Pandangan Yudhi tidak lekang dari menatap sang istri yang nampak sibuk mengemas diri. Mulai dari memilih baju, hingga polesan wajah. Seperti akan menghadiri kondangan saja, pikir lelaki itu.
Yudhi bahkan harus ekstra menahan diri dari nafsu lelaki yang sudah lama vakum semenjak sang istri telah tiada.
Bersyukur ia memilih berpuasa, tanggung jawabnya pada Allah membuat ia lebih sabar dan terkontrol hingga tak cepat tersulut bisikan-bisikan itu.
Tiara mengibas-ngibas tangan setelah selesai berdandan.
"Yuk, Mas," ajaknya semangat.
Yudhi meletakkan ponsel, sehabis menerima telpon dari uminya. Mata lelaki itu membelalak lebar.
"Ada apa, Mas? Bajunya kurang cocok, ya?"
Yudhi berdehem menetralisir kecanggungan.
"Ini terlalu terbuka, Sayang."
Yudhi menurunkan jilbab segi empat yang kedua ujungnya dinaikkan ke pundak oleh Tiara. Wanita itu hanya diam tak bereaksi.
"Bentar ya."
Yudhi berjalan menuju lemari, beberapa pakaiannya sudah ditaruh rapi oleh Tiara ke dalam lemari.
Dia membuka tas ransel, lalu mengambil sesuatu yang ada di dalam tas itu. Sebuah kotak.
"Ini sengaja Mas beli setelah pertemuan kita yang pertama. Saat itu kamu juga pakai jilbabnya begini, disandang ke pundak. Padahal lebih bagus begini."
Yudhi menurunkan kedua belahan jilbab lalu megambil satu bagian dari belahan jilbab itu dan mengaitkan tengah dari ujung jilbab tersebut ke pundak Tiara. Lelaki itu lalu memutar tubuh sang istri hingga menghadap kembali ke depan cermin.
"Cantikan mana?" bisiknya di telinga Tiara.
Tiara memandang sang suami melalui pantulan cermin. Sejenak sebuah senyum seindah pelangi terukir di wajahnya. Tiara memang simple dalam urusan mengenakan hijab, kadang pakai yang instant atau segiempat sebatas menutup rambut.
Teguran Yudhi menghadirkan rasa berbeda di hatinya.
Yudhi kembali memutar tubuh Tiara.
Sejenak mereka saling berpandangan.
"Mulai sekarang, pakai jilbabnya harus menutupi dada ya, Dik?"
Tiara menghela napas, berat dan tidak nyaman sih. Seperti ustadzah ketinggalan zaman. Tapi demi apapun, ia bukan wanita pembangkang.
Seulas senyum teriring bersama anggukan. Membuat lelaki di hadapannya merasa amat tersanjung karena merasa begitu dihormati.
"Yuk."
Dia menggenggam jemari Tiara untuk kemudian mengajaknya keluar. Wanita itu hanya menurut, meski jelas terasa amat risih. Tangan yang selama ini hanya disentuh oleh Wira, kini digenggam oleh lelaki lain.
Sampai di garasi rumah Tiara, Yudhi tampak memanaskan motor besarnya.
"Pergi naik apa, Mas?"
Perhatian Yudhi teralih.
"Kalau naik motor, kamu mau?"
"Naik mobilku aja, Mas. Rumah orang tua Mas 'kan jauh, Tiara nggak sanggup naik motor," ucapnya sangat serius.
Yudhi menepuk-nepuk jok motornya, memang bersama Tiara harus ia lebihkan sabar. Menunggu saat yang tepat untuk memberikan tutorial bagaimana menjadi istri yang shalihah dan paham kondisi suami.
"Baiklah, kita pakai mobil kamu."
Keduanya kini sudah di dalam mobil. Yudhi menghidupkan mesin sedang Tiara menghidupkan mesin pendingin. Kendaraan pun melaju dengan kecepatan sedang, suasana terasa kaku.
