Share

Part 4

Penulis: Ricny
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-10 02:19:22

MADU KUJADIKAN BABU

Part 4

Aku lalu gegas naik ke atas.

"Argggh beneran bisa gila aku lama-lama di sini," dengusnya kesal.

Aku cekikikan di balkon. Rasain kau madu babu, emang enak hidup di rumahku?

Setahun ke belakang mungkin dia masih ngerasa biasa saja karena masih merasa cinta buta dan semangat-semangatnya ngurusin Mas Iwan. Tapi sekarang, setelah satu tahun kucekoki dia terus menerus dengan berbagai pekerjaan dan tugas yang berat, mungkin dia akan mulai sadar kalau semua ini sudah membuatnya gila secara perlahan-lahan.

-

-

Tidur siang sampai sore, aku turun ketika bangun karena ingin mengambil air ke dapur. Pas saja kulihat Mas Iwan juga baru pulang kerja, dan seperti biasa dia pergi ke dapur menemui istri keduanya.

"Mas, mana?" tagih si madu babu.

"Maaf Ni, tapi Mas gak berhasil. Bos Mas gak bisa minjemin."

"Hah gak berhasil katamu? Terus aku gimana dong? Besok 'kan aku mau ke rumah Ibu Mas, aku malu kalau cuma pakai daster begini, terus aku juga 'kan mesti bawa oleh-oleh, apa kek. Masa iya aku ke sana cuma bawa tangan kosong," protesnya.

"Ya gimana Nia, Mas juga gak bisa apa-apa. Masa iya Mas harus maksa."

"Ah kamu sih lagian duit gaji pake diserahin semua ke Mbak Intan. Tegas kenapa sih Mas? Kamu itu suami, kamu yang harusnya ngatur rumah tangga kita, bukan dia. Kamu tahu? Tadi Mbak Intan habis belanja banyak banget, Mas. Sementara aku? Masa minta duit buat beli sepotong baju aja kamu gak bisa kasih."

Hmmm ngadu rupanya dia. Tapi biarin, mau ngadu sampe mulutnya berbusa pun gak akan ada gunanya, karena Mas Iwan tentu lebih takut padaku.

Untunglah dulu aku pintar. Sehari setelah Mas Iwan dan si madu babu itu menikah kualihkan surat kepemilikan rumah ini jadi atas namaku. Dia kubawa ke notaris dan tanda tangan dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya karena dia tahunya saat itu aku sedang membuat surat perjanjian pernikahan bukan sedang membuat surat pengalihan kepemilikan rumah.

Setelah surat balik nama itu keluar barulah kutunjukan pada mereka, dan kujadikan senjata supaya Mas Iwan tak banyak tingkah atau membantahku, karena risikonya ya ... dia harus siap didepak dari rumah ini.

"Ck udahlah Nia. Gak usah nyenggol-nyenggol Intan, biarin aja dia mau belanja kek atau mau apa kek. Males Mas debat sama dia. Kamu ke rumah ibunya entar ajalah, bulan depan. Bisa 'kan?"

"Gak bisa Mas, di sana mau ada acara ulang tahun anaknya sodaraku besok, masa iya aku gak dateng."

"Udahlah cuma acara ulang tahun ini, gak penting-penting amat, bilang aja kamu sibuk ada acara di sini."

"Nggak, pokoknya aku mau dateng Mas. Enak aja kamu nyuruh-nyuruh aku gak usah dateng," tegas si madu babu.

"Oh ya udah. Terserah, kalau kamu maksa mau dateng ya silakan, Mas angkat tangan," pungkas Mas Iwan, dia terdengar menaruh gelas dengan kencang sebelum akhirnya naik ke atas.

Haha rasain. Pecah-pecah deh itu kepala. Kamu kira enak Mas punya istri dua?

Aku yang sedang sembunyi di dekat tangga gegas ke dapur setelah punggung Mas Iwan tak terlihat lagi.

