Share

002 - Pertanyaan Menggantung

Sebuah pigura berupa lukisan seseorang tampak di dalam kamarnya, ternyata Aryo masih menyimpannya dengan sangat apik. Pria itu seolah tidak mengerti bagaimana perasaan istrinya saat melihatnya, pasti hatinya terbakar membara oleh gejolak api yang terus berkobar. 

"Ternyata kamu masih menyimpannya, Mas." Helsa memegangi pigura itu yang tersimpan di ujung lemari dekat meja rias. Dia memang membereskan kamar itu lalu menghiasnya dengan serangkaian bunga indah pula lampu berkerlap-kerlip, tapi ternyata dia melupakan lukisan itu. Tidak menyimpannya di gudang seperti barang-barang lain yang merupakan peninggalan istrinya. 

"Kamu jangan mencemburuinya, karena dia sudah tiada. Benar-benar meninggalkanku untuk selamanya." Aryo terhanyut pada kesedihannya yang terasa begitu membekas dalam hidupnya. Maira memang sudah pergi dalam hidupnya, tapi segala tentangnya masih berperan dalam pikirannya selalu saja menggerayangi mimpi-mimpinya setiap kali dia memejamkan mata. 

"Walaupun raganya sudah tiada, tapi jiwa dan hatinya masih tetap ada dalam kepalamu. Bukankah begitu, Mas?" tanya Helsa menyindir. Wanita itu terkekeh pelan begitu menyadari dirinya yang terlalu menyikapi persoalan tersebut dengan serius, dia menghela napasnya pelan berusaha untuk menjauhkan pemikiran mengenai hal tersebut. Maira sudah meninggal, bahkan kini dirinya yang sudah menjadi istri Aryo. Hal apa yang membuatnya patut tuk dicemburui? 

"Apa lagi yang kamu cemburui, Helsa? Sedangkan istri pertamaku sudah tiada." 

Memang benar apa yang dikatakan suaminya jika kali ini hatinya untuk Helsa, meski sebenarnya dia masih sangat mencintai istri pertamanya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Sudah satu tahun yang lalu dia pergi meninggalkannya seorang diri berpijak di atas bumi tanpa pegangan hingga langkahnya berakhir untuk menjadi mendampingi Helsa yang merupakan sahabat dekatnya dulu saat kuliah. Mereka kembali dipertemukan untuk saling mengisi kekosongan hari- hari hingga akhirnya dalam jangka waktu beberapa bulan keduanya memutuskan untuk bersama. 

"Maaf, aku terlalu mencintaimu, hingga kusadari cemburuku terlalu berlebihan." Helsa menyudahi peraduan mulut ini dengan permintaan maaf dengan nada lembut. Dia juga menautkan jemari suaminya erat. 

"Ya, aku tahu." Aryo menyelipkan beberapa helai rambut istrinya di belakang telinganya. 

Namun, penglihatan Aryo seolah kabur hingga dia tidak bisa memandangi wajah cantik istrinya. Hal itu membuatnya beranjak dari tempat tidur mengabaikan Helsa yang terus memanggilnya untuk kembali. 

"Mas ... kamu mau ke mana?" tanya Helsa, tapi panggilan itu seolah angin berlalu yang sekedar lewat. Suaminya meninggalkannya seorang diri di dalam kamar pengantin yang dipenuhi dengan beragam bunga indah.

Malam pertama yang seharusnya diwarnai dengan kisah indah bersama, menautkan jemari juga menanap dengan penuh cinta, tapi apa yang terjadi pada pernikahan keduanya? Adanya pertikaian kecil yang sampai saat ini menjadi tanda tanya bagi Helsa dan kesedihan seorang istri yang ditinggalkan suaminya seorang diri. 

*** 

Angin berembus kasar seolah tidak suka dengan kejadian yang terjadi di malam ini, dia mungkin saja murka pada pria yang kini mematung berdiri di atas balkon. Setiap malam Aryo tidak bisa tertidur nyenyak karena dirinya selalu saja dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang selalu mengguncang tidurnya. 

Wajah sosok Maira terkemas rapi dalam ingatan, dia seolah lumpuh tidak berkuasa untuk menyingkirkannya pergi dalam hidupnya meski sebenarnya wanita itu sudah tidak diizinkan lagi untuk mengusik manusia bumi. Akan tetapi, dia seolah mempunyai kekuatan yang mampu menghalau segala pencegahan orang bisa untuk melepaskan suaminya berbahagia. Hal itu sungguh menyiksa Aryo hingga dia selalu menyukai sepi seperti saat ini, memandangi kanvas langit yang tidak lagi membiru karena kali ini kelabu yang menjadi saksi bisu kesedihan dan rindunya. 