Yudhi sedang berusaha mengontrol perasaan cemburu dan cemas yang hendak menguasainya.
Sekitar tiga puluh menit mereka sampai di depan rumah mewah milik Wira. Yudhi memberhentikan mobilnya di depan pagar.
"Saya pergi ya, Mas."
"Tunggu sebentar, Dik."
Yudhi mengeluarkan selembar tissu basah yang terletak di atas dashboar. Lalu tangan kirinya memegang pipi Tiara, sedang tangan kanan yang sudah menggenggam tissu ia gerakkan untuk mengusap bibir wanita itu.
Tiara terhenyak.
"Jangan terlalu merah, Dik. Kecuali jika sedang bersama Mas."
Pelan dia mengusap bibir istrinya. Tiara diam membiarkan. Setelah selesai dia menyentuh pucuk kepala Tiara.
"Jaga diri, ingat batasan haram. Jika sudah selesai, telpon Mas biar Mas jemput."
Bagai tersayat-sayat kulitnya saat ia melepas Tiara kembali ke rumah itu. Tapi ia tak ingin menahan. Biarlah perlahan, terlebih Tiara terlihat selalu menuruti kemauannya. Pikir Yudhi saat itu.
Ia memandangi Tiara hingga pintu rumah mewah itu dibuka oleh seorang lelaki gagah. Darius versi rakyat.
Kembali hatinya remuk redam. Ia sudah membiarkan cemburu membabat habis pahala puasa sunnah.
"Lindungilah istri hamba ya Allah."
***
"Kamu diantar siapa, Yank?" tanya Wira sambil membuka pintu.
"Mas Yudhi, Mas."
Wira memiringkan kepala hingga terlihat di pandangan mobil Tiara di depan pagar.
"Ayo masuk, Dik. Danu sudah menanyakanmu daritadi."
"Mama ...."
Bocah berusia tiga tahun itu nampak berlarian dari ruang televisi, saat netranya berhasil membidik kehadiran ibunya.
Peluk rindu tercurah dari dekapan yang diberikan Tiara pada sang buah hati.
"Mama pergi kerja, ya?"
Tiara menatap Wira yang pastinya sudah berbohong tentang dirinya yang tidak ada di rumah tadi malam.
"Ya, Sayang."
Tiara ingin menangis di depan Danu, jika mengingat karena perceraian itu, Danu harus merasakan pahitnya berpisah.
"Mamam nasi," rengek Danu sambil menarik-narik tangan Tiara. Wanita itu kembali melempar pandang pada Wira, meminta pertanggung jawaban kenapa sudah jam sepuluh, Danu belum sarapan.
"Danu nggak mau makan dari pagi, nungguin kamu."
Pandangan Tiara seketika kabur. Buliran bening sudah memenuhi pelupuk mata.
"Tiara kasih makan Danu dulu, Mas."
"Ya, setelah itu Mas mau bicara."
Tiara ke dapur untuk mengambilkan makanan. Biasa setiap pagi jika Tiara tak sempat, Mbok Darni yang bertugas menyiapkan sarapan.
Ia menarik kursi lalu mendudukkan Danu di atasnya.
Tiara kembali mencentongi nasi ke dalam piring serta memilih lauk yang diinginkan Danu. Dengan lahap bocah yang sudah nampak kelaparan itu menghabiskan makanan tanpa sisa.
"Anak Mama lapar, ya? Mau nambah lagi, Sayang?"
"Nggak, Ma. Danu mau es krim," ucapnya sambil tersenyum. Tiara memeluk kembali jagoaanya.
"Nanti beli sama Papa ya, Nak. Mama harus pergi kerja lagi."
"Ikut, Ma ...."
Kelopak mata wanita itu kembali terasa berat. Bagaimana caranya meluapkan rasa sakit di dadanya. Perceraian telah membuat seluruh hati wanita itu hancur.
