Share

Bab 6

Leo beranjak. Dia meninggalkan kedua sahabat, yang sedang melepaskan rindunya. “Li, boleh gak, aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia.

“Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang kadang sangat dingin, super cuek.

“Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa. “Ya Allah, Mey. Sejak kapan, aku menjadi pemarah?”

“Ya, siapa tahu saja.” Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani, sangat aneh untuknya. “Semalam, Bilal, datang.”

Wajah itu berubah. Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?”

“Sendiri.”

“Terus, hubungannya dengan aku, apa?”

“Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.”

“Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja, dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini, bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.”

“Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?”

Camelia tersenyum, dan menggeleng. “Semua yang sudah pergi, jelas sudah jauh, Mey. Bagaimanapun kondisi hati saat itu. Perasaanku hari ini, adalah untuk hari ini dan esok. Bagiku, tiada tempat lagi untuk masa lalu.”

“Oke. Jadi kita kembalikan posisi kita sebagai sahabat Bilal. Apakah persahabatan itu, harus berubah dengan berubahnya waktu, bertambahnya usia, dan berubahnya status?”

Camelia membisu.

“Aku mohon. Kita abaikan seluruh persoalan kamu dan Bilal. Apapun namanya, aku, kamu, Leo dan Bilal, adalah sahabat. Sebagai sahabat, aku dan Leo, sangat berharap, kamu dan Bilal bahagia, bagaimana pun perjalanan hidup kalian.”

“Maaf Mey. Hidupku, pun, butuh perhatian. Untuk saat ini, aku tidak bisa memikirkan kehidupan orang lain. Aku harap, kamu paham.”

Giliran Meylani, terpaku.

Camelia tetap bertahan, pada jarak yang tercipta, antaranya dan Bilal. Persahabatan itu, seperti waktu yang mempertegas, di mana dirinya berada.

“Oke baiklah, kita bahas yang lain. Apakah ada yang belum aku ketahui tentang kamu, Camelia Zenia?”

“Maksud kamu?”

“Aku sahabatmu, kan?”

“Iya. Memangnya ada apa? Langsung aja Mey. Aku gak suka mutar-mutar.”

“Ehm, ya itu memang kamu. Tentang Willy Samudera?”

Camelia terkejut, mendengar nama Willy, keluar dari bibir Meylani. “Kamu kenal dengan Mas Willy?”

“Kenal! Kalian ada hubungan?”

“Iya.”

“Lia, Lia. Sampai hal begini, kamu gak cerita sama aku? Memang, kamu sudah menjaga jarak Lia. Kamu tidak menganggap aku lagi sahabatmu.”

“Hey, ada apa sih?” Camelia tertawa dengan sikap Meylani. Dia heran dengan kalimat sahabatnya itu.

“Iya kami ada hubungan. Dia yang megang Rumah Bahagia sekarang. Kami sekantor, terus masalahnya di mana?”

Camelia menyebutkan seluruh defenisi tentang hubungannya dengan Willy.

“Camelia Zenia, kamu tidak mengerti, makna hubungan yang aku maksud?”

Camelia, tersenyum. Dia akhirnya paham, penegasan kata hubungan, yang Meylani maksud. Dia lantas memegang kedua tangan sahabatnya.

“Mey, Camelia Zenia, masih seperti Camelia Zenia, yang kamu tinggalkan ke Jepang, sepuluh tahun yang lalu. Gak ada yang berubah, Mey. Aku masih sendiri.”

“Tapi, kata Melati—“

Camelia melepaskan tangan Meylani. “Memang sudah dua tahun ini, Melati terus saja mendesakku membuka hati untuk Mas Willy. Tapi, saatnya belum tiba, Mey.”

“Alasan lainnya, dia hanya berani mengatakan perasaannya melalui Melati. Jika dia tidak berani menatapku langsung dan mengatakannya, bagaimana aku yakin, dia benar-benar mau hidup denganku?”

Meylani tersenyum. “Pria manapun, akan takut menghadapimu yang tanpa senyum Lia. Ayolah, kembalikan Camelia Zenia yang dulu.”

Cemelia bergeming. Dia mengalihkan padangannya.

“Kamu cari yang bagaimana sih? Aku lihat, Willy pria yang sangat cerdas, menawan, berkarakter. Seperti yang kamu mau.”

“Ya, aku akui dia memang pria yang baik. Aku tidak akan lupa, bantuannya saat mengurus pemakaman ibu, tahun lalu.”

“Willy membantu pemakaman Tante Mona?”

“Saat itu, aku dirawat di rumah sakit, tepat saat Ibu meninggal. Dengan berat hati, aku menerima tawaran bantuan dari Mas Willy. Karena saat itu, Hanan dan Melati harus berbagi tugas, menjaga Yumna, yang juga sedang sakit.”

