DEG
Hans memegang dadanya yang berdenyut nyeri seperti ada yang dipaksa lepas. Pintu ruangannya terbuka lebar dan muncul sekertarisnya yang berlari ke arahnya dengan raut khawatir.
"Bapak baik- baik saja?" tanya Nina kentara sekali bahwa wanita itu mencemaskan sang atasan.
Hans menggeleng tanpa bersuara, memejamkan mata berusaha mengatur napas merasakan denyut nyeri yang masih menyesakkan. Nina segera mengambilkan air putih dan mengulurkannya pada Hans. Dengan perlahan Hans meneguk air putih hingga dadanya berangsur- angsur membaik.
"Terima kasih," ucap Hans lirih.
Nina hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa menghilangkan raut cemas dari wajahnya.
"Bapak sudah baikan?" tanyanya kemudian.Hans hanya mengangguk masih sambil memejamkan mata.
"Sebaiknya kita pergi ke dokter, Pak," Nina mencoba memberi saran.
Hans menggeleng," Tidak perlu. Saya baik- baik saja," jawab Hans tanpa membuka mata.
"Tapi Pak....,"
"Kamu mendengarkanku, Hans?" Anjas melambai- lambaikan tangannya di depan wajah Hans saat menyadari temannya ini tengah melamun."Ck... orang cerita sampai mulut berbusa dia malah melamun," Anjas berdecak kesal."Sorry," balas Hans singkat tanpa berusaha membela diri karena memang kenyataannya begitu."Gimana Jessica mau gak kerja di kantor Bang Rashad?" tanya Anjas to the point."Dia mau kerja di kantormu tapi sementara saja. Kalau staffku cuti dia mau pindah ke sini," terang Hans merasa tidak enak karena permintaan Jessica yang tidak masuk akal dan seenaknya sendiri."Wow... mau enaknya saja dia ya? Kamu sungguh pria yang luar biasa Hans, masih bisa bertahan dengan wanita seperti itu," kata Anjas dengan nada mengejek.Hans tahu itu adalah sindiran pedas untuknya namun hanya ditanggapinya dengan mengangkat bahu."Sorry," katanya kemudian."Sebenarnya apa sih yang membuat kamu masih bertahan sama dia?" Anjas masih tak habis pikir
Sepanjang jalan Reyna berceloteh antusias dan hanya Livi yang menanggapi dengan sama antusiasnya. Fira yang duduk di sebelah kiri Reyna dan Rayan yang tengah menyetir hanya tersenyum miris. Masih tidak menyangka sahabat mereka akan mengalami hal seperti ini.Reyna yang selalu terlihat ceria ternyata menyimpan luka yang akhirnya menjadi bom waktu untuk dirinya sendiri."Kok kita ke rumah sakit, Ray?" tanya Reyna saat mereka memasuki lobi rumah sakit."Maaf ya Rey, aku ada perlu sebentar di rumah sakit," Faira beralasan."Oh gitu. Jangan lama- lama ya, Ra, aku udah gak sabar pengen jemput Reyhan," balas Reyna sambil tersenyum.Faira hanya balas tersenyum tak mampu berkata- kata. Sekilas tatapannya bersiborok dengan Rayan yang terlihat sayu. Mereka berempat masuk dengan Faira memimpin di depan menuju ruangan dokter yang sudah dihubungi sebelumnya."Kalian tunggu di sini dulu ya? Aku masuk sebentar," Faira masuk ke ruang dokter sementara yang la
"Hal itulah yang membuatnya seperti sekarang. Ada beberapa pasien yang akan meraung dan ada beberapa yang akan mengalami hal seperti Reyna karena dirinya yang biasa menyimpan semuanya sendiri. Saya akan bantu agar dia bisa meluapkan semuanya, itu akan sedikit membantunya," terang dokter Tommy mengenai kondisi Reyna sekarang.Faira mengangguk tanda setuju dengan tindakan yang akan diambil oleh dokter Tommy. Dan benar saja saat dokter Tommy mulai memancing Reyna dengan beberapa pertanyaan mengenai Reyhan, Reyna menangis memang tidak sampai meraung tapi terus meracaukan apa yang selama ini ia pendam."Aku memang ibu yang tidak pecus, Dokter. Aku ibu yang egois, aku tidak bisa membahagiakan anakku, aku tidak pantas menjadi seorang ibu. Makanya Tuhan mengambil anakku. Hiks hiks...," Reyna terisak memilukan sampai bahunya terguncang membuat Faira tak bisa membendung air mata seraya memeluk Reyna yang memeluk badannya sendiri."Harusnya pagi itu aku tidak pergi bekerja
Hal yang membahagiakan bagi Jessica saat mendengar kabar bahwa staff yang harusnya cuti melahirkan bulan depan harus cuti lebih awal karena kandungan sang staff sedikit bermasalah. Dengan semangat Jessica membeli baju- baju kantor yang dinilainya modis dan seksi membuat Hans murka."Kamu mau bekerja atau menjadi pel*cur di kantor?" teriak Hans garang membuat Joane beringsut di belakang sang ibu."Hans! Jangan berteriak di depan anakku!" Jessica balas berteriak.Siska, baby sitter Joane segera menggendong Joane untuk menjauh dari kedua majikannya yang sedang bersitegang."Ganti bajumu sekarang Jessica!" Hans kembali berteriak."Aku tidak mau!" Jessica menolak."Ganti baju atau tidak usah ke kantor," dengan tegas Hans memberikan pilihan yang mau tak mau harus Jessica turuti.Hans berlalu ke ruang makan untuk segera sarapan karena sebentar lagi jam masuk kantor. Jessica menghentakkan kakinya tanda kesal tapi tetap kembali masuk kam
