Share

Tinggal Di Rumah Paklek

Setelah acara pemakaman Emak usai, Paklek tiba-tiba datang ke rumah dan mengambil semua pakaianku, Beliau mengajakku tinggal bersamanya. Karena tak tahu harus bagaimana hidup tanpa Emak dan Abah, akhirnya Aku menuruti perintah Paklek.

Selama di rumah Paklek, Aku jadi pendiam dan lebih banyak menggabiskan waktu di kamar, sesekali Aku keluar jika akan ke kamar mandi ataupun makan. Paklek, Buklek dan anak-anaknya selalu terlihat sinis ketika tak sengaja menatapku.

Setelah seminggu Aku tinggal di rumah Paklek. Tiba-tiba malam itu Pakde datang bertandang kesini, Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi Aku dapat memastikan Pakde dan Paklek sepertinya membicarakan sesuatu yang penting, karena hingga larut malam Pakde belum juga beranjak pulang.

Pagi-pagi sekali Buklek membangunkanku, lalu menyuruhku mandi dan sarapan. Ada banyak sekali makanan yang enak-enak di meja, bahkan Buklek mengambilkan nasi dan sepotong ayam goreng yang lezat untukku.

"Selesai sarapan nanti, masukin pakaian kamu ke kantong kresek ya nduk!" Ujar Buklek sambil memetik cabai disampingku.

"Memangnya kenapa Buklek?" tanyaku sedih.

"Pakde dan Paklek sudah berunding untuk mengantar kamu ke Jakarta, ke tempat abahmu." Buklek kemudian kebelakang, memasukan cabai yang sudah di petik ke kulkas.

"Horeee ... akhirnya Aku ketemu Abah,"teriaku refleks dan Segera ku percepat makan.

"Bukan cuma berjumpa Abahmu, tapi juga Adik dan Ibumu!" gumam Paklek pelan, tetapi masih terdengar di telingaku.

Aku tak perduli perkataan Paklek, karena hatiku sangat bahagia akan bertemu Abah. Dengan cepat Aku masukan semua pakaianku kedalam kantong kresek berwarna hitam, lantas duduk diatas kasur sambil menunggu mobil Pakde datang.

Tak Berapa lama, terdengar suara deru mobil memasuki halaman rumah, kemudian Aku mendengar suara Pakde mengucap salam. Segera Aku bangkit dari tempat tudur, dan berlari lalu duduk di kursi ruang tamu bersama Pakde dan Paklek.

"Wah, Lastri engga sabar lagi ya ketemu Abah?" tanya Pakde sambil tersenyum.

"Iya Pakde, Aku kangen Abah" Jawabku, lalu senyum bahagia mengembang indah di bibirku yang tipis.

"Lastri sudah engga sabar lagi ini, ayo Kita pergi sekarang saja!" Pakde mengajak Paklek untuk segera berangkat.

Setelah berpamitan dengan Buklek, Kami pun berangkat menggunakan mobil Pakde. Mungkin karena tak terbiasa naik mobil yang ada Ac-nya, sehingga membuatku pusing. Akhirnya Aku memilih untuk memejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing dan mual.

Saat memejamkan mata, Aku mendengar Pakde membicarakan tentang Harjo, yang tak lain adalah nama Abahku. Mungkin mereka kira Aku sedang tertidur pulas, sehingga mereka bebas menceritakan kejadian keji yang mereka lakukan terhadap Abahku.

"Lastri tidur itu kayaknya," ujar Paklek. Tubuhnya yang gemuk membuatnya sulit untuk melihatku, yang berada di kursi belakang mobil.

"Ya udah biarin aja Dia tidur, sebelum Dia menikmati tidur selamanya, kayak si Harjo," jawab Pakde.

"Ssst jangan keras-keras ngomongnya, nanti Lastri dengar!" Hardik Paklek, setengah berbisik. Akan tetapi karena Aku tidak tertidur, sehingga Aku dapat mendengar percakapan mereka.

"Memangnya kalo Dia dengar kenapa? Kamu takut?" tanya Pakde. Dari nada suaranya, laki-laki bertubuh tinggi, dengan rambut cepak dan berkulit putih itu terdengar seperti mengejek.

"Ngapain takut sama anak kecil, wong tinggal cekik aja mati kok." Kali ini Mereka tertawa bersama.

"Memang si Harjo Kamu tinggalin dimana kemarin?" Tanya Paklek kemudian.

"Aku tinggalin di hutan yang jauh sekali dari pemukiman penduduk, Paling badannya yang kurus hitam itu sudah habis dimakan binatang buas."

"Yakin Mas? Nanti kalo tiba-tiba dia pulang ke desa dan anak istrinya sudah engga ada, gimana?" Suara Paklek kini terdengar cemas.

"Sudah engga usah mikir aneh-aneh, yang penting kita selesaikan dulu bocah jelek ini!"

Ya sejak dulu keluarga Abah selalu memusuhiku, mereka mengatakan bahwa Aku anak yang jelek dan bau. Berbeda dengan para sepupuku yang berkulit putih, Aku berkulit hitam dan tubuhku kurus tak terurus. Mungkin karena Aku sering bermain panas ketika menemani Ibu bekerja di sawah, sehingga kulitku semakin bertambah hitam.

Tetapi walaupun tubuhku kurus dan kulitku hitam, sebenarnya Emak menurunkan kecantikan alami padaku. Yaitu berupa hidung yang mancung, mata yang besar dan indah, dengan bingkai alis yang tebal.

Ayah sangat menyukai bila Aku tersenyum, katanya kedua lesung pipiku akan terlihat bila Aku tersenyum. Wajahku sangat mirip dengan Emak, Bahkan Rambut kami pun sama-sama panjang dan berwarna hitam alami.

"Memang mau kita apakan bocah ini? Apa kita tinggal di hutan saja seperti Abahnya dulu?" tanya Paklek kembali.

"Aku tidak sudi mengotori tanganku dengan membunuhnya, jadi Kita buang saja Dia ke hutan dan biarkan alam yang melakukan tugasnya." Pakde terdengar tertawa puas, lalu diikuti suara Pakde yang juga terdengar tertawa.

Bukankah Aku akan menemui Abah di Jakarta?

Akan tetapi mengapa Pakde dan Paklek bilang kalo Bapak sudah tewas dimakan binatang buas?

Lalu kemana mereka akan membawaku?

Pikiranku berkecamuk, ingin rasanya Aku bertanya, namun apalah daya tubuhku lemas dan kepalaku pusing karena mabuk perjalanan. Akhirnya Aku hanya memejamkan mata sepanjang perjalanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status