"Kok diam terus, Dik? Masih rindu, ya?"
Yudhi mengawali pembicaraan setelah Tiara mendudukkan tubuh pada kursi mobil. Wanita itu mengangguk.
"Baru saya sadari sekarang, Mas, berpisah dari anak sakitnya seratus kali lipat dari ditinggal suami ...."
Tangis Tiara tak lagi terbendung. Air mata luruh membasahi wajah. Yudhi segera menepikan mobilnya, lalu ia bawa wanita yang sudah ia cintai dengan segenap jiwa itu dalam dada.
"Jangan menangis lagi, Dik. Bersabar ya, kita akan berjuang agar Danu bisa bersamamu."
Ucapan Yudhi bukan menenangkan wanita itu, tapi lebih membuatnya terluka. Bagaimana rasanya, jika diwaktu bersamaan kamu diwajibkan untuk menjaga dan memenuhi keinginan banyak orang? Sedang tak sepenuhnya yang mereka inginkan sejalan dengan inginmu.
Begitupula dengan seorang Tiara. Semua yang terjadi dalam hidupnya, tak semua berjalan sesuai keinginannya.
Malam itu, saat pertengkaran dengan Wira terjadi, Tiara tak bermaksud minta cerai. Hanya ingin menggertak agar Wira mengubah kebiasaannya jika marah. Buat apa menyumpahi istri jika pada akhir perdebatan selalu ada penyesalan yang dialami.
Tiara kerap tersakiti perasaannya dengan sebutan kasar sang suami jika sedang marah. Jika sebelumnya Wira yang mengucap kata cerai, maka malam itu Tiara yang meminta cerai. Hanya bermaksud agar Wira takut dan berhenti mengatainya.
Tiara bahkan amat menjaga diri. Bekerja di butik itupun atas permintaan Wira. Lelaki itu meminta Tiara berhenti bekerja di perusahaan dan mengelola butik keluarga khusus menjual pakaian wanita. Bahkan Tiara membuat larangan khusus bagi customernya agar tidak membawa suami saat berbelanja.
Tapi hari itu tak pernah ia sangka, seorang pelanggan meminta suaminya menukar pakaian. Tiara tetap tidak mengijinkan lelaki masuk ke dalam butik, percakapan hanya terjadi di luar. Namun ternyata, disaat bersamaan, Wira datang untuk menjemput makan siang.
Lelaki itu memergoki Tiara berbicara pada suami pelanggannya.
Makian, celaan terus terlontar dari mulut Wira, Tiara yang kerap menutup telinga kali itu tak lagi seperti biasa.
"Baik, aku pe****r, aku wanita mu****n, kenapa nggak Mas ceraikan saja aku?"
"Oh baik, jika itu yang kamu mau, hari ini juga aku ceraikan kamu!"
*
Kejadian itu kembali melintas di benak Tiara.
"Dik ...."
Tiara terhenyak, kini dia ada di dada seorang lelaki.
Sejenak ia menarik napas, ketika ingatan itu kembali lintas lalu di benak, jantung Tiara berdegup tak karuan. Benar adanya, perceraian hanya akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Tidak seharusnya lelaki menundukkan seorang istri dengan ucapan cerai. Dan ketahuilah wahai lelaki, jika istrimu mengucap cerai, artinya secara tidak langsung mereka ingin mengajakmu untuk merubah keadaan.
Sebab itulah Allah memberi hak talak pada kaum lelaki, karena lelaki lebih berpikir panjang sebelum mengucapkannya.Bukankah Nabi pernah bersabda , "Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika kalian ingin meluruskannya, maka kalian mematahkannya, jika kalian biarkan saja, niscaya ia akan tetap bengkok." (Muttafaq 'Alaih).
Wanita jika dikeraskan maka akan menyakiti perasaannya, tapi jika dibiarkan, maka dia akan tetap dalam kebersalahan. Lalu bagaimana? Benarkan sikapnya dengan lemah lembut.
Tiara menarik napas panjang. Wanita yang kerap menangis untuk menutupi luka itu merasa sudah tak mampu lagi menanggung semua cobaan yang menimpanya. Terbesit keinginan untuk lenyap saja dari bumi ini. Buat apa hidup jika menanggung derita seberat cobaan untuknya. Tapi perkataan Yudhi mengembalikan kewarasannya.
