"Baliiiiii......! I love you so damn much!"
"Jangan norak Rey, bikin Om malu aja!"
"Biarin, yang penting Rey seneng!"
Tanpa menghiraukan omelan om Anjas aku berlari menyongsong air di tepian pantai. Aku sengaja menggunakan bikini one piece dibalik kain pantaiku. Makanya dari tadi om Anjas tidak berhenti mengomel bahkan mengumpat sedangkan aku hanya tertawa menanggapinya.
Ombak bergulung-gulung di kejauhan menuju pantai. Di sini emang surganya para peselancar. Sayang aku gak bisa surfing. Kulupakan sejenak kegalauan tentang om Hans. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya dan aku akan belajar melupakannya. Aku sudah mantap untuk lanjut di Monash. Jarak yang membentang semoga bisa membantuku untuk berproses, proses melupakannya tentu saja. Insomniaku semakin parah, aku bisa tiba-tiba terbangun di tengah malam karena mimpi buruk tentangnya. Bukan, bukan tentang om Hans yang celaka atau semacamnya tapi senyum mengejek om Hans atau tatapan mata tajam yang menyiratkan kebencian dari om Hans. Dan itu membuat jantungku berdenyut sakit. Aku tidak menceritakannya pada siapa pun bahkan Rayan sekali pun tentang semua ini. Makanya saat om Anjas mengajakku ke Bali aku riang bukan kepalang. Om Anjas sampai terheran-heran melihatku yang begitu senangnya. For god shake ini bukan pertama kalinya aku ke Bali tapi tingkahku seperti orang yang tidak pernah liburan sebelumnya.
"Om, nanti jangan rindu ya sama Reyna," celetukku menjahili om Anjas yang tengah menggendongku. Ya, aku digendong om Anjas, jangan bayangkan aku digendong ala bridal style, big no. Aku digendong om Anjas dipunggung, nemplok kayak cicak. Kami menyusuri tepian pantai sambil menanti sunset. Manjaku kumat dan yang ada di dekatku cuma om Anjas jadilah dia tempat pelampiasanku.
"Hhh...," om Anjas menghela napas lelah," dompet om akan aman dan gak ada yang akan gangguin om lagi dong?"lanjutnya.
"Ha ha ha... iya ya om, gak da lagi yang bisa Reyna poroti. Tapi om jadi gak punya temen kondangan dong nanti?"
"Om tinggal cari cewek dong!" bela om Anjas tak terima.
"Ha ha ha... jomblo abadi kayak om emang masih ada yang mau?" ledekku lagi.
"Sembarangan kalo ngomong! Om bukan jomblo abadi ya!"
"Iya deh g jomblo abadi, tapi perjaka lapuk, ha ha ha...."
"Doanya jelek banget ya sama om sendiri," suara om Anjas dibuat senelangsa mungkin. Meskipun aku tahu itu dibuat-buat tapi hatiku tersentil. Om Anjas adalah lelaki setia. Setelah calon tunangannya meninggal 5 tahun yang lalu karena kecelakaan om Anjas tak pernah terlihat mengencani cewek manapun.
"Om, apa... om... belum bisa... melupakan mbak Fira?" tanyaku ragu-ragu, takut menguak luka lama.
Bukannya menjawab om Anjas malah menurunkanku dari gendongan dan duduk di tepi pantai. Langit mulai memerah mengiringi sang surya yang mendekati peraduannya. Matanya menerawang jauh sesekali menghela nafas.
"Ini bukan masalah melupakan Rey. Hanya.... apa ya? Mungkin om belum menemukan seseorang yang seperti dia atau yang lebih dari dia."
"Kalo om menjadikan mbk Fira sebagai patokan, om tidak akan pernah beranjak. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing makanya diperlukan peran cinta di dalamnya. Kalo cinta udah hadir bahkan kekurangan pasangan pun akan mengabur karena tertutup perasaan cinta."
