Dia menghindar harusnya aku bertanya kenapa bukan justru ikut menghindar. Tapi ya sudahlah, gensi juga jika diriku terlalu ikut campur dengan kehidupannya. "Bukan!" jawabku karena sedari tadi papa menatap letak mataku. Segera ku sambar kunci mobil yang ada di atas nakas. Tanpa salam aku berlalu meninggalkan papa. Terlalu lama di rumah akan membuat jiwa penasaran papa meronta-ronta. ***Aku duduk di ruangan sambil mengecek laporan keuangan restoran beberapa hari ini. Semenjak mama ditemukan pingsan di kamar aku memang belum ke restoran. Laporan keuangan memang selalu di kirimkan karyawan kepercayaan kami dari setiap cabang. Namun rasanya tak afdol jika tidak membaca laporan secara langsung. Ya, meski hanya satu restoran yang selalu ku datangi. Lainnya hanya secara online. Sesekali saja ke sana karena memang jaraknya yang jauh. Kembali bayang Intan seakan muncul dalam pikiran. Teringat saat pertama kali bertemu dengannya. Dari sebuah kecelakaan hingga aku mengenal ibunya. Sikapnya
Romi berjalan mendekati sosok wanita yang beberapa hari ini mencarinya. Ia begitu panasaran. Tak mungkin ada orang yang bolak-balik mencarinya jika tak ada hal penting yang ingin ia sampaikan. "Permisi mbak, ada yang bisa ...." Romi tak melanjutkan kata-kata saat wanita di hadapannya tersenyum manis. "Indah ...." Romi segera menjatuhkan bobot di kursi tepat di hadapan wanita berambut panjang itu. "Akhirnya bisa bertemu juga dengan kamu, Rom." Seulas senyum tergambar jelas di wajah cantiknya. Romi menaikkan ujung alis,sedikit bingung dengan ucapan Indah.Rasa penasaran juga masih singgah di hati lelaki berhidung mancung itu. Justru rasanya kian bertambah. "Apa yang ingin Indah bicarakan?" batin Romi semakin penasaran. Indah begitu terpesona dengan senyum penuh kharisma dari lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki yang mampu mengetarkan hatinya. Baru kali ini wanita yang memakai dress di bawah lutut itu merasakan debaran aneh saat duduk berhadapan dengan seorang pria.Indah memang su
Pov IndahAku masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar? Sungguh tega jika itu benar terjadi. Aku tak pernah menyangka wanita sholehah seperti Intan tega menusuk sahabatnya sendiri. Kenapa, kenapa dia memilih diam tanpa mau bercerita. Aku yakin, dia takut jika aku memintanya mengalah. Maka itu dia memilih bungkam. Bulir bening mengalir tanpa bisa ku bendung. Kenangan indah bersama Intan menari-nari dalam angan. Lalu secepat kilat kenangan itu berubah menjadi bayang saat Intan dan Romi duduk di pelaminan. Rasanya seperti luka yang sengaja ditaburi garam, perih tak terperi. Sebenarnya hari ini aku sengaja cuti kerja agar bisa bertemu dengan Romi. Bisa memulai mendekati lelaki berhidung mancung itu. Bukan semakin dekat tapi kenyataan pahit yang justru ku dapat. Ya Tuhan, ini sungguh tak adil untukku. Kapan, Engkau kirimkan lelaki yang bisa mendampingi diriku hingga akhir hayat nanti. Mobil ku parkiran sembarangan. Aku tak perduli jika nantinya papa atau mama marah. Yang
Aku duduk di ruang keluarga sambil menonton berita yang di tayangkan salah satu stasiun televisi. Sesekali aku lirik Intan yang duduk di meja makan sambil asyik bercerita dengan mama. Senyum mengembang melihat keakraban dua wanita beda usia itu. Andai saja Intan menerima perjodohan ini mungkin aku akan hidup bahagia. Ku tepuk jidat perlahan, kenapa aku bisa memikirkan itu. Apa aku mulai menyukai Intan. Tiga hari Intan merawat mama membuatku selalu melihat gadis bercadar itu. Mengintainya dari kejauhan. Dia begitu tulus merawat mama. Hingga menumbuhkan rasa yang entah apa. Apakah ini hanya sebuah pelarian akan pupusnya cinta bersama Anita? Ah, entahlah, aku sendiri tak mengerti tetang rasa yang mulai tumbuh di hati. Mataku masih awas melihat gerak-gerik Intan. Dirinya jauh lebih menarik dari pada acara televisi yang entah menayangkan berita apa. Degup jatung seperti dipacu saat tak sengaja mata kami saling bertemu. Ada desiran aneh yang hadir dengan sendirinya. Perasaan macam apa
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan