Sampai jam sembilan malam, belum ada tanda-tanda Mas Bagas akan pulang. Ditelpon HPnya malah mati. Mondar mandir sudah kayak setrikaan, tapi lelaki yang bergelar suamiku itu belum juga ada tanda-tanda menampakkan batang hidungnya.
Menarik nafas panjang lalu menghembuskan, kuputuskan berbaring di sofa. Karena badan terasa capek, kaki pegal akibat bolak balik dari pintu ke arah sofa. Jika dihitung mungkin sudah berjalan berapa kilometer. Lama menunggu, hingga akhirnya aku terlelap. Sayup-sayup terdengar deru mobil dari arah luar. Kupandangi jam yang tergantung di dinding, menunjukkan pukul 23:00. Sudah selarut ini akhirnya orang yang ditunggupun menunjukkan wujudnya. Saat pintu terbuka sempurna, badan Mas Bagas seketika menegang saat mendapatiku yang sedang duduk di sofa menatap ke arahnya. Lelaki pengkhianat itu terlihat menarik nafas panjang, terlihat sekali jika dia sedang gugup, tapi dalam sekejap pria itu bisa menguasai diri. "Loh, kamu belum tidur, sayang?" tanyanya setelah menghela nafas. "Aku bahkan baru terbangun dari tidur, Mas. Menunggu kamu pulang dari tadi, tapi nggak pulang-pulang. Loh ... kok kamu sudah ganti baju sih, Mas? Katanya kamu lembur di kantor?" ucap dan tanyaku pura-pura bodoh, padahal aku sudah tau kalau sebenarnya seharian ini dia tidak ke kantor sama sekali. "Oh … i–ini, tadi Mas singgah di rumah Ibu, pas di sana bajunya gak sengaja ketumpahan minuman gitu. Jadi mas ganti," ucapnya, terlihat sekali kalau dia sedang gugup menutupi kebohongan. "Ke rumah Ibu? Ngapain malam-malam ke rumah Ibu kamu, Mas?" Dengan memicingkan mata, aku bertanya, mau memancingnya. Ingin melihat bagaimana reaksinya, dan kebohongan apalagi yang akan ia ciptakan. "Sudah ya, sayang, Mas capek bangat. Hari ini banyak banget kerjaan di kantor. Kita tidur saja, sudah malam, ngobrolnya disambung besok," elaknya. Aku tau itu hanya alasan menghindari pertanyaan dariku. Ok baiklah ... kuturuti maumu sekarang, Mas, tapi jangan pikir besok kau akan lepas dariku. Lalu kami berjalan beriringan menuju kamar. Setelah memasuki kamar, gagas Mas Bagas ke kamar mandi hanya sekedar mencuci kaki. Karena sudah kebiasaan kami, sebelum naik ke tempat tidur mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu. Apalagi dia barusan dari luar rumah, bahkan baru saja bertemu gundiknya. Jangan sampai membawa virus masuk ke rumah ini. Karena tadi sempat tertidur di sofa, saat menunggu Mas Bagas pulang. Alhasil sekarang mata ini sulit untuk terpejam kembali. Kulihat Mas Bagas sudah memejamkan matanya, suamiku itu sudah berkelana di alam mimpi. Entahlah, apa dan sama siapa dia di alam sana, mungkin sedang bersama pelakornya. Biarlah dia menikmati indahnya dalam mimpi bersama gundiknya itu. Karena di alam nyata, takkan kubiarkan mereka bahagia. Sayup-sayup kudengar seperti ada getaran telepon. Ku tajamkan indera pendengaran, sambil mata ini liar mencari keberadaan benda pipih milik suamiku itu. Mata ini tertumpu pada jaket yang tergantung di tempat gantungan yang biasa kami tempati, menggantung jaket dan juga tas. benda itu terlihat menyala petanda sedang beraktivitas. Pelan kaki ini turun dari ranjang, dan langsung menuju ke tempat letak benda pipih tersebut. Setelah HP sudah kupegang, menoleh sebentar ke tempat tidur, memastikan kalau Mas Bagas tidak terbangun dari tidurnya. Aman ... segera kubuka ponsel yang tidak terkunci. Ini sudah menjadi komitmen kita berdua. Tidak ada yang bisa mengunci HPnya. Entah apakah setelah ini masih berlaku atau malah Mas Bagas akan melanggar. "Mas sudah sampai? Dewi gak