"Entahlah Rey, bahkan om belum menemukan perempuan yang membuat om tertarik."
"Apa tidak ada perempuan yang membuat om nyaman berada di dekatnya?"
"Ada."
Aku spontan menoleh mendengar jawabannya," Siapa?"
Om Anjas menatapku," Kamu dan mamamu," jawabnya.
Aku memutar bola mataku mendengar jawaban om Anjas. "Aku ini nanya serius om!" kataku kesal.
"Ha ha ha..." om Anjas tertawa melihatku memanyunkan bibir karena kesal.
"Om ini nyebelin ya!"
"Reyna... Reyna, kamu lucu kalo ngambek," godanya sambil menjawil hidungku.
"Pokoknya aku gak mau tahu ya om, aku gak mau pulang sebelum om nikah. Titik!" ancamku.
"Idih ngancem. Kalo kamu gak pulang ya kami tinggal nyusul lah."
"Enggak boleh! Aku gak bakal kasih tahu aku dimana kalo om belum nikah."
"Emang kamu gak kangen sama mama papamu?"
"Gak peduli, paling kalo mereka kangen bakal ngrecokin om karena om gak nikah-nikah," balasku lagi dengan senyum smirk ku.
"Hhhhh enak aja dikira cari istri kayak beli baju."
"Bodo amat!"
"Kayak yang kamu sanggup aja nahan kangen sama kami."
"Try me then."
-
---Anjas POV
Aku mengerutkan kening sambil melihat ponselku. Aku baru pulang dari pantai bersama Reyna. Saat sampai kamar ponselku berbunyi dan saat kulihat ID caller terpampang nama Hans di sana.
"Di mana?" tanpa salam dia menanyakan keberadaaanku.
"Lagi di Bali. Why?"
" Aku nyusul."
"Bukannya kamu di Jerman?"
"Udah balik."
"Any problem?"
"I'll tell you later."
"Ok."
Jawaban singkat-singkat yang dia berikan menandakan bahwa dia sedang dalam masalah. Aku tahu betul gelagatnya kami berteman sejak kami sama-sama kuliah di Cambridge University. Tak mau ambil pusing aku bergegas mandi karena Reyna pasti sebentar lagi merengek minta jalan-jalan. Entah ada apa dengannya, hari ini dia begitu manja tapi ada satu momen yang kulihat dia begitu terlihat dewasa tapi yang ada yang ganjil karena aku melihat kesedihan di matanya.
Aku begitu menyayanginya karena dia adalah satu-satunya keponakanku. Kak Riana pernah keguguran yang menyebabkannya tak bisa memiliki anak lagi makanya kami begitu memanjakannya. Sampai sekarang aku masih tinggal bersama mereka karena kakak perempuanku itu tak mau aku hidup bebas seperti pria seumuranku. Dia akan melepasku keluar dari rumah kalau aku sudah menikah. Ah ngomong- ngomong soal nikah aku memang sudah tua. Aku belum bisa melupakan Fira meskipun sudah 5 tahun lamanya dia pergi. Sad boy.
Aku mengajak Reyna makan malam di cafe dekat hotel tempat kami menginap.
"Kamu udah mutusin mau kuliah di mana , Rey?"
"Menurut om, Monash atau UGM?" tanya Reyna sambil menyuap makanan.
"Monash? Gak Cambridge aja?" tanyaku heran karena aku dan ayahnya lulusan salah satu universitas di Inggris itu.
Reyna menggeleng," Gak ah... gak asyik masa' kesana semua?"
"Kenapa Monash?"
"Rayan juga ke sana, jadi enak nanti aku ada temen."
Mataku menyipit menatap curiga padanya," Ada hubungan apa kamu sama Rayan sampai kuliah pun mau sama-sama?"
"Emangnya kenapa?" Reyna balik tanya dengan dahi mengkerut.
"Kalian pacaran?!" aku bertanya dengan nada sedikit keras.