Si Nia yang sedang kesal tengah menggerutu di dekat meja makan.

"Apa sih gak guna amat punya laki, masa minjem duit aja gak becus."

Aku tertawa kencang.

"Hahahaha kaciaaan deh, ada yang lagi kesel niih gara-gara gak dapat pinjaman, aduuh pusing banget pasti, padahal 'kan duitnya mau dipake buat beli baju bayuu hahaha. Makanya kalau gak punya duit itu ya kerja Nia, bukannya rebut laki orang terus suruh minjem duit ke orang lain, ck Niaaa ... Nia ...," sinisku seraya cepat pergi setelah mengambil segelas air.

"Mbak Intan, awas kamu ya. Tunggu pembalasnkuu!" teriaknya.

Bodo amat. Dasar madu babu.

Sampai di kamar kulihat Mas Iwan tengah duduk di ranjang sambil membuka kancing kemejanya.

"Tan, kamu habis beli baju apa? Banyak amat kayaknya," tanyanya. Entah cuma basa-basi atau memang beneran nanya.

"Iya, emang kenapa? Masalah?"

"Pas banget Tan, itu si Nia ngerengek mau beli baju baru katanya karena besok mau berkunjung ke rumah Bibimu, kasih dia sepotong kalau kamu beli banyak. Atau pinjemin aja gak apa-apa, biar dia gak ngoceh terus, pusing Mas dengernya."

"Apa? Gak salah kamu, Mas? Enak aja. Baju-baju itu sengaja aku beli buat dipake sama aku. Ngapain aku harus kasih atau pinjemin ke si Nia? Dih, ogah."

Mas Iwan menarik napas panjang, mungkin ia sedang berusaha untuk sabar.

"Loh apa salahnya Tan? Kalian ini 'kan sodara. Dan sama-sama istri Mas juga, itu artinya kalian punya hak yang sama," ucapnya pelan.

Aku menoleh tajam, "hak yang sama? Maksud kamu apa? Maaf ya Mas jangan pernah kamu samakan aku sama dia," tegasku.

"Tapi Tan, kenyataannya emang gitu 'kan? Kamu gak bisa gini terus Tan, Mas tahu kamu marah dan gak suka sama Nia, tapi itu gak bisa merubah kenyataan kalau sekarang Nia udah jadi adik madumu, uang yang kamu belanjakan itu ada hak Nia juga. Kamu kasihlah dia sedikit, gak apa-apa meski kamu lebih besar asal dia diberikan haknya," tetangnya panjang lebar.

Aku menyeringai, "apa katamu, Mas? Duit yang aku belanjakan ini ada hak si Nia juga? Kamu pikir aku belanja pake duit kamu apa?"

"Lah terus? Selama ini aku 'kan yang nyari duit? Kalau bukan duitku, duit siapa lagi?"

Aku menggeleng-geleng sambil menarik satu sudut bibirku, "ck ck ck, hebat kamu Mas, hebaaat. Dasar gak tahu malu. Asal kamu tahu ya Mas, selama ini aku belanja, aku seneng-seneng, aku pergi ke sana kemari, healing, jalan-jalan dan sebagainya itu bukan pake duti kamu, tapi pake duitku sendiri, duitku sendiri, Mas! Hasil dari usaha kedai bakso. Jadi apa haknya si Nia atas itu? Makanya kamu tuh kalau mau selingkuh atau kalau mau kawin lagi tuh ngotak Mas, minimal carilah yang lebih pinteran dikit dari aku, biar kamu gak kebawa bodoh sama dia!" pekikku tajam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu Kujadikan Babu   Part 40 B End