Meylani menyimak setiap kalimat Camelia. Dia selalu hanyut, saat sahabatnya itu bercerita. Sejak awal mengenal Camelia, Meylani selalu menjuluki sahabatnya itu, Queen Of Story. Camelia bisa membawa siapa saja, larut dalam semua cerita yang tercipta dari bibirnya.

“Kamu tahu aku kan, Mey. Aku berat berutang budi. Tapi apa boleh buat, sudah terjadi. Dan saat ini, aku hanya berusaha, tidak ingin menyakiti Mas Willy.”

“Terus, kenapa gak diterima saja? Kamu ya! Willy sudah menujukkan bahwa dia menginginkan kamu. Peduli pada keluargamu. Dia sempurna banget, untuk kamu.” Meylani semakin bingung dengan sikap Camelia. Entah apa yang ada dipikiran sahabatnya itu.

“Justru aku takut, dengan semua kesempurnaan itu, Mey. Aku takut!” Meylani terpaku. Dia mencoba mendefinisikan kalimat Camelia. “Dan aku pantang mengganggu hubungan profesional dengan hubungan pribadi. Itu bukan aku.”

“Ya, ya. Kalau itu, aku mengerti. Tapi, sampai kapan?”

“Ya, sampai takdir membawa waktunya, padaku.”

Aku setidaknya bersyukur. Bukan kenangan yang membuatnya menutup hati. Meylani, membatin. Dia terus menikmati wajah cantik sahabatnya itu, yang tidak pernah berubah.

***

Waktu kembali menunaikan tugasnya menyelesaikan detik demi detik. Hari kembali berganti dengna matahari terbit pada jalurnya.

Rumah Bahagia, pukul sebelas pagi.

Camelia tampak serius mendengarkan Viona, di ruangannya. Hadir juga, Oskar dan Meta. Permasalahan ibu Mayang, salah satu klien mereka, seperti sulit mendapatkan titik terang.

Viona lantas memutar ulang, seluruh rekaman konsuling ibu Mayang. Semua menyimak, sangat serius.

“Bagaimana, Li?”

Viona meminta tanggapan Camelia, setelah seluruh video, selesai diputar. Camelia memang juniornya, namun Viona sangat mengakui ketepatan analisis Camelia, di setiap kondisi. Dia sangat cerdas, tapi tetap menolak, berpindah ke posisi yang lebih tinggi.

“Mbak Vi, masih ingat kasus—siapa lagi, ehh, yang istrinya sosialita itu.”

“Pak Luky?” Oskar mencoba menebak.

“Yah, Mas Oskar benar. Itu Mbak, Pak Luky. Kalau Mbak masih ingat, masalah mereka, persis sama, dengan masalah ibu Mayang. Perbedaannya, saat itu, suaminya yang merasa jenuh. Sekarang kan, terbalik, Mbak.”

“Ehm, iya, ya. Mbak lupa. Kalau enggak salah, dua tahun yang lalu?”

“Iya, Mbak.”

“Tapi ini kasusnya sedikit berbeda, Li. Pak Luky dan istrinya punya anak. Sehingga keberadaan anak, bisa membantu kita. Sedangkan ibu Mayang, enggak punya anak. Perjanjian pernikahan mereka jelas, tidak ingin punya keturunan.”

Hening.

“Mbak Vi, aku ada sedikit saran. Dari video yang Mbak Viona tadi putar, banyak kalimat ibu Mayang, tentang jarak, tentang kebersamaan. Kalau dari aku Mbak, tugas kita sekarang, adalah bagaimana menciptakan jarak itu mendekat. Karena ibu Mayang juga gak pernah ucapkan alasannya, gak cinta lagi, kan?”

“Ya, kamu benar Met. Berulang kali, ibu Mayang selalu menjawab, hubungannya sudah terlalu jauh. Kebersamaan mereka, nyaris tidak ada lagi. Ya, karena itu, keduanya sibuk. Dan mereka, tidak punya alasan yang menguatkan mereka, untuk menciptakan kebersamaan itu. Contohnya keberadaan anak.” Viona menyambung ucapan Meta.

“Lia, gimana?” Viona mengalihkan perhatian ke Camelia.

“Ehm. Aku mencoba merangkai cerita ibu Mayang kembali dari bawah, Mbak. Ketika kita mulai menyukai seseorang, kadang kita tidak butuh alasan, mengapa itu terjadi. Tapi, ketika kita memutuskan, memilih seseorang menjadi pasangan hidup, seseorang butuh banyak alasan. Benar, Mbak?”