"Yang jangan terbesit niat bunuh diri ya, Dik."
Tiara terhenyak, bagaimana mungkin lelaki itu tahu jika bunuh diri sedang menjadi solusi dalam benaknya.
"Cobaan di dunia ini bisa berbagai macam, Dik. Dan cobaan itu pula diberi Allah sesuai pribadi manusia yang ingin diujinya. Contoh, jika seseorang dalam hidupnya tak pernah merana, semua kebutuhan hidupnya tercukupi, dapat suami istri saling mencintai, Allah akan menguji dia dengan tidak memberikan benih sebagai pelengkap rumah tangga. Kenapa Allah menguji demikian, karena Allah ingin melihat seberapa sabar dan tawakkal seorang hamba. Karena manusia itu lemah saat sesuatu yang benar-benar diinginkannya tidak tercapai, disitulah banyak dari kita yang lalai, berdoa selain kepada Allah, syirik 'kan jadinya. Contoh lain ya Adik sama mantan suami. Kalau Mas lihat Adik punya segalanya, kemewahan, uang, suami yang tampan, tapi Allah uji dengan perceraian ini. Tentu banyak pelajaran Dik yang bisa diambil, buktinya sekarang Adik udah mulai tahu betapa merindukannya Adik pada Danu saat tidak disampingnya. Ya kan?"
Tiara tak bergeming. Masih menggunakan dada sang suami sebagai penopang.
"Kira-kira waktu masih serumah, kamu sering ninggalin Danu nggak Dik?"
Tiara merasa sakit di dada, diangkatnya kepala lalu menatap sang suami dari jarak yang begitu dekat.
.."Ehm ...."
Yudhi melepas dekapan ketika ia merasa tatapan mata saja bisa timbul percikan rindu. Padahal sudah halal, tapi demi satu tujuan. Ia harus bisa menahan diri.
Sesaat mereka diliputi kecanggungan.
"Pasti tadinya Adik sering ninggalin Danu, 'kan?
Yudhi kembali mencoba mencairkan suasana.
"Tinggalin Danu paling ke butik Mas, selebihnya saya di rumah."
Tiara menjawab seraya memperbaiki posisi duduk.
"Nah, itu dia. Harusnya Adik 'kan bisa bawa Danu ikut, namanya butik sendiri. Mau gimana aja 'kan nggak masalah."
Tiara kembali bergeming.
"Sudah, jangan terlalu di pikirkan. Nanti malah kamunya yang sakit. Kalau kamu merindukan Danu, kita menginap semalam saja di rumah Umi Mas, gimana?"
Tiara menoleh, pancaran bahagia kembali menghias wajahnya.
"Makasih Mas sudah mau mengerti."
***
Senja menghias langit di ufuk timur. Temaram rona jingga kekuningan sesaat memanjakan mata Tiara yang sudah sekian lama kerap diselimuti kabut air mata.
Jarak Jakarta ke Bogor memang tidak terlalu jauh, namun Yudhi sengaja tak langsung menuju rumah. Ia memilih berhenti malaksanakan shalat ashar di Mesjid Raya Bogor. Lalu kembali mengajak Tiara duduk sambil menikmati camilan di salah satu tempat kuliner di dekat lokasi itu.
Tak lupa Yudhi memesan makanan kesukaan uminya asinan jagung bakar. Barulah beberapa menit menjelang azan magrib mereka sampai di rumah orang tuanya Yudhi.
Tiara menatap rumah sederhana dengan halaman luas yang dipenuhi berbagai jenis tanaman. Tampak asri dan nyaman. Saat mobil memasuki pekarangan, terlihat dari dalam rumah keluar seorang wanita paruh baya bersama seorang anak perempuan.
"Ini Adik kandung Mas?"
"Iya, itu Zahra. Dia satu-satunya yang menemani Umi sekarang. Karena Bapak sudah tiga tahun yang lalu meninggalkan dunia ini."
"Sudah menikah?"
"Belum, baru tamat kuliah. Katanya pengen kerja dulu, nanti nikahnya."
"Oh."
Yudhi mematikan mesin mobil. Dialihkan pandangan sejenak pada sang istri.