    MADU KUJADIKAN BABU Part 40 B "Tadi tim kepolisian Tan, ngabarin kalau mereka baru aja dibawa ke rumah sakit. Kayaknya yang tadi didorong di atas hospital bed ke ruang IGD itu mereka. Makanya ayo kita lihat." Ikram pun memapahku menuju IGD. Sementara ibu yang melihat kami hendak pergi cepat menghampiri, "eh kalian mau pada kemana?" "Bibi sama si Nia, Bu. Mereka udah nggak ada katanya." Ibu terkejut. "Eh yang bener? Mereka meninggal maksudnya?" Aku mengangguk. "Ya ampun. Kok bisa?" tanya beliau sambil gegas mengekor kami menuju IGD. "Nggak tahu, Bu. Belum jelas kabarnya." "Astaga." Sesampainya kami di depan IGD kami diinformasikan bahwa jenazah si Nia dan Bi Kokom akan segera dipindah ke ruang jenazah setelah pemeriksaan selesai. Jadi kami baru bisa melihatnya saat mereka sudah ada di sana. "Maaf Pak, tapi ini gimana awalnya mereka bisa meninggal?" tanyaku pada petugas polisi yang masih berjaga di depan IGD. "Begini, Mbak. Menurut penuturan para Napi lainnya y

  • Madu Kujadikan Babu   Part 40 A

    MADU KUJADIKAN BABUPart 40 A"Apa sih Ikram. Bercanda ah.""Aku serius Intan." Dia menatapku lekat-lekat.Ya ampun. Ini orang kenapa? Apa dia beneran ngajakin aku nikah?"Tan. Jangan diem aja, jawab Tan," katanya lagi.Aku baru saja membuka mulut saat ibu mertua masuk."Terima saja Tan," katanya.Ikram terkesiap dan cepat membetulkan posisi duduknya. Aku juga sama."Ibu. Nggak jadi tebus obat?""Udah, dibantu sama suster tadi.""Oh."Ikram lalu bangkit dan Ibu mertua duduk di bangku yang tadi diduduki Ikram."Ikram beli minum dulu ya, Bu, Tan," izin pria itu.Aku mengangguk. Syukurlah dia memilih keluar, aku gak enak kalau dia di sini soalnya. "Tan ....""Ya, Bu?""Maaf ya, tadi Ibu dengar obrolan kamu sama Nak Ikram."Aku mengulas senyum kecil."Hehe gak apa-apa, Bu." Aku cengengesan, pura-pura biasa saja padahal malu banget aslinya."Tadi itu sebetulnya kamu kenapa kok nggak langsung jawab mau aja? Apa kamu masih ragu sama Nak Ikram?""Emm ... itu Bu, sebetulnya ... gini loh, Inta

  • Madu Kujadikan Babu   Part 39 B

    MADU KUJADIKAN BABUPart 39 B"Tan, aku mau nikah sama kamu.""What?" Lagi, aku terkejut sampai membuat langkah ibu mertua lagi-lagi terhenti di depan kami. Beliau lalu memutar badan ke arah kami."Kalian lagi pada ngapain sih? Lama amat jalannya. Ayo buruan, katanya takut keburu siang.""I-iya, Bu."Aku buru-buru melangkah mengejar ibu mertua. Ikram ikut di sampingku."Tan aku serius Tan, ucapanku tadi sama ibu mertuamu gak main-main. Aku emang mau nikah sama kamu," cecarnya sambil terus mengimbangi langkahku.Aku tak menjawab. Mendadak otakku ngeblank. Itu orang kenapa sih? Kesambet kali ah."Naik mobil Ikram aja ayo," ajak Ikram saat kami sampai di parkiran.Aku dan ibu mertua gegas naik ke mobilnya.Sampai resto yang tak jauh dari kantor Ikram, kami turun. Dan aku baru akan berputar menghampiri ibu mertua di pintu sebelah saat seseorang yang entah datang dari mana tiba-tiba menabrakku hingga ia sendiri jatuh ke dekat paving.Brak!"Eh ya ampun, hati-hati," ucapku sambil berjongkok