Viona, mengangguk. Dia tersenyum. Ketika Camelia sudah memulai argumentasinya, itu sudah pertanda, jalan keluar sudah dekat.

“Ibu Mayang dan suaminya, sudah menikah selama tiga puluh tahun. Mereka bahkan menikah, di usia masih sangat muda, dua puluh tahun. Tapi, kok, justru di saat mereka seharusnya, menghabiskan dan menyempurnakan kebersamaan mereka di ujung usia, kenapa ‘cinta’ itu bisa berubah menjadi ‘jenuh’?”

“Karena cinta mereka tak lagi sama, seperti saat mereka pertama kali jatuh cinta,” sahut Meta. “Alasannya?” tanya Camelia, lagi. Meta menggeleng. Dia tak punya jawaban untuk pertanyaan Camelia.

“Aku bisa menjawab dari sisi pria, Mbak Lia?”

“Silahkan, Oskar.”

“Beberapa hari lalu, aku dapat klien, Mas Arman. Beliau masih muda, umur tiga puluh tujuh tahun. Dia banyak bercerita tentang hubungannya dengan istri-nya, yang sedikit berubah beberapa waktu ini. Aku coba hubungkan dengan kasus ibu Mayang, Mbak.”

Viona, Camelia dan Meta, menyimak serius setiap kalimat Oskar. Ruangan itu, seperti panggung untuk Oskar menunjukkan kemampuannya sebagai new junior consultant.

“Rasa cinta, tidak serta merta akan tumbuh atau bertahan terus menerus, hanya karena fisiknya terus bersama. Sebagaimana kita paham, bahwa mood, suasana hati, setiap manusia beda, begitu pun besar kecilnya rasa cinta. Jenuh, kadang bukan bermakna hanya pada person, atau dengan siapa kita bersama. Tapi, bisa karena faktor eksternal dari diri mereka.

"Seperti lingkungan, aktivitas padat, sehingga mereka sebenarnya butuh rehat. Tapi, karena yang dilihat hanya pasangannya, jadinya mereka simpulkan, bahwa penyebab jenuh itu, adalah karena pasangannya. Jadi sebenarnya, ketika jenuh itu hadir, jiwa hanya butuh istirahat, dan menjaga jarak sedikit dari kehidupan. Karena apapun yang kita hadapi saat jiwa lelah, respons-nya pasti negatif. Perhatian menjadi cuek, dekat menjadi tidak mengenakkan, cinta bisa jadi benci jika dipaksakan.”

Viona dan Camelia saling berpandangan, saling bertukar senyum. Analisa Oskar, tampak memberi kejutan. Mengambil jeda, Oskar melanjutkan, “Ketika pikiran sudah stabil, dan jiwa telah bebas, kenangan akan perjuangan bersama, bertumbuh, melalui berbagai badai kehidupan, tertawa dan menangis bersama, pasti akan menjadi sebab, bahwa cinta itu harus bertahan.”

“Jadi, kalau dari Oskar, apa yang bisa Rumah Bahagia lakukan sekarang?”

“Saran aku, Mbak. Kita berikan waktu rehat dan menjaga jarak untuk mereka berdua. Tapi dalam pengawasan Rumah Bahagia.”

“Aku setuju! Lia, bagaimana?”

“Pasti, Mbak. Aku sangat, sangat setuju dengan saran Oskar.”

“Jadi, apa bisa, masalah ibu Mayang saya serahkan sepenuhnya pada Oskar?” tanya Viona.

“Ehm, aku masih ragu jika sendiri, Mbak. Aku belum punya banyak pengalaman.”

“Baik, Camelia yang dampingi Oskar ya?”

“Aku?!” Camelia terkejut dengan penunjukannya. “Iya, emang siapa lagi? Oskar butuh seseorang yang berpengalaman,” lanjut Viona.

Camelia terdiam.

“Diam berarti setuju, ya!”

“Mbak—“

“Jadi Oskar, dibantu Camelia, ya.” Viona memutuskan, mengabaikan penolakan Camelia. Rapat siang itu, pun, berakhir. Meta dan Oskar meninggalkan ruangan Camelia.

“Mbak—“ Lagi, Camelia memohon pada Viona.

“Lia, kali ini, kamu jangan menolak ya. Ini, demi Rumah Bahagia. Mbak selalu percaya pada kemampuanmu. Ini untuk Rumah Bahagia. Oke, ya?”

Camelia tidak bisa lagi berkata-kata. Belum juga menyampaikan pendapatnya, Viona sudah mengambil keputusan.

“Selanjutnya, kamu komunikasi dengan Oskar ya. Kali ini kamu manajer untuk kasus ibu Mayang.”

Camelia tidak menjawab. Viona berlalu, kembali ke ruangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status