Share

Bab 2 Mengamankan milikku

Sembari menunggu Sandra, iseng  aku menelpon Mas Bagas melalui panggilan video call, tapi gak diangkat olehnya. Saat panggilan ketiga dia malah  mereject. Mungkin saat ini dia sedang bersama istri mudanya, hingga teleponku diabaikan.

  Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya sandra tiba juga. Ia tak turun dari mobil, hanya membunyikan klakson sebagai kode supaya aku yang datang menghampirinya. Setelah mengunci pintu aku berjalan ke arah mobil Sandra dengan memeluk tas ransel yang isinya pindahan dari isi brankas.

   Masuk ke dalam mobil dan duduk manis di sebelah Sandra. Tanpa kupinta air mata ini turun lagi. Satu hal yang paling kubenci dalam diri ini, adalah terlalu mudah untuk mengeluarkan air mata alias cengeng. Air mata ini akan turun dengan begitu mudahnya, bahkan hanya dengan menonton drama sedih, mata ini akan menangis pilu.

   "Sudahlah ... hapus air matamu. Jangan pernah kau tangisi laki-laki sebrengsek Bagas. Air matamu terlalu berharga untuknya," ucap Sandra mengelus pundak ku.

   Aku hanya tersenyum getir mendengar omongan sahabatku itu. Tak bisa kupungkiri, saat ini aku masih sangat mencintai Mas Bagas suamiku, tapi perbuatannya menikah lagi diam-diam tidak bisa kuterima.

   "Kita mau kemana, Ra?" tanyaku masih dengan suara bergetar.

   "Mengamankan semua milikmu. Jangan sampai jatuh ke tangan pelakor itu." 

   Aku diam tak menjawab ucapan Sandra. Ingatanku melayang ke masa pacaran sampai akhirnya kami membina rumah tangga. Selama ini Mas Bagas tak pernah berperilaku kasar terhadapku, ia juga selalu romantis. Makanya jika bukan Sandra sahabatku yang  memberitahuku dengan bukti, rasanya sulit untuk percaya. Hatiku sakit sekali menerima kenyataan bahwa aku telah di duakan. Suamiku telah diambil pelakor.

   "Apa salahku, Mas? Kenapa kamu tega sama aku." Hatiku menjerit, perih. Luka tapi tidak berdarah.

   Mobil Sandra memasuki parkiran sebuah bank. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna wanita itu lalu mengajakku turun.

   "Ayo turun," ajaknya, lalu membuka pintu mobil dan segera turun.

   "Mau ngapain?" Dengan wajah terlihat bodoh aku bertanya, karena terlalu banyak menangis hingga otakku ikutan lelet.

   Sontak Sandara menepuk jidat. Mungkin heran denganku, karena dulu aku adalah wanita pintar, gesit dan mandiri.

   "Ya Tuhan, Dewi. Ya mau mengamankan tuh semua hartamu. Masa mau pijat."  Sandra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulahku. Yang kutanggapi hanya dengan senyuman paksa.

   Hampir satu jam kami berada di bank, jika bukan karena ingin melindungi hakku. Rasanya  malas jika harus berurusan begini, capek dan ribet banget. Setelah semua urusan selesai kami berdua keluar dari bank dan langsung menuju parkiran. Baru saja menutup pintu mobil, ponselku berdering, segera ku rogoh tas mencari benda persegi panjang milikku. 

   "Mas Bagas, Ra," ucapku setelah melihat layar HP. 

   "Angkat aja Wi, loudspeaker." 

   Hem! 

Aku berdehem untuk menetralkan rasa gugup.

   "Assalamualaikum. Halo, mas," salamku. Terdengar helaan nafas dari seberang sana.

   "Waalaikumsalam ... Iya Sayang, tadi kenapa kamu VC? Mas nggak  sempat angkat, tadi ada urusan dikit. Kenapa sayang?" ucapnya, menanyakan perihal VCku tadi.

   "Nggak kok Mas, gak ada masalah. Tadi aku cuma mau nanya, Mas lagi apa. Soalnya tiba-tiba perasaanku nggak enak. Aku mau pastiin kamu baik-baik saja," kataku berbohong. 

   "Gak ada masalah kok Sayang. Hanya di kantor lagi banyak pekerjaan aja. Mungkin nanti aku pulangnya telat ya, Sayang. Nggak enak sama yang lain," ucapnya memberi alasan.  Pintar sekali kamu mencari alasan, Mas. Aku tau kamu lagi berbohong. Mana mungkin kamu pulang, sementara ini hari pernikahanmu. 

   "Oh ya udah Mas, lanjutin aja kerjaan Mas. Assalamu'alaikum." Setelah mengucap salam, aku langsung  mematikan telepon tanpa menunggu balasan salam Mas Bagas.

   Sandra menggenggam tanganku erat, menyalurkan kekuatan. 

   "Kamu harus kuat, Wi. Balas mereka yang telah menyakitimu."

   "Iya, Ra. Makasih ya," ucapku singkat.

   Perlahan mobil bergerak meninggalkan parkiran bank. Lama aku dan Sandra terdiam hingga akhirnya sahabatku itu membuka suaranya.