"Mama nggak lama, Sayang. Dua hari ya. Kamu tidur dan main sama Papa. Jika Mama sudah selesai kerja, Mama akan ajak kamu jalan-jalan. Kita ke Water World. Kamu pengen lihat lumba-lumba 'kan?"
Danu mengangguk.
"Mama janji Mama akan segera pulang, Nak. Kamu tunggu Mama ya, Nak," ucap Tiara sambil kembali memeluk buah hatinya. Air mata mengembun di kedua sudut mata.
Mbok Darni mengintip di balik tembok, air mata pun tak henti mengalir. Teringat bagaimana luka hati majikannya sebab bersuamikan lelaki pencemburu yang tak bisa menahan ucapan.
Ia juga biasa melihat Wira meributkan hal-hal kecil. Wanita tua itu amat menyayangkan kejadian siang itu, ia melihat dengan mata kepala sendiri, penyebab perceraian Wira dan Tiara.
*
Sudah lebih tiga jam Tiara di rumah Wira. Tak sedikitpun Danu melepas tangan ibunya. Takut ditinggal meski tadi sudah berjanji untuk mengijinkan sang ibu pergi selama dua hari.
Wira bolak balik ingin menghampiri Tiara, tapi dia berusaha menahan dua rasa yang tengah berebut di jiwanya. Rindu dan amarah. Ia masih belum sadar sepenuh hati dengan kesalahannya.
Selepas azan, Danu terlihat mengantuk. Tiara menidurkan buah hatinya sambil membacakan cerita. Tak lama, Danu yang ternyata sudah bangun semenjak subuh langsung tertidur.
Buru-buru Tiara mengangkat telpon yang sudah berdering untuk ketiga kalinya.
[Assalamualikum, Mas.]
[Waalaikum salam, Dik.]
Sejenak telpon hening, tak ada yang memulai bersuara.
[Mas cuma mau mengingatkan Adik, jangan lupa shalat, ya.]
Bibir Tiara bergetar menahan tangis. Sungguh kenyataan hidup yang menimpanya kini, seperti bom waktu yang hampir meledakkan seluruh tubuhnya.
Di satu sisi, ia sangat menyayangi buah hatinya, ia juga masih memendam cinta untuk Wira mantan suaminya, tapi lelaki yang kini menjadi suami, juga bukan lelaki bodoh yang mudah untuk dia tinggalkan.
"Sayang ...."
Tiara terhenyak, buru-buru ia menutup telpon dari Yudhi tanpa basa-basi.
Pasti lelaki itu sudah berhasil mendengar Wira menyebutnya 'Sayang', kecemasan mulai memenuhi kepala.
"Keluarlah, Mas menunggumu di kamar."
Selepas mengucapkan kata yang membuat dada Tiara sesak, Wira pergi begitu saja.
Tiara berusaha meraba perasaannya.
'Ya Tuhan, bimbinglah Tiara agar tak salah melangkah,' batinnya menyebut sebelum memasuki kamarnya dahulu bersama Wira.
"Duduklah disini Tiara," tunjuk Wira ke atas sofa. Tiarapun menurut. Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah amplop.
"Apa ini, Mas?"
"Mas tahu, suamimu bukan orang kaya. Mungkin dia tidak cukup punya uang untuk memenuhi semua kebutuhanmu. Ambillah uang ini, pergunakan hanya untuk keperluanmu."
Tiara terhenyak, dadanya semakin terasa sesak.
"Untuk sementara waktu, Mas putuskan untuk menutup butikmu. Kamu fokuslah pada tugas melayani lelaki itu. Mas ijinkan dia memakai mobil dan tinggal di rumah itu, tapi tidak lama."
Tiara menelan saliva. Nyatanya memang semua yang ia miliki adalah pemberian Wira, ia hanya seorang gadis kampung yang lulus kuliah di Universitas Indonesia dengan beasiswa. Menikah dengan Wira, pengusaha kaya yang sukses adalah sebuah kebanggaan buatnya.
