Share

4. Revan Menemui Mayang

Bantuan dari Manggala Group sangat diperlukan untuk membuat stabil perusahaan milik kakeknya itu. Sebuah dilema yang luar biasa dan menurunkan mental Revan saat ini. Revan tidak mau hasil kerja keras sang ayah bangkrut begitu saja. Revan memegang sebuah bingkai foto dirinya dan Mayang yang sedang tersenyum.

 

'Mayang, apakah aku bisa hidup tanpamu di masa yang akan datang?' Batin Revan nelangsa saat ini.

 

Air matanya menetes, bukan karena terlalu cengeng, tetapi Revan sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan. Cucu Adhyatsa itu segera mengemasi semua barangnya. Kali ini, ia tidak akan pulang. Tujuannya satu, menuju ke Bandung.

 

"Pak Revan baru pulang?" Salah satu security menyapa Revan dengan ramah.

 

"Iya, Pak. Mari saya duluan." Revan segera menuju ke parkiran mobil miliknya.

 

Sebuah mobil sport berwarna putih yang dibeli Revan dengan mencicil. Ia tidak mau menggunakan fasilitas milik sang kakek karena akan dihitung sebagai hutang budi. Revan tidak izin pada sang bunda kali ini. Biarlah, semoga saja beliau bisa memahaminya. 

 

Selama perjalanan, Revan tidak fokus, hampir saja terjadi kecelakaan. Ia akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak dan mencari penginapan. Hotel Dahlia--salah satu hotel milik sahabat baiknya menjadi tujuannya. Hanya menginap satu malam saja dan besok akan langsung menuju ke Bandung.

 

Setelah cek in dan mendapatkan kunci kamar, Revan segera masuk dan mengunci kamarnya. Kali ini, ia sama sekali tidak mau diganggu. Membayangkan besok pagi saja sudah membuatnya sangat tertekan luar biasa. Memutuskan secara sepihak wanita yang sudah dilamarnya itu.

 

Dering ponsel mengagetkan lamunan Revan. Mayang menghubunginya, seharusnya Revan bahagia, sayangnya tidak. Ia memilih mengacuhkan panggilan dari wanita itu. Menjaga dan melatih hatinya agar kelak tidak lagi ketergantungan pada sosok wanita yang kini sedang berjuang untuk kelulusannya.

 

Pagi datang dengan cepat. Revan memutuskan untuk cek out setelah sarapan pagi. Ia mengecek semua ponsel. Banyak sekali panggilan tidak terjawab. Baik dari Bunda dan Mayang, tentu saja dua wanita itu bingung karena mendadak dirinya menghilang.

 

Setelah membayar semua tagihan hotel, Revan segera menuju ke Bandung. Semua kata-kata untuk Mayang sudah disusunnya. Entahlah, bagaimana nanti cara menyampaikannya pada gadis itu. Mentalnya pasti akan hancur ketika melihat air mata yang jatuh saat harus mengatakan sebuah kejujuran. 

 

Sesampainya di Bandung, Revan langsung menuju ke tempat indekos Mayang. Sebuah rumah sederhana dengan harga sewa yang sangat murah. Sesuai dengan kemampuan keluarga Mayang. Pernah satu kali Revan hendak membantu membayar semua kebutuhan Mayang, tetapi ditolak oleh gadis itu.

 

"Halo May ... apa kabar?" sapa Revan yang sangat merindukan Mayang saat ini setelah memarkirkan mobilnya jauh dari tempat indekos milik Mayang. 

 

"Lho? Kamu kok datang ga bilang-bilang, Mas. Semalam juga dihubungi susah. Bunda sangat bingung loh. Ini aku lagi ga ulang tahun, tapi dapat kejutan. Ihh ... bikin takut aja." Kata Mayang sambil bergelanyut manja pada lengan kokoh Revan.

 

Revan menciumi puncak kepala gadis yang tingginya hanya sebatas dada Revan. Wangi shampo Mayang menguar pada indera penciuman Revan dan selalu menjadi candu baginya. Mayang menarik lengan Revan dan mengajaknya untuk duduk di teras tempat indekosnya. Revan hanya menurut dan langsung duduk.

 

Mayang segera membuatkan minuman kesukaan sang kekasih. Teh madu dicampur dengan daun mint segar. Mayang sudah hafal sejak mereka masih tinggal satu atap di rumah keluarga Adhiyatsa dulu. Mayang adalah putri dari salah satu asisten rumah tangga mereka. 

 

"Mas ... diminum dulu, tehnya. Kayaknya kok capek banget? Eh, aku kabari Bunda dulu." Mayang mengambil ponsel dari dalam saku rok yang dipakainya saat ini.