"Ha...ha...ha.... Santai om gak usah ngegas gitu. Rayan kan ambil kedokteran di sana dan di sana kan juga ada arsitektur jadi gak masalah dong kami satu universitas. Lagian kenapa emangnya kalau aku pacaran sama dia?" Reyna menggodaku sambil menaik-turunkan alisnya dan tersenyum menyebalkan.
"Anak kecil udah pacar-pacaran. Ganjen banget sih!" suara Hans menimpali mengagetkanku dan Reyna tentunya karena aku melihat ia terkesiap dan raut wajahnya berubah.
"Kok udah nyampai aja? Cepet banget?" tanyaku heran pasalnya baru sekitar 2 jam lalu dia menelpon menanyakan keberadaanku.
"Saat aku telpon kamu tadi aku di airport. Langsung cari tiket ke sini."
Aku mengangguk tanda mengerti," Dari Jerman dong ini belum ke rumah?"
Dia hanya menjawab dengan anggukan. Aku beralih ke Reyna yang diam sambil mengaduk-aduk makanannya tanpa menyela percakapan kami seperti biasanya.
"Rey? Kok diem aja?" tanyaku memancing.
Dia mengangkat wajahnya menatapku," Trus Reyna harus apa?" tanyanya balik.
"Biasanya seneng banget kalau ada aku," sahut Hans memancing, seperti inilah sifat dia aslinya agak usil.
Anjas POV end
Reyna menoleh ke arah Hans dengan ekspresi jengah," Kok om kepedean banget sih?"
"No... aku gak kepedean. Emang biasanya gitu kan? Kamu kan centil," jawab Hans dengan smirk terukir di bibirnya.
Reyna mengangkat sebelah alisnya kemudian berucap," Tadi ganjen sekarang centil. Seburuk itu ya aku di mata om. Tapi gak papa sih. By the way kok om dah pulang dari Jerman? Is it a yes or... no?" tanya Reyna dengan wajah yang begitu menyebalkan di mata Hans.
"Biar Reyna tebak, pasti no kan? Secara siapa yang mau nikah sama om yang dingin dan galak begini?" smirk masih menghiasi bibir menggemaskan Reyna.Mendengar pernyataan Reyna, Hans mengeraskan rahangnya. Dua minggu lebih ia di Jerman, seperti main kucing- kucingan. Dia belum menemui kekasihnya lantaran tengah mempersiapkan lamaran sebagai kejutan untuk sang kekasih tercinta. Namun belum sempat ia wujudkan malah dirinya sendiri yang dibuat terkejut oleh kelakuan kekasihnya, Jessica. Kekecewaan yang sempat mereda tadi berubah menjadi kemarahan yang berkobar di matanya. Apalagi dengan pertanyaan bernada mengejek yang keluar dari mulut Reyna barusan membuatnya seperti lelaki menyedihkan.
"Shut up! Bukan urusanmu!" jawab Hans ketus setengah membentak.
Reyna mengerutkan keningnya heran. Kenapa Hans tiba-tiba terlihat marah. Jelas sekali ada api kemarahan di matanya yang membuat Reyna merinding.
Anjas tak tega melihat Reyna tapi ia tahu Hans tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ingatkan dia untuk memberi pengertian pada Reyna nanti.
"Hm...," deheman Anjas memutus kontak mata Hans dan Reyna. "Gak mau pesan makan Hans?" lanjutnya mencoba mencairkan suasana.
"Udah makan di pesawat tadi," bohong Hans mana mungkin ia sanggup menelan makanan saat hati dan pikirannya kacau.
"Kalian udah selesai?""Aku sih udah. Kamu Rey?"
"U... udah sih om," Reyna terbata menjawab pertanyaan Anjas karena masih memikirkan kemarahan Hans yang tersulut tiba-tiba.
"Kalau gitu aku pinjam Anjas dulu ya Rey, aku ada perlu dengan om kamu," kata Hans tanpa menatap Reyna.