   "Semua sudah aman. Sekarang tinggal kamu beri pelajaran buat tuh pelakor dan suami brengsek mu," ucap Sandra menekankan pada kata pelakor dan brengsek. Benar apa yang dibilang Sandra, aku tidaak boleh tinggal diam. Menerima saja apa yang mereka lakukan.

   "Liat saja Mas. Kau berani bermain api di belakangku. Biar sekalian kubakar kau dengan gundikmu itu."

**********

PoV Author

   Sementara, setelah menjalani prosesi akad nikah, dan sebagian tamu sudah berangsur pulang ke rumah masing masing. Bagas izin masuk ke kamar ingin beristirahat. Pelan ia berjalan menuju kamar pengantin. 

   Duduk di tepi ranjang, ingatannya kembali ke dua tahun silam. Saat dimana dia melakukan akad yang sama, tapi pada wanita yang berbeda. Meski pelaksanaannya sama, ritualnya sama hanya berbeda di nama wanitanya saja. Rasa yang dirasakannya pun begitu berbeda. Saat bersama Dewi istri pertamanya, ia merasa begitu bahagia dan sangat bergetar hatinya, tapi saat ini yang ia rasakan seperti hambar. Meski  pernikahan ini terjadi atas inginnya sendiri, tapi sedikit pun ia tidak merasakan seperti saat bersama Dewi.

   "Dewi ... maaf telah mencurangi mu."  Bagas bermonolog sendiri.

   'Jangan coba-coba bermain api, kalau tidak mau terbakar.' Begitulah kata pepatah yang sering ia dengar, dan itu terjadi pada dirinya sekaran. Pertemuannya kembali dengan Alika, sang mantan pacar membawanya pada hubungan terlarang malam itu. Sekarang ia harus bertanggung jawab. Meski hanya pernikahan siri, tapi ini tetap menyakitkan bagi Dewi istri sah. 

   Ditengah lamunannya, ia dikejutkan oleh Alika istri sirinya. Wanita yang baru beberapa saat lalu ia mengucapkan ijab qobul atas namanya. Dengan senyum mengembang di bibir yang di polesi lipstik itu, Alika bejalan menghampiri Bagas.

   "Mas ... aku bahagia banget, akhirnya kita menikah juga," ucap Alika. Wanita itu duduk di sebelah dan menyandarkan kepala di pundak Bagas.

   Bagas hanya diam seribu bahasa. Memikirkan bagaimana langkah yang akan diambil selanjutnya.

   "Mas, aku juga mau tinggal di rumah itu. Aku juga punya hak yang sama dengan Dewi," sambung Alika lagi.

   Spontan Bagas membalikan badan, hingga kepala sang istri siri lepas dari pundaknya.

   "Ih mas ...." Alika merajuk saat kepalanya terasa melayang.

   "Aku gak mungkin membawamu ke rumah itu sebagai istriku. Dewi nggak akan terima." Bagas menolak permintaan Alika.

   "Tapi aku juga punya hak yang sama seperti Dewi, Mas! Aku ini juga istrimu sekarang," balas Alika Tak mau kalah.

   "Tapi rumah itu atas nama Dewi. kalau kamu datang sebagai istriku, maka Dewi nggak akan terima. Dia akan langsung mengusirmu."  Bagas tidak setuju dengan keinginan istri sirinya.

   "Terserah kamu mau gimana, Mas. Aku nggak mau tau! Pokoknya aku harus tinggal di rumah itu sama seperti Dewi. Kami punya hak yang sama sekarang." Dengan egoisnya Alika menuntut.

   "Baiklah, jika memang kamu bersikeras ingin tinggal di rumah itu. Maka kamu akan masuk sebagai pembantu. Kebetulan, Dewi sedang mencari pembantu," ujar Bagas, memberi jalan keluar.

   "Apa Mas?Pembantu? Kamu gila ya, Mas. Aku ini Istrimu loh. Masa aku jadi pembantu di rumah suamiku sendiri. Nggak … aku nggak mau," ucap Alika menolak. Wanita itu kaget, Tidak habis pikir dengan saran sang suami.

   "Ya, terserah kamu. Yang ngotot mau tinggal disana 'kan kamu," jawab Bagas cuek. Menurutnya permintaan istri sirinya itu, sangat mengada-ngada.

   "Baiklah Mas, tapi hanya pura-pura saat di depan Dewi saja. Jadi aku minta kamu cari pembantu beneran yang akan menemaniku, dan menggantikan posisiku saat nggak ada Dewi. Nanti kamu kenalkan aja sebagai ibuku." Alika menyetujui saran sang suami. Baginya tidak mengapa, jika harus menjadi pembantu bohongan, saat di depan Dewi, sang madu. Asalkan bisa masuk dan tinggal di rumah itu, karena itu memang bagian dari rencananya. Masuk ke istana Dewi, dan memporak porandakan isinya.

   "Terserah kamu aja." Bagas mengiyakan kemahuan istri sirinya. Ia berpikir, selagi Dewi tidak tau siapa Alika, maka semua akan aman. Pria itu tidak berpikir, serapat apapun menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Terserah kamu aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status