"Anggap rumah sendiri ya, Dik. Jangan malu-malu," ucap lelaki itu sambil mengelus pipi Tiara. Sebuah perlakuan biasa namun berkesan di hati wanita itu.
Mereka turun bersamaan, lalu disambut dengan hangat oleh dua wanita yang begitu berarti di hidup Yudhi.
"Assalamualaikum, Umi."
"Waalaikum salam. Alhamdulillah, sudah daritadi Umi nunggu, sudah tak sabar bertemu menantu," ucap wanita itu sambil mengalihkan pandangan menatap Tiara.
"Apa kabar, Sayang? Cantik sekali. Tidak salah Yudhi memilihmu sebagai istri, anakku."
Tiara tersentak, sedikit ragu ia menyunggingkan senyuman menanggapi ucapan ibu mertua.
"Umi lupa dulu Yudhi pernah lolos jadi cover boy?"
"Tahun berapa Ma, sepuluh Hijriah? Kan belum ada majalah. Hihihi ...," canda sang adik yang ditanggapi dengan tawa kecil Tiara.
Pandangan Yudhi sampai teralihkan melihat wanita itu tertawa hingga menampakkan gingsulnya. Sangat mirip dengan Chelsea Olivia, dada Yudhi naik turun menahan kekaguman.
"Udah, ayo masuk. Pasti kalian kecapean. Umi sudah siapkan kamar terindah buat menyambut malam pertama anak menantu kesayangan. Ayo langsung Umi antar beristirahat," ajak wanita itu sambil menggandeng tangan Tiara.
Tiara menatap Yudhi yang memilih duduk di kursi tamu. Matanya menyipit mengingat kenapa ia dibiarkan dibawa ibu mertua tanpa dampingan.
"Sudah, nggak usah diurusi Yudhi, dia udah biasa di rumah ini. Sekarang waktunya Umi menyambut menantu."
Wanita itu menyadari Tiara tampak canggung dan gugup namun penerimaan yang luar biasa ramah membuat rasa itu perlahan hilang.
Tiara dibawa ke sebuah kamar, sebuah tempat tidur ukuran besar sudah dilapisi sprei berwarna putih. Gorden juga dipilih sesuai warna sprei, putih bercorak hijau muda.
Sebuah meja rias terletak di depan ranjang dan di sampingnya terdapat lemari muka dua.
"Di sini kamar kalian. Bagaimana, kamu suka?"
Tiara menarik napas panjang. Bahkan kamar ini sengaja di cat ulang untuk menyambut kedatangannya. Sungguh penyambutan yang membuat dadanya berdesir hebat."Terima kasih Umi. Tiara rasa ini sungguh sangat luar biasa."
"Tidak apa-apa. Dari sekian wanita yang Umi kenalkan, hanya kamu wanita yang cocok di hatinya. Umi tak banyak menyiapkan segala sesuatu, bahkan seserahan saja Umi tak berikan. Maafkan Umi ya, Yudhi mengabarkan keinginannya menikahimu secara mendadak, Anakku."
Tiara merasa degup jantungnya kembali berpacu kuat. Rasa bersalah menghunus hatinya, menyisakan rasa sakit tak berperi. Teringat akannya betapa ia telah berdosa sudah mempermainkan pernikahan keduanya itu.
Sedang yang menikahi, hingga keluarga lelaki itu menerimanya seolah tak akan melepaskan kecuali maut menjemput.
Tiara mencoba bersikap tenang.
"Yasudah, beristirahatlah. Jangan sungkan-sungkan, jika perlu apa-apa, minta saja sama Umi atau Zahra. Anggap rumah sendiri. Ya, Sayang."
Tiara mengangguk paham, lalu tak lama wanita dan anak perempuannya itu meninggalkan Tiara seorang diri di dalam kamar.
Sebulir air mata kembali menetas di kedua sudut.
"Apa yang harus hamba lakukan ya Allah?"
Tiba-tiba, ponsel Tiara yang masih ada di dalam tas berdering. Wanita itu terhenyak. Ia tahu siapa yang kini menelpon, karena nada dering itu hanya Tiara gunakan untuk panggilan yang berasal dari mantan suaminya seorang.
Segera Tiara mengambil benda pipih itu. Begitu dia angkat.