"Iya om. Reyna ke kamar dulu," merasa diusir secara halus Reyna bergegas pergi dari cafe. Tidak, Reyna tidak kembali ke kamar seperti yang ia katakan tapi ia pergi ke arah pantai untuk menenangkan pikirannya.
'Debur ombak yang biasa menenangkan sekarang tidak lagi. Ada apa denganku? Bukankah aku sudah mantap melupakan om Hans dan membuang perasaanku? Harusnya ia sudah tidak memberikan pengaruh apapun padaku.'
Sampai tengah malam Reyna belum kembali ke kamar. Dia tidak takut ketahuan Anjas karena ponselnya masih senyap berarti omnya belum kembali ke kamar hotel. Kalau sudah kembali pasti dia akan mengecek kamarnya.
Dengan langkah lesu dia menyusuri jalan kembali ke hotel. Untung dia tadi tidak pergi terlalu jauh jadi masih aman karena jalan di sekitaran hotel masih ramai.
Sampai di lobi hotel ia melihat Hans berjalan tergesa dengan penglihatan yang muram dan tidak fokus seperti menahan sesuatu. Merasa ada yang aneh Reyna mengikutinya sampai dilihatnya Hans masuk ke sebuah kamar. Ingin meminta maaf atas kelancangan ucapannya tadi tapi merasa ini bukan waktu yang tepat karena waktu sudah lewat tengah malam.
Berbalik mau berjalan kearah kamarnya tapi bahu Reyna membentur seorang wanita cantik yang memakai pakaian seksi. Reyna tertegun sesaat.
"Sorry," ucap perempuan itu dan tanpa menoleh ke arah Reyna ia melanjutkan langkahnya sampai berhenti di depan sebuah kamar. Seperti orang kebingungan wanita itu tidak mengetuk atau membuka pintu kamar di depannya.
'Tunggu, itukan kamar om Hans?' kata Reyna dalam hati. 'Siapa perempuan itu?' Apakah kekasihnya? Tapi tidak ada tampang bulenya?'
Tanpa sadar langkah Reyna mendekati wanita itu. "Mbak kenapa?" tanyanya penasaran dan terus melihat wanita itu yang terlihat salah tingkah.
"Ehm... ehm...," wanita itu terlihat semakin salah tingkah atau bingung?
"Tenang mbak. Aku kenal dengan penghuni kamar ini. Mbak ada perlu apa? Kenapa terlihat kebingungan?" sambil tersenyum Reyna berusaha menenangkan wanita yang masih terlihat bingung itu.
"M.. mbak kenal sama pria yang di dalam?" tanya wanita itu balik ada sorot pengharapan di matanya.
Reyna menjawabnya dengan senyuman dan mengangguk pelan.
"Bisa bantu saya?" wanita itu memegang tangan Reyna dengan menghiba.
"Ba.. bantu apa?" Reyna terkesiap kaget dengan tingkah wanita itu
Setelah bercakap- cakap beberapa saat Reyna manganggukkan kepalanya pelan tanda setuju membantu wanita itu. Keputusan berat tapi harus diambilnya untuk membantu wanita di depannya dan pria di balik pintu kamar itu.
"Trimakasih, trimakasih banyak mbak," wanita itu terus mengucapkan terimakasih sambil terisak.
Reyna memeluk wanita itu dan menepuk punggungnya. "Semoga lekas sembuh ya mbak," ucapnya lirih.
Wanita itu mengangguk dan terus terisak sambil menggumamkan terimakasih. Beberapa saat kemudian wanita itu pergi meninggalkan Reyna yang menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.