Tiara masih meraba-raba kenyataan. Sejenak mereka saling memandang. Pandangan yang membuat Wira tak kuasa menahan rindu yang sudah cukup lama ia tahan, ia ingin kembali bersatu dengan mantan istrinya.
*
"Tidak, Mas. Kita sudah bercerai."
Tiara mendorong tubuh Wira yang berusaha mendekatinya kembali.
Wira memperbaiki kerah kemeja sambil menghela napas.
"Pergilah, laksanakan janjimu, lalu kembalilah padaku."
Tiara merasa tak ada lagi yang mampu menyangga tubuhnya untuk tetap pada posisi berdiri. Perkataan Wira cukup membuatnya kehilangan kekuatan.
"Tiara ingin bersama Danu Mas," ucapnya lirih disertau keraguan yang teramat dalam.
Wira menatapnya dengan mata memerah.
"Danu tidak akan keluar dari rumah ini sejengkal pun."
***
Bersambung
Jadi udah pada tahu ya, kenapa Tiara dan wira bercerai. Wira itu tipe lelaki pemarah dan pencemburu, kalau ada yang tidak dia sukai dia langsung marah, suka main tangan, dan suka ngeluarin kata keramat sampai kata talak. Dan Yang terakhir itu untuk ketiga kali dia talak Tiara. Jadi udah habis masa untuk rujuk kayak talak satu dan dua. Talak tiga tidak boleh rujuk sebelum mantan istri habis masa iddah menikah dengan lelaki lain dan menikmati manisnya pernikahan (jima) kemudian karena suatu sebab mereka bercerai. Habis masa iddah dari suami kedua baru boleh jika dia mau rujuk sama mantan suaminya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
"Kok diam terus, Dik? Masih rindu, ya?" Yudhi mengawali pembicaraan setelah Tiara mendudukkan tubuh pada kursi mobil. Wanita itu mengangguk. "Baru saya sadari sekarang, Mas, berpisah dari anak sakitnya seratus kali lipat dari ditinggal suami ...."Tangis Tiara tak lagi terbendung. Air mata luruh membasahi wajah. Yudhi segera menepikan mobilnya, lalu ia bawa wanita yang sudah ia cintai dengan segenap jiwa itu dalam dada."Jangan menangis lagi, Dik. Bersabar ya, kita akan berjuang agar Danu bisa bersamamu."Ucapan Yudhi bukan menenangkan wanita itu, tapi lebih membuatnya terluka. Bagaimana rasanya, jika diwaktu bersamaan kamu diwajibkan untuk menjaga dan memenuhi keinginan banyak orang? Sedang tak sepenuhnya yang mereka inginkan sejalan dengan inginmu. Begitupula dengan seorang Tiara. Semua yang terjadi dalam hidupnya, tak semua berjalan sesuai keinginannya.Malam itu, saat pertengkaran dengan Wira terjadi, Tiara tak bermaksud minta cerai. Hanya ingin menggertak agar Wira mengubah ke
Tok ... Tok ..."Assalamualaikum, Dik Tiara."Jantung wanita itu hampir berhenti berdetak, Yudhi muncul mendadak di muka pintu. Gugup, Tiara mematikan sambungan telpon dari Wira, lalu dia memencet tombol non aktifkan. Bagaimanapun gemuruh hatinya memikirkan mantan suami, tapi ia tak ingin menyakiti hati Yudhi."Mas Yudhi," sebut Tiara gelagapan."Apaan itu?"Tiara menggeleng sambil memasukkan ponsel kembali ke dalam tas."Sibuk terus sama hape, coba Mas lihat, siapa yang berkirim pesan terus sama istri Mas," ucap Yudhi setelah duduk di sebelah Tiara. Tangan kanannya ia arahkan ke dalam tas, hendak merogoh ponsel yang disembunyikan Tiara di tempat itu.Dengan cepat Tiara mencegah aksi sang suami. Wanita itu bangkit menuju meja. Meletakkan tasnya di atas tempat tersebut."Siapa yang nelpon, Dik? Kok kayak rahasia gitu?" tanya Yudhi lagi."Bukan siapa-siapa, Mas? Kamar mandinya dimana ya, Mas? Tiara gerah banget nih, pengen mandi?"Wanita itu mencoba mengalihkan perhatian sang suami. Y