"Kang Aryo ...," panggil seseorang yang membuat Aryo menoleh ke belakang. 

Sosok wanita berambut panjang hitam lebat tengah mematung di belakangnya, keberadaannya bukanlah mimpi, tapi Aryo selalu menyamakannya dengan mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Akan tetapi, hatinya merasa berbunga kala melihat Maira kembali menghampiri dengan wajah yang berseri. 

Namun, senyuman itu kini kembali berganti dengan ekspresi patah hati. Dia tertunduk begitu saja seolah mengartikan dirinya merasa bersedih. Aryo perlahan mendekatinya berusaha untuk menyudahi tangisnya yang kali ini terdengar bagai alunan melodi. 

"Kenapa kamu menangis istriku?" tanya Aryo lembut. Jarak di antaranya kini sudah terkikis hingga keduanya saling berpandangan beberapa saat. 

"Aku bersedih karena suamiku bercumbu dengan wanita lain. Dia sudah merebutmu dariku." Maira terlihat sangat marah, membuat suaminya menggeleng pelan. 

"Tidak, kamu jangan berpikir seperti itu. Kamu tetap menjadi yang nomer satu." 

"Dia pelakor masa kini. Aku cemburu hingga tidak bisa melihat kalian bermesraan. Aku marah, hingga membuat kamu meninggalkannya sendiri." Sudah diduga oleh Aryo jika sosok yang telah mengganggunya untuk bersama dengan istri keduanya ternyata Maira. Dia tidak salah. Wanita yang mengenakan baju panjang berwarna putih itu cemburu pada pengantin baru. 

"Maafkan aku istriku." Aryo tertunduk, dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan bulir bening yang menggenang di pelupuk matanya. 

Pria itu berulangkali mengembuskan napasnya kasar mencoba menenangkan dirinya, karena segala hal yang terjadi dalam hidupnya begitu kisruh, membuatnya tidak karuan untuk menjalani hidup. 

"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi." Aryo mengatakannya sendu. 

Pembicaraan Aryo dengan Maira justru tertangkap basah oleh istrinya. 

"Mas, kamu ngobrol sama siapa? Masuk ke dalam lagi yuk. Di sini dingin." Siapa lagi jika bukan Helsa yang sudah menggagalkan rencana Maira untuk berduaan dengan suaminya. 

Makhluk tidak kasat mata itu mengepalkan kedua tangannya dia merasa kesal pada Helsa yang kini menggandeng tangan suaminya dengan mesra. "Dasar pelakor! Ganggu saja."

Yang dapat mendengar suara Maira hanya suaminya saja, Aryo menoleh ke arahnya. Dia menatapnya dengan tatapan sendu. 

"Kamu barusan ngobrol sama siapa, Mas?" tanya Helsa. Dia bahkan mengelus lembut dada bidang suaminya. 

Mendapatkan perlakuan tersebut dari istrinya, justru Aryo mencoba untuk menjauh. Hal itu karena dirinya tidak bisa membiarkan Maira bersedih. Dia hanya ingin melihatnya tersenyum. 

"Memangnya penting buat kamu?" tanya Aryo ketus. 

Aryo melepaskan gandengan istrinya, dia justru menjauh begitu saja seolah enggan jalan beriringan. 

"Mas, sebenarnya kamu kenapa sih?" ucap Helsa menggerutu. 

Padahal, sebelumnya dia merasa jika Aryo tidak pernah seperti ini. Akan tetapi, apa yang terjadi setelah keduanya menikah? 

Namun, Helsa mencoba untuk tidak memikirkan permasalahan tersebut. Dia berusaha untuk melupakannya saja, ada kemungkinan jika suaminya terlalu kelelahan setelah banyaknya bekerja. 

Terlebih lagi, dia mempunyai banyak sekali perusahaan yang harus diurusnya. Hal itu mungkin saja menjadi salah satu faktor perubahan sifatnya. 

"Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk berpikir positif, Mas. Tapi, aku tidak mungkin diam saja, sudah seharusnya aku mencari tahu penyebab dari ini semua." Helsa mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status