curiga 'kan, Mas? Oh iya, Mas, besok aku akan ke rumah kamu. Aku sudah dapat orang yang mau pura-pura jadi ibuku nanti di sana. Jadi nanti aku berpura-pura jadi pembantu hanya di depan Dewi. Ingat aku juga istrimu sama seperti Dewi, Mas. Jadi kami sama-sama nyonya di rumah itu." Seketika darahku mendidih membaca pesan W* dari pelakor suamiku itu. Tinggi sekali mimpinya ingin menjadi nyonya di rumahku. Jangan mimpi! "Baiklah sayang, kau mau menjadi nyonya ya? Akan kutunjukkan padamu, bagaimana caranya." Aku membatin. Lalu segera kuhapus pesan dari pelakor itu, agar Mas Bagas tak curiga.********** Aku menyiapkan sarapan seperti pagi-pagi sebelumnya. Setelah selesai menata dua piring nasi goreng sosis dan teh hangat di atas meja, gagas kakiku melangkah menuju kamar. Saat hendak memasuki kamar, samar-samar kudengar seperti ada yang sedang ngobrol. Ternyata setelah mengintip di celah pintu yang sedikit terbuka, Mas Bagas sedang ngomong di telpon. Dari gelagatnya sepertinya mereka sedang bertengkar. Kutajamkan pendengaran. Ternyata wanita itu sudah di jalan menuju ke rumahku. Baiklah! welcome home. Ting Tong! Ting Tong!Suara bel memekik di balik pintu utama. Aku sudah bisa menebak, siapa yang sedang berada di luar sana, tapi aku akan berpura-pura bodoh. Ingin melihat sejauh mana sandiwara mereka. "Siapa ya Mas, yang bertamu pagi-pagi begini?" tanyaku setelah menelan nasi goreng yang sudah masuk ke dalam mulut. "Gak tau juga sayang. Coba Mas liat dulu," ucap suami pengkhianatku itu seraya berdiri. Gelagatnya seperti orang yang lagi ketakutan. "Aku tau, Mas, siapa yang datang." Aku membatin. Biarlah kulihat dulu, sejauh mana mereka menjalankan perannya. Kubiarkan suamiku yang membuka pintu, ia berjalan dengan langkah terburu-buru. Setelah Mas Bagas sampai, dan saat ingin membuka pintu utama. Dengan langkah sedikit berlari kususul, dan bersembunyi di balik gorden pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Benar saja, wanita itu telah tiba. Dia datang bersama seorang ibu paruh baya yang berdiri di sampingnya. "Kamu kenapa sih! Masih terlalu pagi sudah datang. Aku belum menjelaskan apa-apa pada Dewi. Bagaimana kalau dia menolak ada pembantu." Mas Bagas bicara dengan sedikit berbisik, tapi masih bisa kudengar. "Apaan sih, mas! Kamu kenapa sih lembek betul jadi laki-laki? Masa sama Dewi aja takut kamu. Ya ... kamu dong yang ngotot kalau Dewi menolak." Benar-benar luar biasa wanita ini. Belum masuk aja, dia sudah berani. "Udah ah, Mas, minggir ... aku mau masuk," ucapnya, lalu menerobos masuk. Aku masih memperhatikan dari balik gorden. Astaga belum apa apa gayanya sudah selangit. Ok baiklah, nampaknya aku harus segera menampakkan diri, jangan sampai wanita itu masuk terlalu jauh, sebelum kupersilakan. Tamu tidak bisa masuk ke istana, sebelum ratu mempersilakan. Meskipun, aku tau dia bukan tamu tapi maduku. "Ada apa ini, Mas? Siapa mereka?" tanyaku pura-pura tidak tahu, seraya menunjuk dua wanita itu bergantian. Meski aku sudah mengetahui siapa mereka, tapi biarlah kuikuti saja dulu. "Oh i–ini sayang. Mas perhatikan, kamu akhir-akhir ini sepertinya capek. Jadi … ini, kemarin ada yang nawarin pembantu, Mas pikir apa salahnya, biar kamu lebih banyak waktu istirahat. Biar cepat dapat dede bayi," ucap suamiku, mencoba menutupi rasa gugupnya. Kulirik lewat ekor mata, wanita itu seperti tidak suka dengan ucapan Mas Bagas suamiku, yang sekarang juga adalah suaminya. Biar kupanasi saja sekalian. Dengan langkah yang kubuat manja, kuhampir suamiku sambil bergelayut manja. "Ih, so sweet bangat