Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
DEEEERRRR...!! Suara pintu dibanting, kutoleh sumber suara.Ah... Ibu lagi ... ibu lagi, bosan rasanya setiap hari selalu dan selalu begini. Ingin rasanya pergi dalam sekejap memakai pintu kemana sajanya Dora***n, tapi sayang hanya ada di televisi saja. Ibu mertuaku memang selalu begini saat Mas Deni tak ada di rumah. Menurutnya aku seperti benalu, yang menumpang makan dan tidur tanpa melakukan apapun. Padahal dulunya dia begitu baik dengan aku, kami seperti anak dan ibu kandung. Namun setelah aku resign, dan memilih menjadi ibu rumah tangga sesuai keinginan Mas Deni agar aku bisa segera hamil. Tiba-tiba juga ibu berubah 180°. Tidak ada angin, tidak ada hujan selalu marah-marah padaku. Atau memang ini watak aslinya, Entahlah... "Ada apa bu?" tanyaku selembut kapas, tapi hatiku jangan tanya pengen teriak rasanya. Sabar, sabar Nit. Kusemangati diriku sendiri. Kalau bukan aku siapa lagi? "Kamu itu ya gak guna banget! Sudah gak kerja, gak pinter masak. Bisanya apa sih? Makan do
Allahu Akbar...Allahu Akbar...Aku terbangun, tidak terasa hampir dua jam aku tertidur. Sekarang badan dan pikiran menjadi lebih fresh. Aku buka pintu kamar, sepi, tak ada tanda-tanda orang di rumah. Kulihat ke teras, masih tak ada orang. Bahkan mobil Mas Deni pun tak ada, mungkin mereka pergi. Ah... Bodo amatlah.Rumah menjadi damai tanpa mereka semua. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, sekalian wudhu dan menunaikan ibadah shalat ashar. "Ya Allah, yang Maha Penyayang berikan hambamu ini kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tangga. Ya Robb... Engkau yang mampu membolak balikan isi hati, tunjukanlah pada suami hamba kebenaran yang sebenarnya. Hamba lelah Ya Allah, beri hamba petunjuk untuk menjalani semua ini. Aamiin Ya Robbal Alamin." Lega rasanya mencurahkan segala keluh kesah pada Sang Pencipta.Setelah mencurahkan isi hati kepada Sang pemilik hati, kulanjutan aktifitas sore,mulai dari menyapu rumah dan halaman. Gerah dan bau asem, kulangkahkan kaki menuju kamar,kututup pi
Drrrttt... Drrrttt... Ponselku bergetar, kuambil benda pipih yang ada di atas ranjang. Kubuka ternyata pesan dari Indah, sahabat terbaikku semasa kuliah dulu. Kita sudah seperti saudara kandung. Segera kubuka pesan yang Indah kirimkan. DEG!Foto Mas Deni dan seorang wanita duduk dengan tangan mas Deni merangkul pundak wanita itu,terlihat Mas Deni tersenyum bahagia. Wanita itu cantik dan seksi. Pantas saja Mas Deni kecantol. Bagai di tusuk seribu belati, rasanya sakit sekali. Ya Allah... Inikah alasan mereka tak mengizinkanku ikut ke pesta? Siapa sebenarnya wanita itu?Kenapa dia tega merebut Mas Deni? [Nit, tadi kulihat suamimu pergi ke pesta bersama mertuamu, Rani dan seorang wanita. Deni sangat mesra bersama wanita di foto itu. Maaf ya Nit, bukan maksudku memanas-manasi kamu. Aku hanya tak ingin kamu disakiti Deni. Sabar ya sayang, kamu pasti kuat] Kubaca pesan dari Indah. Air mata masih terus menetes, napasku terasa sesak. Rasa marah, kecewa dan benci jadi satu. Aku harus ba
Rumah tangga itu ibarat sebuah rumah,Nit. Dalam sebuah rumah harus ada tiang untuk menopang agar rumah itu tetap kuat dan kokoh. Kalau tiangnya saja keropos, mana mungkin rumah itu akan berdiri kokoh. Begitu pula dalam sebuah rumah tangga.Kejujuran,kepercayaan dan kesetiaan adalah tiang penyangga dalam sebuah rumah tangga. Kalau tiangnya saja rapuh atau tidak ada. Hanya menunggu waktu saja, rumah tangga itu akan hancur dengan sendirinya. Pesan ibu masih terngiang- ngiang jelas di telingaku. Ya, ini menggambarkan keadaan rumah tanggaku saat ini. Bukan hanya tiangnya saja yang rapuh. Tapi... Keluarga Mas Deni pun sudah tak menghargai dan mengganggapku sebagai menantu. Terbukti ibu dan Rani mengizinkan dan mendukung Mas Deni untuk menikah lagi. Sama seperti ibuku dulu, hanya bedanya ibu bertahan karena ada aku di dalam hidupnya. Beliau tak ingin aku terpuruk akibat menjadi anak broken home. Lha aku, anak saja belum punya, jadi tak ada alasan untukku bertahan dipernikahan yang menyiks
Pov DeniAda meeting di kantor, tapi aku belum juga sampai. Jalan ibu kota hari senin begini, MasyaAllah macetnya. Sampai di kantor, aku bergegas berlari ke ruangan meeting. BRUUGG"Aw ...," teriak seorang wanita kesakitan saat tak sengaja aku menabraknya."Maaf mbak...." Kubereskan berkas-berkasnya yang berantakan. Ku berikan berkas itu. "Deni ya? Deni Permana," ucap wanita itu,kuinggat-inggat siapa gerangan wanita cantik nan seksi ini?Mataku sampai tak berkedip melihat body nya yang, aduhai. Bikin hasratku naik saja. Hahahahaa... "Iya siapa ya?" Mataku tak bisa lepas darinya. Dag dig dug, jantungku malah semakin berdetak. "Lupa ya? aku Kamila, teman sekelas kamu waktu SMA dulu," Jelasnya.Ku ingat-ingat, bukannya Kamila dulu yang suka mengejarku, si gendut tapi sekarang duh bodynya...Hemmm. Aku sampai menahan air liur menatapnya. "O,ya aku ingat," ku berikan kartu namaku,"aku buru-buru, lain waktu kita ngobrol lagi." Kutinggalkan dia, bergegas melangkah ke ruang meeting. ***
Tok... Tok... "Nita buka pintunya!"Kudengar suara orang memanggil, seperti ibu. Kulihat dari balik jendela.Ow,ternyata ibu tapi dengan seorang wanita. Siapa gerangan?Kubuka pintu, lalu meberikan seulas senyum.Senyum palsu tepatnya. Namun tak dihiraukan ibu, wanita itu masuk begitu saja."Nita, itu tas Mila bawakan masuk!" ucapnya seraya menunjuk dua tas besar di teras. "Mila ayo masuk!"DEG! Tunggu, Mila? Bukannya itu nama maduku? Kutoleh wanita itu, benar saja itu Mila, sama persis di foto yang Indah kirim padaku tempo hari. Astaghfirullahalazim... Kuelus dada, mencoba menahan emosi yang semakin memuncak. Bisa-bisanya Mas Deni mengizinkan pelakor itu tinggal di rumah ini. Memang benar ini rumah orang tua Mas Deni, tapi setidaknya hargai aku sebagai istrinya.Ya Allah, kuatkan Aku! Kubawa masuk tas-tas itu ke dalam kamar tamu.Ah, malang benar nasibku, seperti jadi babu simpanan suamiku.Sabar-sabar Nita, demi mobil kembali ke tangan.Kusugesti diriku sendiri.Aku tak boleh men