[Mas kangen, Dik. Mas udah nggak tahan.]
Tiara menelan saliva. Dadanya terasa sesak. Haruskah ia menyuruh agar mantan suaminya menikah, supaya terjaga syahwatnya?
***
Bersambung
Bismillahirrahmanirrahim.
Teman-teman saya tegaskan sekali lagi ya, bahwa cerita ini adalah fiksi, tapi biar fiksi, tapi aturan hukum yang haram tetap haram. Saya hanya mencoba menuliskan karena tak bisa kita menutup mata menyadari banyak kasus muhallil ini terjadi di sekitar.
Cerita ini terinspirasi saat saya mendengar ceramah Buya Yahya dimana seseorang bertanya apakah boleh dia menjadi muhallil?
Buya menjawab, bahwa Rasulullah mengatakan jika muhallil itu adalah ibarat kambing sewaan. Haram hukumnya menjadi muhalli dengan tujuan untuk supaya si wanita bisa kembali kepada mantan suaminya. Tapi jika si wanita dinikahi untuk tujuan dimuliakan, dibahagiakan, tidak menjadi masalah. Karena kaidahnya pernikahan adalah bukan permainan yang bisa diceraikan begitu saja.
Allah memberi hak talak pada kaum pria karena Allah menganugerahi lelaki fitrah bijak dan sabar. Jika terjadi persisihan, lelaki lebih sabar dalam hal ini, sedang wanita sabar dalam hal lain, seperti mengurusi anak.
Karena hak talak diberikan pada kaum pria, maka jangan diobral begitu saja. Ada talak satu dan dua yang boleh rujuk, tapi jika seorang suami sudah mengucap talak tiga dengan disadari, maka tidak boleh rujuk suami tersebut sebelum si istri nikah terlebih dahulu dengan lelaki lain, berhubungan badan, artinya menikah sesungguhnya. Jika ditemukan ketidakcocokan dan pisah kembali, disinilah baru bisa mantan suami kembali lagi kepada si istri tadi.
Dan dalam kisah inipun Yudhi juga bersalah, karena dia mau menikah dengan Tiara sedang saat itukan Tiara belum sah secara hukum bercerai dengan Wira.
Nanti saya akan buat mereka sama-sama mengerti letak salah mereka dimana. Semoga Allah memudahkan, tidak tergelincir tangan dan pikiran ini, hingga tulisan ini mengandung ibrah yang bisa membawa kebaikan bagi saya juga pembaca. Terima kasih sudah mengikuti cerita ini, kritik dan saran sangat saya harapkan.
Sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang rentan salah, begitu juga dengan saya yang juga masih sama-sama belajar dalam hukum-hukum Islam.
***
Bersambung
Utamakan baca Al-Quran.
Tok ... Tok ..."Assalamualaikum, Dik Tiara."Jantung wanita itu hampir berhenti berdetak, Yudhi muncul mendadak di muka pintu. Gugup, Tiara mematikan sambungan telpon dari Wira, lalu dia memencet tombol non aktifkan. Bagaimanapun gemuruh hatinya memikirkan mantan suami, tapi ia tak ingin menyakiti hati Yudhi."Mas Yudhi," sebut Tiara gelagapan."Apaan itu?"Tiara menggeleng sambil memasukkan ponsel kembali ke dalam tas."Sibuk terus sama hape, coba Mas lihat, siapa yang berkirim pesan terus sama istri Mas," ucap Yudhi setelah duduk di sebelah Tiara. Tangan kanannya ia arahkan ke dalam tas, hendak merogoh ponsel yang disembunyikan Tiara di tempat itu.Dengan cepat Tiara mencegah aksi sang suami. Wanita itu bangkit menuju meja. Meletakkan tasnya di atas tempat tersebut."Siapa yang nelpon, Dik? Kok kayak rahasia gitu?" tanya Yudhi lagi."Bukan siapa-siapa, Mas? Kamar mandinya dimana ya, Mas? Tiara gerah banget nih, pengen mandi?"Wanita itu mencoba mengalihkan perhatian sang suami. Y