TBC
Wanita itu mengangguk dan terus terisak sambil menggumamkan terimakasih. Beberapa saat kemudian wanita itu pergi meninggalkan Reyna yang menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.'Mbak harus cepet masuk, ya. Mas yang di dalem butuh bantuan banget,' pesan wanita yang barusan pergi dan meletakkan card akses masuk ke kamar Hans. Tak mau membiarkan Hans menunggu terlalu lama Reyna bergegas membuka pintu dengan card yang diberikan wanita tadi.Dengan tangan gemetar dan perasaan gamang Reyna masuk ke kamar hotel. Saat masuk pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah pakaian yang berserakan di lantai tapi Hans tak terlihat. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu di sisi kanan ranjang yang ia yakini adalah kamar mandi.Saat masih bingung memikirkan apa yang harus dilakukannya tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan muncul Hans hanya dengan mengguna
Reyna menangis tanpa suara. Tidak hanya fisiknya yang terluka tapi hatinya juga. Hari ini keperawanannya direnggut. Memang orang yang dicintainya yang mengambil keperawanannya tapi prinsipnya ia tak mau melakukannya sebelum menikah. Dan sekarang ia melanggar prinsipnya sendiri. Dia datang bermaksud menolong tapi dirinya sendiri tak tertolong.Terdengar dengkuran halus dari arah belakang tubuhnya, yang menandakan Hans sudah terlelap. Diraihnya tas tangan yang tadi dibawanya dan mengambil ponsel yang ia simpan di dalamnya. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari, beberapa misscall dan pesan dari Anjas menanyakan keberadaannya.Sorry om, Reyna udah tidur SendTak lama kemudian notifikasi pesan berlogo hijau muncul, balasan dari Anjas masuk.Ok. Lanjutkan tid
"Menikmati harimu, Rey?"Suara itu membuat Reyna menegang dan mengangkat pandangannya dari ponsel yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Matanya bersiborok dengan mata hitam legam yang menatap tajam ke arahnya dan smirk yang tersungging di bibir seksi pria di depannya. Seketika tubuhnya meremang.Reyna masih membisu dan berusaha fakus pada makanannya yang tiba-tiba terasa hambar padahal sebelumnya terasa nikmat."Beresi barang- barangmu aku sudah pesan tiket untuk kita berdua," kata Hans sedikit kesal karena sejak tadi diabaikan oleh Reyna.Reyna berhenti menyuap dan mengangkat wajah berusaha terlihat tenang. Dia tidak mengatakan apapun tapi keningnya yang berkerut menjelaskan bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hans."Anjas tak memberitahumu?" sekarang giliran Hans yang heran karena Reyna tetap bergeming."Apa?" satu kata meluncur dari bibir Reyna.
"Loe harus bantuin gue lah.""Bantuin apaan?"Seketika senyum smirk terukir di bibir Reyna. Perasaan Rayan tidak enak melihat senyum itu. Jelas sekali Reyna punya rencana licik untuknya."Perasaan gue gak enak, Rey.""I love you too, Ray," ucap Reyna full senyum sambil mengedipkan sebelah matanya."Uhh... gue tahu loe pasti numbalin gue lagi," Rayan cemberut dan kembali menelentangkan tubuhnya kembali sambil memikirkan kata- kata apa yang harus diucapkannya pada orang tua Reyna nanti."Udah gak usah banyak mikir, ayo kita ke bawah sekarang," Reyna menyeret tubuh Rayan untuk segera bangkit. Tapi tubuh Rayan yang segede gaban tak beranjak sedikit pun."Biarin gue cari wangsit dulu, Rey," Rayan menyentak tubuh Reyna hingga tubuhnya menindih tubuh Rayan yang masih terbaring telentang.Tepat saat itulah pintu kamarnya dibuka dari luar dan muncul Anjas serta Hans di belakangnya. Empat pasang mata yang saling