"Nduk, kamu tahu kan maksud hukum talak tiga ini untuk apa? Supaya lelaki itu tidak mengobral hak talak yang Allah berikan kepada mereka. Perjuangkanlah hakmu sebagai perempuan Sayang, ada anak yang berhak memilih untuk hidup denganmu. Ada hak waris yang menjadi bagianmu dalam sebuah perceraian. Jika semua kamu biarkan menggantung tanpa putusan sidang, kamu adalah pihak yang dirugikan, Anakku. Wanita memang dilahirkan sebagai yang berada di bawah naungan kaum lelaki, tapi bukan berarti dia harus pasrah menerima ketidak adilan yang berlaku padanya. Sedang agama dan negara telah menjamin kedudukan dan haknya."***"Menikah siri? Tapi kenapa, Yud?"Yudhi terdiam sesaat, tak ada kata instant yang bisa langsung keluar sebagai alasan. Ia tampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sang ibu."Tiara belum sah bercerai dari suaminya, Mi."Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Kenapa nggak nunggu sebentar Yud, jika perceraian sudah dilaporkan, tentu tak akan lama prosesnya berjalan. Umi
Tiara tampak terhenyak, ucapan ibu mertua membuat jantungnya seakan berhenti memompa."Saya ... tidak menganggap Mas Yudhi sebagai muhallil, Um."Dengan berat Tiara berkata dusta pada ibu mertuanya. Sungguh untuk jujur, ia tak punya cukup keberanian."Alhamdulillah jika memang benar cinta yang menyatukan kalian. Umi doakan semoga rumah tanggamu bersama Yudhi langgeng sampai maut memisahkan. Aamiin. Eh, sudah azan itu Nduk. Tinggalkan semuanya, bangunkan suamimu. Biasa kalau sudah di rumah ini, dia rutin shalat berjamaah di mushalla."Tiara menghentikan pekerjaan yang belum setengah ia lakukan. Lalu ia bergegas ke kamar untuk membangunkan sang suami seperti permintaan ibu mertuanya.***Kamar masih tampak gelap, hanya remang cahaya dari luar yang menjadi sumber pencahayaan. Tiara membuka pintu perlahan, sedang azan sudah tak lagi terdengar. Tiara berjalan menghidupkan lampu tidur yang sengaja ia matikan sesuai permintaan suaminya tadi malam."Mas ...." Sebuah sentuhan mengenai pipi le
"Demi Allah, Ma, Tiara nggak seperti yang Mama tuduhkan.""Lalu apa? Mama lihat tatapan matamu kini berbeda Tiara, nggak seperti biasanya. Kamu seperti malas kembali ke rumah ini.""Astaghfirullah, Ma, gimana Tiara bisa malas, sedang anak Tiara satu-satunya ada di rumah ini ....""Jadi, cuma Danu yang kamu khawatirkan, apa kamu lupa, Wira masih setia menantimu. Dia lelaki normal Tiara, punya syahwat yang harus disalurkan. Jika kamu tidak bisa kembali dalam waktu sebulan, Mama akan mengurus perceraian kalian. Dan ingat satu hal yang pasti Tiara, kamu tidak akan pernah mendapat hak asuh Danu! Ingat itu!"Tiara tergugu tanpa sepatah katapun lagi yang keluar dari mulutnya. Memang, jika berhadapan dengan wanita itu, Tiara tak bisa banyak membantah.Selama ini mantan mertuanya itu terkenal arogan. Pernikahannya dengan Wira memang sempat ditentang diawal. Namun seiring berjalan waktu, perlahan kehadiran Tiara sudah mendapat pengakuan, bahkan sudah begitu menyatu dengan keluarga besar Prange