"Nduk, kamu tahu kan maksud hukum talak tiga ini untuk apa? Supaya lelaki itu tidak mengobral hak talak yang Allah berikan kepada mereka. Perjuangkanlah hakmu sebagai perempuan Sayang, ada anak yang berhak memilih untuk hidup denganmu. Ada hak waris yang menjadi bagianmu dalam sebuah perceraian. Jika semua kamu biarkan menggantung tanpa putusan sidang, kamu adalah pihak yang dirugikan, Anakku. Wanita memang dilahirkan sebagai yang berada di bawah naungan kaum lelaki, tapi bukan berarti dia harus pasrah menerima ketidak adilan yang berlaku padanya. Sedang agama dan negara telah menjamin kedudukan dan haknya."***"Menikah siri? Tapi kenapa, Yud?"Yudhi terdiam sesaat, tak ada kata instant yang bisa langsung keluar sebagai alasan. Ia tampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sang ibu."Tiara belum sah bercerai dari suaminya, Mi."Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Kenapa nggak nunggu sebentar Yud, jika perceraian sudah dilaporkan, tentu tak akan lama prosesnya berjalan. Umi
Tiara tampak terhenyak, ucapan ibu mertua membuat jantungnya seakan berhenti memompa."Saya ... tidak menganggap Mas Yudhi sebagai muhallil, Um."Dengan berat Tiara berkata dusta pada ibu mertuanya. Sungguh untuk jujur, ia tak punya cukup keberanian."Alhamdulillah jika memang benar cinta yang menyatukan kalian. Umi doakan semoga rumah tanggamu bersama Yudhi langgeng sampai maut memisahkan. Aamiin. Eh, sudah azan itu Nduk. Tinggalkan semuanya, bangunkan suamimu. Biasa kalau sudah di rumah ini, dia rutin shalat berjamaah di mushalla."Tiara menghentikan pekerjaan yang belum setengah ia lakukan. Lalu ia bergegas ke kamar untuk membangunkan sang suami seperti permintaan ibu mertuanya.***Kamar masih tampak gelap, hanya remang cahaya dari luar yang menjadi sumber pencahayaan. Tiara membuka pintu perlahan, sedang azan sudah tak lagi terdengar. Tiara berjalan menghidupkan lampu tidur yang sengaja ia matikan sesuai permintaan suaminya tadi malam."Mas ...." Sebuah sentuhan mengenai pipi le
"Demi Allah, Ma, Tiara nggak seperti yang Mama tuduhkan.""Lalu apa? Mama lihat tatapan matamu kini berbeda Tiara, nggak seperti biasanya. Kamu seperti malas kembali ke rumah ini.""Astaghfirullah, Ma, gimana Tiara bisa malas, sedang anak Tiara satu-satunya ada di rumah ini ....""Jadi, cuma Danu yang kamu khawatirkan, apa kamu lupa, Wira masih setia menantimu. Dia lelaki normal Tiara, punya syahwat yang harus disalurkan. Jika kamu tidak bisa kembali dalam waktu sebulan, Mama akan mengurus perceraian kalian. Dan ingat satu hal yang pasti Tiara, kamu tidak akan pernah mendapat hak asuh Danu! Ingat itu!"Tiara tergugu tanpa sepatah katapun lagi yang keluar dari mulutnya. Memang, jika berhadapan dengan wanita itu, Tiara tak bisa banyak membantah.Selama ini mantan mertuanya itu terkenal arogan. Pernikahannya dengan Wira memang sempat ditentang diawal. Namun seiring berjalan waktu, perlahan kehadiran Tiara sudah mendapat pengakuan, bahkan sudah begitu menyatu dengan keluarga besar Prange
Suasana di stasiun penyiaran tampak ramai. Hari ini ada acara favorit ditemani penyiar idola, 'Samsa'. Sudah bisa dipastikan, banyak anak gadis yang nongkrong, nungguin DJ kesayangan selesain on air.Semasa muda, Yudhi juga memulai karirnya sebagai seorang penyiar radio. Meski digandrungi banyak wanita, Yudhi tak seperti teman-teman DJ-nya yang lain. Mereka bisa tiap tahun bahkan tiap bulan ganti pasangan. Yudhi justru yang sebaliknya.Tapi itu pula yang menjadi alasan mengapa dia bisa mendapatkan hati seorang Kirana Putri Dee. Seorang inspirator cantik yang kerap mengisi acara yang di bawakan oleh Yudhi. Wanita itu tidak sembarang memilih imam, dari sekian yang melamar, hanya Yudhi-lah, lelaki sederhana dengan tampang seadanya yang mampu membuat hati wanita itu jatuh pada cinta.Mereka menikah tepat di usia Yudhi yang ke tiga puluh. Bertepatan dengan itu pula, Yudhi berhenti menjadi seorang penyiar, dan mendapat posisi terbaiknya di radio tersebut. Ia diberikan wewenang oleh produser