sih kamu, Mas," ucapku, lalu memeluk lengan lelaki yang sedang serba salah itu. Salah sendiri, suruh siapa berbohong. Sakit hati 'kan dianggap pembantu. "Rasain," sorakku dalam hati. "Oh iya, Mas. Yang jadi pembantu kita yang mana? Kok dua orang sih, Mas? Tapi kalau yang ini, kayaknya gak deh, Mas. Kasian sudah tua." Aku menunjuk wanita paruh baya di sebelah pelakor suamiku itu. "Tapi, kalau yang ini … bisa deh, Mas, tapi jangan genit-genit ya, kamu sama suamiku," ucapku pada Mas Bagas dan gundiknya. Terlihat ekspresi yang berbeda dari keduanya. Mas Bagas gugup, sementara pelakor itu menahan amarah. Emang gua pikirin. "Mm … ini sayang. Ini Lika yang jadi pembantu kita, dan ini ibunya. Mereka baru pindah kesini, belum punya tempat tinggal, jadi Lika membawa ibunya tinggal sekalian di rumah kita. Nggak pa-pa 'kan, sayang?" Mas Bagas menjawab sambil menunjuk Alika. Pintar juga dia mencari alasan. "Oh ... Nggak pa-pa sih, Mas. Berarti yang pembantu kita Mbak Lika ini. Ya sudah kalau begitu, ayo Mbak saya tunjukkan kamar yang akan Mbak Lika tempati bersama Ibu. Biar sekalian Mbak bersihkan." Lika terlihat tidak suka dengan ucapanku yang menyuruhnya membersihkan kamar. Mungkin pikirnya wanita yang dijadikan ibu bohongan yang akan membersihkan. "Ayo, Bu," ucapnya dengan nada kesal, lalu menarik tangan wanita paruh baya itu. "Ibu di sini aja, istirahat di ruang TV. Nanti setelah kamar selesai dibersihkan, baru Ibu istirahat di kamar," ucapku menghentikan langkah pelakor itu. "Tapi bu–" Ucapannya tertahan. Mungkin tersadar, jika dia lagi bersandiwara. Dan yang lebih menggelikkan, ekspresi Lika, saat melihat kamar yang bakal ditempatinya. Ha Ha Ha … makan tuh jadi nyonya . Aku tertawa jahat melihat wajahnya.Ha ha ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika. "Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan. Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?" "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya. "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran. Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu. "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit.
Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor. Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika. Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas menyusul di belakangku. "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah ka
Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar. Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata,
Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la
Bunglon Ketemu Kadal"Ga pa-pa. Nyonya salah dengar!" balasnya dengan menekan nada di kata Nyonya. Aku tertawa dalam hati. "Memang itulah posisi mu, pelakor." Kuambil gelas yang sudah berisi jus mangga pesananku. Ternyata pelakor suamiku ini menurut juga. Duduk di meja makan sambil meminum jus bikinan maduku, mata ini lekat memperhatikan wanita yang sedang melakukan perintah memasak dariku itu. Ia terlihat salah tingkah dengan kehadiranku. Mungkin risih, atau merasa terawasi, tapi mata ini terus saja memandang ke arahnya. Biakan dia merasa terintimidasi, biar kena mental! "Kamu itu niat kerja nggak, sih?" tanyaku dengan nada pelan. Seketika Lika menghentikan gerakannya. "Iya Nyonya," jawabnya malas, lalu melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. "Tapi kalau saya liat, kamu sepertinya tidak ada niatan kerja. Semua kamu lakukan asal-asalan. Apa ada niat lain kamu masuk ke rumahku?" Ucapanku sontak membuat wanita bermata bulat itu membalikan badannya. Menatap