Suasana di stasiun penyiaran tampak ramai. Hari ini ada acara favorit ditemani penyiar idola, 'Samsa'. Sudah bisa dipastikan, banyak anak gadis yang nongkrong, nungguin DJ kesayangan selesain on air.Semasa muda, Yudhi juga memulai karirnya sebagai seorang penyiar radio. Meski digandrungi banyak wanita, Yudhi tak seperti teman-teman DJ-nya yang lain. Mereka bisa tiap tahun bahkan tiap bulan ganti pasangan. Yudhi justru yang sebaliknya.Tapi itu pula yang menjadi alasan mengapa dia bisa mendapatkan hati seorang Kirana Putri Dee. Seorang inspirator cantik yang kerap mengisi acara yang di bawakan oleh Yudhi. Wanita itu tidak sembarang memilih imam, dari sekian yang melamar, hanya Yudhi-lah, lelaki sederhana dengan tampang seadanya yang mampu membuat hati wanita itu jatuh pada cinta.Mereka menikah tepat di usia Yudhi yang ke tiga puluh. Bertepatan dengan itu pula, Yudhi berhenti menjadi seorang penyiar, dan mendapat posisi terbaiknya di radio tersebut. Ia diberikan wewenang oleh produser
"Astaghfirullah ...."Yudhi mengusap wajah seraya menghela napas. Sedang Tiara sudah tak punya keberanian sedikitpun untuk mengangkat kepalanya. Seberdosa-berdosanya perbuatan yang ia lakukan dalam hidup, belum seberapa dengan perasaan bersalah yang kini menghujam dadanya."Jadi sekarang Mas 'kan sudah tau kebenarannya, saya wanita brengsek! Sangat tidak pantas untuk menjadi istri dari seorang lelaki sebaik Mas Yudhi. Maka itu, ceraikan saya Mas!"Yudhi menarik napas panjang, ingin menertawai sifat kekanakan yang dimiliki istrinya. Tapi ia harus tampil sebagai lelaki bijaksana. "Adik tahu, perkara halal yang paling dibenci Allah?"Tiara bergeming."Ialah perceraian, istriku Sayang. Maka sampai kapanpun Mas tidak dengan mudah mengucap talak kecuali jika kamu melakukan kemaksiatan atau hal-hal yang melanggar syariat, yang jika Mas mengingatkan justru kamu tolak atau kamu bantah. Tapi selama kita bersama, tak satupun permintaan Mas kamu tolak. Mas minta kamu ulurkan jilbab menutupi dada
Mereka baru saja selesai menyantap nasi dengan lauk yang tadi pagi dititip ibu mertua. Sejenak meneguk air dalam gelas, lalu dengan sigap Yudhi membantu Tiara membereskan bekas sampah.Setelah semua bersih, mereka kembali bersantai dengan duduk di atas karpet yang terletak di depan ranjang. Rumah ini memang cukup sederhana, hanya ada satu kamar, ruang tamu, dapur dan satu buah kamar mandi. Jika dilihat-lihat memang sangat layak untuk dihuni oleh anak kosan.Yudhi mulai bertanya-tanya, semenjak kapan Tiara menetap di rumah ini."Dik, sebenarnya udah berapa lama Adik tinggal di rumah ini?"Pertanyaan monohok membuat Tiara berhenti membuka aplikasi Facebook yang ada di handphonenya. Wanita itu tampak ragu menjawab."Baru, seminggu, Mas."Yudhi menghela napas. Apa yang selama ini tak ingin ia sangkali benar, sepertinya akan berkebalikan."Jadi selama masa Iddah kamu tinggal di rumah mana, Dik?"Tiara memilih bergeming, malu untuk berterus terang."Kok diam, dijawablah?"Sejenak mereka dik