"Astaghfirullah ...."Yudhi mengusap wajah seraya menghela napas. Sedang Tiara sudah tak punya keberanian sedikitpun untuk mengangkat kepalanya. Seberdosa-berdosanya perbuatan yang ia lakukan dalam hidup, belum seberapa dengan perasaan bersalah yang kini menghujam dadanya."Jadi sekarang Mas 'kan sudah tau kebenarannya, saya wanita brengsek! Sangat tidak pantas untuk menjadi istri dari seorang lelaki sebaik Mas Yudhi. Maka itu, ceraikan saya Mas!"Yudhi menarik napas panjang, ingin menertawai sifat kekanakan yang dimiliki istrinya. Tapi ia harus tampil sebagai lelaki bijaksana. "Adik tahu, perkara halal yang paling dibenci Allah?"Tiara bergeming."Ialah perceraian, istriku Sayang. Maka sampai kapanpun Mas tidak dengan mudah mengucap talak kecuali jika kamu melakukan kemaksiatan atau hal-hal yang melanggar syariat, yang jika Mas mengingatkan justru kamu tolak atau kamu bantah. Tapi selama kita bersama, tak satupun permintaan Mas kamu tolak. Mas minta kamu ulurkan jilbab menutupi dada
Mereka baru saja selesai menyantap nasi dengan lauk yang tadi pagi dititip ibu mertua. Sejenak meneguk air dalam gelas, lalu dengan sigap Yudhi membantu Tiara membereskan bekas sampah.Setelah semua bersih, mereka kembali bersantai dengan duduk di atas karpet yang terletak di depan ranjang. Rumah ini memang cukup sederhana, hanya ada satu kamar, ruang tamu, dapur dan satu buah kamar mandi. Jika dilihat-lihat memang sangat layak untuk dihuni oleh anak kosan.Yudhi mulai bertanya-tanya, semenjak kapan Tiara menetap di rumah ini."Dik, sebenarnya udah berapa lama Adik tinggal di rumah ini?"Pertanyaan monohok membuat Tiara berhenti membuka aplikasi Facebook yang ada di handphonenya. Wanita itu tampak ragu menjawab."Baru, seminggu, Mas."Yudhi menghela napas. Apa yang selama ini tak ingin ia sangkali benar, sepertinya akan berkebalikan."Jadi selama masa Iddah kamu tinggal di rumah mana, Dik?"Tiara memilih bergeming, malu untuk berterus terang."Kok diam, dijawablah?"Sejenak mereka dik
Selepas kepulangan warga, Yudhi memasuki rumah dengan perasaan campur aduk.Tiara harus segera mengurus perceraiannya, atau kejadian serupa akan terulang kembali. Itulah yang terpikir di benak lelaki itu. Dengan tetap berusaha tenang ia memasuki kamar. Memang diakuinya, setelah pernikahan kedua ini, bagai diundang masalah datang menghampiri. Tapi karena ikrar nikah mereka adalah ucapan suci yang di persaksikan tidak hanya di depan manusi, melainkan di hadapan Sang Pemilik Jiwa. Mana mungkin Yudhi menyerah begitu saja. Atau melimpahkan semua keadaan ini pada sang istri. Sudah barang tentu Tiarapun pasti tak menginginkan berada pada situasi ini.Yudhi menghela napas sambil mendekati Tiara yang tampak merengut dalam tangis. Lelaki itupun duduk kembali di sebelah sang istri, bersandar pada kaki tempat tidur.Baru hendak membuka suara, tiba-tiba ponsel Tiara berdering. Yudhi kembali menyimpan semua unek-uneknya. Sang istri tampak bangkit menuju nakas yang terletak di sebelah kanan ranjan