  • Madu Kujadikan Babu   Part 39 A

    MADU KUJADIKAN BABUPart 39 APoV Intan"Saya benar-benar berterimakasih karena Nak Ikram sudah membantu menantu saya bebas dari tuduhan waktu itu. Sekaligus saya juga ingin menyampaikan terimakasih karena selama ini Nak Ikram sudah jadi bos yang baik untuk almarhum anak saya. Dan maaf karena saya baru bisa menemui Nak Iwan sekarang, kemarin-kemarin saya langsung ngedrop dan harus dirawat beberapa hari," ujar Ibu mertua pada Ikram. Hari ini beliau sengaja mengajakku mendatangi kantornya Ikram untuk mengucapkan rasa terimakasihnya. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah jadi kewajiban saya memang membela orang yang tak bersalah. Intan ini teman SMA saya dulu, jadi saya tahu betul Intan nggak mungkin melakukan itu," jawab Ikram penuh wibawa."Oh ya? Jadi kalian ini temen lama toh? Wah saya baru tahu.""Iya, Bu. Intan ini teman dekat saya sejak lama. Dan dulunya menantu Ibu ini cewek populer seantero sekolah loh Bu, pokoknya siapa pun yang dapatkan dia, waaah beruntung banget deh pokoknya. Termasuk

  • Madu Kujadikan Babu   Part 38 B

    MADU KUJADIKAN BABU Part 38 BMbak Intan, dia datang dengan wajah puas dan senyuman miring. Cepat saja, aku yang tengah terisak-isak itu bangkit."Mbak Intan, Mbak aku gak bersalah Mbak. Tolong bebaskan aku, Mbak. Aku bersumpah, ide racun itu bukan ideku Mbak.""Ya ya ya aku udah tahu Nia. Lupa kamu kalau tadi kita sidang semuanya dibuka dengan jelas? Racun itu bukan idemu, tapi ide ibumu 'kan?""Mbak aku mohon Mbak, tolong bebasin aku, Mbak. Aku gak salah. Aku janji kalau aku dibebaskan kamu boleh menjadikanku apa saja. Bahkan aku siap kalau harus jadi pembantu selamanya. Aku janji Mbak, aku janji," cecarku.Mbak Intan menyipit, "bebaskan? Lalu kalau kamu dibebaskan siapa yang akan menanggung hukumanmu Nia?""Ibu. Ibu adalah satu-satunya orang yang pantas dihukum, Mbak," jawabku asal.Sontak saja hal itu membuat ibuku geram. Lalu bangkit menarikku menjauh dari besi sel."Nia cukup! Apa-apaan ini? Kamu gila apa? Buat apa kamu memohon sama perempuan itu sampai harus bicara begitu soal

  • Madu Kujadikan Babu   Part 38 A

    MADU KUJADIKAN BABUPart 38 A"Kau mau mengakui sekarang atau nggak?""Ng-ngaku apa, Pak?""Ya ngaku kalau kamu pelakunya. Kamu 'kan yang meracun suamimu sendiri?""Nggak, Pak. Sumpah saya bukan pelakunya. Yang meracun suami saya itu istri pertamanya.""Bohong kamu! Mengaku atau saya tambah hukumannya," ancamnya."T-tapi saya memang gak melakukan apa-apa, Pak.""Ah bohong!"Brak!Dia menggebrak meja dengan mengangkat satu kakinya ke atas meja tersebut. Aku sampai terperanjat. Tubuhku jangan ditanya, bergetar hebat sudah bagai orang yang menggigil kedinginan."Ngaku sekarang juga!""Saya nggak mau mengakui apa-apa, Pak. Saya gak salah!" ***Hari berlalu. Untunglah aku bisa lewati walau hampir gila dan menyerah. Hampir saja aku mengakui semuanya, karena mereka yang terus menerus mendesakku untuk mengakui semuanya.Untunglah ada ibu yang tak pernah berhenti mengingatkanku, seberat apapun mereka menyiksa kami, jangan sampai pengakuan itu terucap. Sidang pun digelar kembali. "Keberatan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status