usah teriak-teriak, anakku lagi tidur. Gak tahu diri banget!” seruku pada Mas Faiz.
Jari telunjuknya itu mengarah ke arahku. “Kamu mending diam aja, Bell, seneng kamu lihat suamimu begini.”
Aku menyeringai, mencari kalimat yang pas sebagai jawaban. “Yah jelas seneng dong Mas, kan nanti aku bisa cari suami lagi,” candaku menyelipkan sindiran halus.
“Mulutmu yah Bella! Siapa lelaki yang mau sama kamu, udah gak berguna, jadi istri gak becus,” makinya.
“Pasti ada lah Mas, buktinya kamu yang tukang selingkuh aja dapat Clarissa. Kalian itu saling melengkapi, yang satunya gak tahu diri, yang satunya lagi gak punya harga diri.” Aku merasa tertantang membakar emosi Mas Faiz dan Clarissa.
“Kamu yah Bella, makin berani sama suami—” Belum sempat Mas Faiz melanjutkan perkataannya, perutnya kembali mulas, ia gegas masuk ke dalam bilik kamar Mandi.
“Mbak tolong yah jangan cari gara-gara, Mas Faiz itu pilih aku,” ujar Clarissa.
“Siapa yang cari gara-gara sama kamu, harusnya kalau kamu punya harga diri, pasti kamu menolak suami saya.”
Clarissa makin naik pitam, napasnya memburu dalam hitungan detik.
“Kalau nanti aku udah berhasil nikah sama Mas Faiz, aku bakalan singkirkan Mbak dari rumah ini,”
“Terus kamu pikir aku bakalan diam? Kamu bisa menikah dengan suami saya, Clarissa, tapi kamu tidak akan bisa menguasai hartanya. Apalagi rumah ini,”
“Memangnya kenapa, Mbak? Mas Faiz sayang kok sama aku. Dia pasti bakalan turuti apa aja yang kuminta. Aku bisa hasut Mas Faiz buat usir Mbak!”
“Lakukan semau-mu, Clarissa, kita lihat saja nanti, ini belum berakhir.”
Aku melirik ponsel Clarissa yang bergetar, nama yang tertera di sana seperti tidak asing. Mengirim pesan berkali-kali.
Astaga, jadi ini.
Ya Tuhan, bisa jadi senjata ini.
“Aku yang akan menang, Mbak,” ucapnya penuh keyakinan.
“Terserah kamu, Clarissa.” Aku meninggalkan Clarissa yang terus mengendor pintu kamar mandi, meminta Mas Faiz cepat keluar.
Nikmati rasa mulas dalam perut kalian, gumamku dalam hati.
Kini, aku harus cari tahu nama yang tertera dalam ponsel itu benar nama yang ada dalam benakku, atau tidak, kalau benar, aku bisa memanfaatkan orangnya untuk menghancurkan Clarissa, atau Mas Faiz.
***Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (4)***“Ma, tadi Papa sama siapa?” tanya Isna, aku yang sedang menyisir rambut putriku pun tertegun. “Yang mana, sayang?”“Tante tadi loh Ma, Isna lihat kok, Papa turun dari tangga gandengan sama Tante itu,” lanjut Isna, ia menoleh menatap wajahku. Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada putri sematang wayangku ini. Mengingat usia Isna yang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. Aku lantas mengusap rambut Isna, kembali menyisir rambutnya, kemudian kuikat menjadi satu.“Kita turun yuk, makan malam,” kataku mengalihkan topik pembicaraan. Gadis kecil itu mengangguk, aku segera menggendongnya, membawanya keluar dari kamar. “Ma, Papa kok belum pulang? Kita makan berdua lagi?” tanya Isna, rangkaian kejadian yang terputar dibenakku seketika berhamburan, gegas aku kembali mengumpulkan kesadaran, menyudahi lamunan yang tak ada ujungnya. Aku beralih menatap wajah sendu putriku, lalu berujar. “Nanti Papa pulang yah s
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (5)****“Faiz selingkuh?” tanyanya menyelidik.Aku menganggukan kepala, membenarkan pertanyaan itu.“Iya, Mas Faiz selingkuh. Simpananya baru saja ke sini, mereka menjalin hubungan entah berapa bulan,” jawabku sambil memainkan kuku.Aku menunduk, tidak yakin jika beradu tatapan dengan Kak Fahmi.“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Oh ayolah, kalau tidak bisa memahami posisiku. Setidaknya berhenti bertanya ini-itu.Ia ini bertanya, apa sedang menjelaskan ...“Apa aku terlihat seperti bicara omong kosong. Terserah Kak Fahmi mau perca
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6) *** Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. “Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai. Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)***Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya.Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan.Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati.Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku.“Mana kemejaku, hari
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (10)****POV Faiz.“Gimana ini Mas? Kamu bayar pakai apa? Aku mau dress itu, tas itu juga. Aku mau semuanya,” ujar Clarissa. Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan.“Kamu sabar dulu, ini Mas coba hubungi Bella lagi,” jawabku memintanya tenang, sudah cukup Clarissa merengek. Bukannya membantuku mencari solusi, malah memancing emosiku saja.Aku mengumpat dalam hati, sedari tadi aku kelimpungan mencari kartu ATMku yang tidak ada di dompet. Tahunya di bawa Bella. Mana ia tidak mau di ajak kompromi. Seenaknya sendiri.Sial, di tolak lagi. Ini udah keenam kalinya aku menghubungi Bella. Sederet pesan pun turut aku kiri
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (11)****“Ma, tadi Bella kerumah Mama gak?” tanyaku pada Mama, aku berinteraksi padanya melalui sambungan telepon.Memastikan terlebih dahulu, sebelum pergi ke rumah Mama.“Tadi sih ke sini, jemput Isna. Tapi udah pamit pulang,” jawab Mama.Diliputi rasa khawatir, helaan napas berat kuambil, takutnya Bella menceritakan semuanya pada Mama.Aku menoleh ke arah Clarissa, ia meneguk segelas air putih.“Bella, ada bicara sesuatu sama Mama?” tanyaku berdiri tegang.