Jessica tengah merenung di kamarnya malam ini. Hubungannya dengan Hans tidak ada kemajuan sama sekali. Dia pikir setelah mereka bekerja di tempat yang sama mereka akan lebih dekat dan Hans kembali membuka diri untuknya namun ternyata ia salah. Hans tetap dingin seperti kemarin- kemarin.Apalagi Anjas, pria itu sering ke kantor untuk urusan pekerjaan maupun hanya sekedar mampir membuatnya uring- uringan karena berhasil memonopoli Hans. Bahkan wanita yang dulu diakui Hans pernah dekat dengannya pun belum ia ketahui sampai saat ini karena memang tak pernah ada wanita yang berkunjung ke kantor Hans selain rekan bisnis."Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus memikirkan cara agar aku bisa dekat kembali dengan Hans," monolognya sambil mondar- mandir di dalam kamarnya."Apa yang salah denganku? Aku masih cantik seperti dulu. Apa Hans sekarang tidak suka wanita? Tidak, tidak. Itu tidak mungkin," satu tangan Jessica berada dipinggang dan satu tangan lainnya mengusap keni
Selepas makan siang Hans kembali bekerja. Dirinya memang lebih sibuk dari biasanya karena ada beberapa proyek yang dia kerjakan. Ditambah lagi Anjas yang baru saja mengabarinya bahwa sore nanti temannya itu ada urusan di Bali jadi ia pun mengambil alih pekerjaan Anjas.Kopi hitam menjadi teman setianya dikala pekerjaan menumpuk seperti sekarang ini. Terkadang ia pulang saat hampir menjelang tengah malam. Saat tengah konsentrasi membaca dokumen kepala Hans tiba- tiba terasa pusing dan perutnya mual. Tak tahan dengan rasa mualnya dengan langkah tertatih ia berjalan ke arah toilet untuk memuntahkan isi perutnya.Hoek... hoekMakanan yang baru saja ia makan sudah ia muntahkan semua hingga hanya air yang keluar dan meninggalkan rasa pahit di pangkal lidah. Kepalanya semakin berkunang, keringat dingin mulai keluar serta perutnya terasa melilit. Dengan menyeret langkah dan berpegangan pada dinding, akhirnya Hans berhasil membuka pintu ruangannya."Nina... to
Jessica melangkah mendekati ranjang Hans diikuti Nina dari belakang."Kok bisa keracunan ya Bu? Apa dari makanan tadi siang?" Nina terlihat berpikir keras terlihat dari kerutan di keningnya."Entahlah Nin," jawab Jessica sambil membetulkan selimut Hans."Apa saya harus memeriksa sisa makanan tadi siang?""Resto tempat membeli makanan tadi siang sudah langganan atau baru?" tanya Jessica sambil berbalik ke arah Nina."Sudah langganan Bu. Setiap hari saya yang memesankan makanan termasuk saat berdua dengan Pak Anjas," jelas Nina."Kalau begitu tidak perlu diperiksa. Sudah berkali- kali beli disitu dan baik- baik saja, baru kali ini begini. Biarkan saja, kasian restonya kalau kita tuntut. Anggap saja Hans sedang sial," kata Jessica kemudian mendudukkan pantatnya di sofa ruang perawatan Hans.Mendengar penuturan Jessica, Nina hanya mengangguk. 'Ada benarnya juga kata Bu Jessica. Kasian restonya kalau sampai pelanggan lain tahu, nanti b
Tak butuh waktu lama bagi Hans untuk pulih. Satu hari satu malam opname di rumah sakit dan satu hari istirahat di rumah sudah cukup membuatnya bosan. Pagi ini dia bersiap- siap untuk pergi bekerja meskipun wajahnya masih sedikit pucat. "Kamu mau kemana Hans? Kamu masih sakit!" sampai di ruang makan Hans sudah disambut dengan omelan Jessica.Wanita di depannya ini semenjak ia sakit begitu bawel soal kesehatannya. Bahkan saat dia bekerja dan Hans istirahat di rumah wanita ini 2 jam sekali akan menelepon untuk sekedar menanyakan makanan dan obat yang harus Hans konsumsi."Aku sudah sembuh, Jes. Dan aku akan bekerja hari ini. Aku sudah bosan di rumah," jawab Hans santai tak menghiraukan kekesalan Jessica kemudian mendudukkan dirinya di kursi makan."Tapi wajahmu masih pucat Hans," bantah Jessica."Ini karena tidak terkena sinar matahari," jawab Hans singkat membuat Jessica menggelengkan kepala."Mulai hari ini tak ada makan siang da