Reyna tidak berani menceritakan peristiwa di Bali hampir satu bulan lalu kepada siapapun. Termasuk keluhan mual yang dialaminya akhir- akhir ini. Dia berharap apa yang dipikirkannya salah. Dia tidak mau mengecewakan semua orang terlebih lagi ia tak mau hidup bersama seorang pria bermulut sampah seperti Hans. Kalau apa yang dipikirkannya benar maka ia memilih pergi.Dengan tangan gemetar Reyna mengambil test pack yang ia beli kemarin secara sembunyi- sembunyi. Dibacanya dengan teliti tata cara penggunaannya sebelum menyobek bungkus dan mengeluarkan isinya. Lima belas menit paling menegangkan dalam hidupnya saat menunggu hasil dilaluinya dengan mondar- mandir di dalam kamarnya. Saat melihat hasilnya dia tak kuasa menahan isak tangis yang menyesakkan di dadanya. Reyna merosot duduk di ujung ranjang, mengacak rambutnya frustasi sesekali memukul dadanya yang sesak.Bagaimana masa depan anak yang dikandungnya adalah hal pertama yan
Aku menyadari om Hans sesekali mencuri pandang ke arahku melalui spion tengah. Aku pura- pura tidak peduli dengan menyandarkan kepala pada jok mobil dan memejamkan mata. Sebelum memejamkan mata sekilas kulihat om Hans melepas jasnya, gerah mungkin. "Humb..." tiba- tiba rasa mual yang aku rasakan saat pagi kembali kurasakan di saat yang tidak tepat. Spontan om Hans menoleh ke belakang diikuti om Anjas yang menatapku dengan cemas. Aku menutup mulut dan mengangkat kepala bertemu pandang dengan mata hitam kelam yang menatap mataku menyelidik. "Kamu kenapa, Rey? Sakit?" suara om Anjas terdengar cemas. "Ah enggak Om, cuman ini kan udah lewat jam makan siang, perutku sedikit gak enak mungkin maagku kambuh," dengan lancar aku berbohong, ya akhir- akhir ini aku sering berbohong. Setiap pagi aku tidak ikut sarapan bersama karena menyembunyikan rasa mual dan saat ditanya aku harus berbohong dengan mengarang berbagai
"Terima kasih Om," Reyna menerima dengan ragu dan pandangan yang masih menunduk. Masih tidak mengerti dengan tindakan Hans, berlebihan untuk sebuah basa basi sepertinya."Jaga diri baik- baik di sana."Reyna hanya mengangguk."Rey, buruan!" Rayan memanggilnya.Reyna menatap keluarganya satu persatu, merekam sebanyak- banyaknya keberasamaan hari ini dan terakhir ia menatap Hans yang berdiri menjulang di hadapannya. Tanpa mengatakan apapun Reyna melambaikan tangan sambil tersenyum kemudian berbalik. Di depan sana Rayan menunggunya dengan cemberut."Lama banget sih, Rey? Kalau liburan kan kita bisa pulang. Gak perlu banyak drama gitu," gerutu Rayan membuat Reyna tersenyum."Kita gak tahu apa yang akan terjadi nanti, Ray," Reyna menimpali masih sambil tersenyum dan menggamit lengan Rayan agar sahabatnya itu tidak cemberut lagi.'Tidak Ray, entah
Faira menatap Reyna kaget."Mau aku bantu?" tanya Reyna dengan menaik turunkan alisnya menggoda.Faira hanya tertunduk dengan wajah memerah karena malu. 'Lucu sekali, cocok untuk Rayan yang cuek dan kadang pecicilan' batin Reyna."Kamu gak marah?" tanya Faira membuat Reyna mengernyitkan dahi tanda tak mengerti."Kenapa harus marah?""Kalian kan dekat," Faira berusaha menelisik lebih dalam."Jadi kamu belum percaya kalau aku bilang kami cuma sahabat?" rupanya gadis di depannya ini masih tidak percaya."Sorry, tapi melihat kedekatan kalian kurasa banyak yang tidak percaya," dari gestur dan cara berbicara Faira, gadis itu terlihat merasa tak enak dengan apa yang ia utarakan."Aku mengerti," alih- alih marah Reyna justru tersenyum mendengar keterus terangan Faira."Aku tidak memaksamu untuk percaya."