Share

Rencana Kecil Bella

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (2)

****

 

 

Mobilku meninggalkan pekarangan rumah menuju jalan raya, aku menarik napas, lalu kuembuskan. Kuulangi lagi sampai gemuruh dalam dada berangsur reda.

Aku tidak boleh lemah. Ingat Bella, kamu bisa mandiri. Tanpa Faiz sekalipun kamu masih bisa bahagia. Ada Isna putrimu. Ini lah saatnya, kamu gunakan otakmu untuk melawan mereka, aku membatin dalam hati. 

Aku membelokkan mobil ke kiri, ini bukan waktunya meratapi nasib, karena semuanya belum berakhir. 

Sialan, siapa Clarissa itu, pasti tujuannya ingin menguasai harta Mas Faiz. Enak saja, aku yang menemaninya berjuang, wanita itu yang menikmati hasilnya. 

Kamu boleh berbangga karena telah berhasil merebut suamiku, tapi ini rumah dan hartaku. Tak akan kubiarkan siapa pun semena-mena. 

Aku turun dari mobil, berada di parkiran, menunggu Isna. 

Terik matahari mulai menyengat, tidak lama kemudian putri kecilku datang. 

“Mama ...”

Aku merentangkan kedua tangan, dan langsung memeluk Isna, berjongkok agar sejajar dengannya. 

“Bagaimana sayang? Hari ini menyenangkan?” Selalu kalimat itu yang kutanyakan lebih awal pada putriku, barulah pertanyaan lain. 

Gadis kecil berambut sebahu itu, mengangguk antusias. “Menyenangkan Mama, Isna belajar banyak. Isna tidak sabar, besok sekolah lagi,” katanya dengan mata berbinar-binar. 

Hatiku menghangat, melupakan sejenak masalah yang kualami hari ini. 

“Uuhh, kesayangan Mama, makin pintar yah. Ayo kita pulang.” Aku mengajak Isna kecilku pulang. Aku akan mengurus gugatan perceraianku besok, tidak akan meninggalkan rumah sampai apa yang kuinginkan tercapai. 

“Ayo Ma.” Isna menarik tanganku, kami berjalan memutari mobil. 

Tidak pa-pa Bella, semuanya akan baik-baik saja. Berulang kali aku menyakinkan diriku. 

Lekas aku membuka pintu mobil, lalu mengangkat tubuh Isna yang ringan ini, dan mendudukkannya di samping kemudi, tak lupa memasang sabuk pengaman untuknya.

“Kita pulang, makan siang, habis itu kamu istirahat,” ujarku. 

“Siap Ma,” jawabnya. 

Aku melangkah ke bagian kemudi, dan segera menyalakan mesin mobil. Roda empat ini melaju membelah jalan raya, bergabung dengan kendaraan lain yang lalu lalang. 

****

Pukul 1 siang aku baru sampai dirumah, aku tadi mampir sebentar untuk membeli keperluan Isna. 

Kupandangi rumah ini, rumah tanggaku boleh hancur. Tapi rumah ini tidak boleh jadi milik orang lain. 

“Mama itu mobil Papa, papa udah punya yah?” Tunjuk Isna pada mobil Mas Faiz. 

Aku menanggapinya dengan anggukan, lalu bergumam. “Nanti kalau udah masuk rumah, langsung ke kamar yah. Kamu tunggu Mama di kamar, oke, sayang,” ucapku sambil mengusap rambut Isna sayang. 

Pasti si jalang itu masih ada di rumah ini. Isna tidak boleh melihatnya, bagaimana pun caranya aku harus memberinya pelajaran, sampai ia tak berani lagi menginjak kakinya di rumahku. 

“Memangnya kenapa Ma? Isna mau ketemu Papa, Isna kangen Papa,” celetuknya. 

Mana mungkin anak sekecil ini akan mengerti, kalau Papa dan Mamanya tak seperti dulu lagi. 

“Ketemu Papa habis mandi yah, Sayang, biar wangi,” bujukku.

Isna tersenyum, ia begitu penurut. Kami akhirnya masuk  ke dalam rumah. 

Aku mengerakan bola mataku menyusuri sudut rumah ini, tidak ada Clarissa dan Mas Faiz. Apa jangan-jangan mereka ada di kamar kami. 

Ya Tuhan, tolong kuatkan aku. 

“Isna ke kamar ya sayang, nanti Mama susul, gak lama kok.” Aku membelai pipi putriku. Ia tidak membantah, melainkan langsung menuju kamarnya. 

Usai memastikan Isna benar-benar masuk kamar, lekas aku mencari keberadaan dua benalu ini. 