 

"Jangan. Mas, lagi ga mau diganggu. Kamu ada acara apa hari ini?" Revan segera mencegah Mayang agar tidak menghubungi Bundanya saat ini. 

 

Mayang menoleh ke arah sang kekasih dengan wajah heran. Sepertinya Revan sedang menyembunyikan sesuatu. Entahlah, Mayang merasa ada yang janggal dengan Revan saat ini. Lebih tepatnya sejak laki-laki yang saat ini sedang meminum tehnya itu sama sekali tidak merespons pesan dan panggilan darinya. 

 

"Mas lagi ada masalah?" tanya Mayang tanpa basa-basi.

 

"Kamu belum jawab pertanyaan tadi Mayang." Revan kali ini ingin tahu kegiatan Mayang saat hari Sabtu ini. 

 

"Hanya bimbingan di kampus nanti jam satu siang. Mas ada apa sebenarnya sampai mendadak datang ke sini. Bunda semalam bingung mencari Mas karena Mas Revan tidak menjawab telepon dan pesan Bunda. Mas, jangan seperti ini. Jika ada masalah selesaikan satu per satu dan jangan kabur," kata Mayang dengan lembut dan tidak ada maksud untuk menggurui Revan sama sekali. 

 

"Masalah itu selalu ada setiap harinya. Bahkan setiap detik saat kita hidup adalah sebuah masalah. Ya, sudah, nanti Mas akan ikut dan temani kamu bimbingan. Ingat segera selesaikan kuliah dan cepat bekerja." Revan mengulas senyum terbaiknya saat ini. 

 

Mayang hanya menghela napas panjang. Revan tak akan terbuka jika tidak didesak. Nanti sajalah setelah selesai bimbingan baru berbicara pada Revan. Jangankan bercerita, Revan adalah tipe laki-laki yang akan memendam semuanya seorang diri.

 

"May ... habis bimbingan kita jalan-jalan. Kemana gitu, aku pengen kita buat kenangan. Jarang kita bisa sama-sama." Rasa sesak di dada Revan datang begitu saja saat kalimat ini lolos dari mulutnya. "Em ... maksud aku, kita harus bahagia 'kan dengan apa pun yang terjadi?" lanjut Revan dan membuat Mayang bertambah heran. 

 

"Mas ... ada apa? Cerita sama aku. Aku udah hafal kalo Mas kaya gini pasti ada masalah. Ayo berbagi dukamu, kita sudah hampir tujuh tahun atau bahkan lebih saling kenal. Sejak kita masih masa remaja dulu. Jadi aku hafal, Mas sedang ada masalah atau tidak," kata Mayang sambil menatap sendu ke arah Revan.

 

"Mas baik-baik saja. Eh, makan yuk. Mas lapar," kata Revan sengaja mengalihkan topik pembicaraan dengan Mayang. 

 

Revan segera menghabiskan teh buatan Mayang yang selalu terasa pas pada lidahnya. Mayang selalu paham apa yang disukai dan tidak disukainya. Hal itu yang membuat Revan jatuh cinta, sikap pengertian dari Mayang. Mayang tidak bisa menolak apa yang diinginkan oleh Revan.

 

Gegas gadis itu segera mengganti bajunya. Sekalian nanti ke kampus agar tidak bolak-balik lagi. Mayang sudah cantik alami dengan kulitnya yang putih bak porselen. Hanya menggunakan bedak tipis dan lipgloss cerry agar bibirnya tidak terlihat pucat.

 

"Ayo, Mas! Mau makan apa?" tanya Mayang sambil membawa map plastik berisi revisian skripsi bab empat.

 

"Makan bakso." Revan sengaja memilih makanan satu itu karena kesukaan Mayang.

 

Mayang mengangguk dan Revan segera menggandeng tangan gadisnya itu. Andai semua baik-baik saja dan tidak ada masalah, tentu tahun depan mereka akan menikah sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Mayang hari ini tampak sangat bahagia karena kedatangan Revan.

 

"Mas ... ini sertifikat rumah itu?" tanya Mayang saat berada di dalam mobil Revan.

 

"Iya. Nanti kamu yang bawa, juga kunci rumah itu. Mas percayakan sama kamu," jawab Revan dengan nada sendu.

 

Mayang tak banyak bicara kali ini. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 11.30 WIB. Jam tangan hadiah dari Revan yang selalu dipakainya kemana pun dan kapan pun. Jam tangan yang dipesan khusus oleh Revan karena ada nama mereka di bagian bawah jam itu.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status