Saat melewati dapur, tatapan mataku langsung jatuh pada sosok wanita itu. Siapa lagi, kalau bukan selingkuhan Mas Faiz. 

Aku berdeham membuat Clarissa mengalihkan perhatian.

“Hai, Clarissa, di mana Mas Faiz?” tanyaku sekadar basa-basi, Clarissa menelan ludah. 

“Mbak Bella udah pulang?” tanyanya balik, aku tak butuh pertanyaan yang cenderung sok akrab. Yang kubutuhkan ia menderita dan enyah dari rumah ini. 

“Kalau sudah tahu saya ada di sini, kenapa tanya? Mana suami saya?” tekanku. 

Clarissa terlihat gugup, aku melihat semangkuk mie lengkap dengan topingnya tersaji di meja. Tidak sopan, tamu tapi berlagak sok jadi tuan rumah. 

“Mas Faiz ... Mas Faiz mandi Mbak,” jawabnya, tumben sekali ia mandi jam segini, arghh! Bodoh amat, aku tak ingin tahu apa yang sudah ia lakukan selama aku tak ada di rumah.

“Kamu itu yang bikin?” 

Seakan mengerti, Clarissa menjawab. “Bukan Mbak, Mas Faiz yang bikinin.” 

Muak, sangat muak, perhatian sekali Mas Faiz pada selingkuhannya. Nanti kalau suamiku bangkrut, apa mereka masih bisa bermesraan. 

“Ooh, terus kamu ngapain diam, Suami saya udah bikinin kamu makanan. Sekarang giliran kamu cuci dong perabotannya!” ketusku. 

Melihat mata Clarissa melebar, entah mengapa aku bahagia. 

“Maksudnya?”

“Kamu cukup tahu diri kan ada di sini. Kamu itu bukan siapa-siapa, jadi tolong jaga sikap. Cepat cuci, sekalian nanti meja ini kamu lap, terus kursinya kamu semprot pakai pembasmi hama, biar hamanya hilang,” ucapku. 

Dahi Clarissa mengerut, tangannya mengepal kuat. 

“Di sini enggak ada hama Mbak,”

“Sok tahu, memangnya kamu gak ngaca, kalau kamu itu hamanya.” 

Aku yakin, Clarissa makin kesal, ia nanti juga akan cari muka didepan suamiku. Atau tidak, semacam mengadu. 

“Sana, bersihkan. Tolong ya lain kali, tahu batasan. Kamu itu cuman selingkuhan, gak usah berharap dapat apa-apa. Karena saya, tidak akan membiarkan kamu menang.”

Wajah Clarissa makin merah, dadanya naik turun. Dengan kasar ia bangkit, dan berjalan ke arah wastafel. Tanpa menjawab ucapanku. 

Tak ingin buang waktu, aku mengeluarkan obat pencahar dalam tas, dan kumasukan pada semangkuk mie ini. Aku aduk rata agar tidak meninggalkan jejak. 

“Sayang gimana mie bikinan, Mas, enak?” tanya Mas Faiz yang tiba-tiba datang. 

Aku menoleh, lalu menyilang tanganku di dada. “Kamu, Bell, udah pulang. Mana Clarissa?”

Tanpa suara aku menunjuk keberadaan kekasihnya itu. 

“Kamu ngapain, Yang?” tanyanya. 

“Tadi Clarissa minta aku ajarin dia cuci piring Mas. Sekalian yah nanti kamu suruh dia cuci baju, itu di belakang ada pakai kotor kamu yang udah numpuk, sebagai calon istri yang baik, dia harus belajar dong.” Aku tersenyum manis melihat Clarissa lagi-lagi terkejut. 

“Cuci aja pakai mesin cuci,”

“Sayang banget mesinnya rusak,” ujarku. 

Clarissa hendak menolak, tapi Mas Faiz keburu membenarkan. “Benar itu sayang, bagus kalau gitu. Mas gak salah pilih istri,” tutur Mas Faiz. 

Aku beralih menatap semangkuk mie. “Mending kamu makan dulu deh mienya Clarissa, kalau dingin kan enggak enak,” 

Clarissa tak berkutik, Mas Faiz membimbingnya duduk. Sekalian kalian berdua makan, biar sama-sama merasakannya. 

Clarissa memakan mie dengan lahap, jelas dong, Mas Faiz yang menyuapinya. Sesekali Mas Faiz juga ikut makan. 

Sekarang saatnya eksekusi rencana selanjutnya, memberantas habis uang Mas Faiz. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putri
Hajar Suami kunyuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status