Share

3. Kemarahan Revan Pada Adhyatsa

"Jangan dulu sombong, Pak Naga. Kami memang sedang terpuruk, tetapi bukan berarti bisa diperdaya oleh Anda dengan sesuka hati. Urusan kita sampai di sini. Terima kasih atas kedatangan Anda," jawab Revan dengan nada dingin dan menatap tajam ke arah Naga yang kini mengepalkan tangannya. 

 

 

Revan segera kembali ke ruangannya. Ia tidak peduli jika saat ini Naga mengamuk atau semacamnya. Ia sudah bisa menebak ketika perusahaan ini menolak kerja sama dengan Cakra Buana. Efeknya akan luar biasa menyakitkan dan harus berurusan dengan banyak pihak. 

 

 

Naga salah satu mafia bisnis. Semua cara dihalalkannya demi keuntungan pribadi. Tak jarang menekan perusahaan kecil agar tunduk di bawahnya. Revan tidak akan sudi bekerja sama dengan perusahaan Cakra Buana itu.

 

 

"Pak, apakah Anda memerlukan kopi?" Hardi membawakan kopi untuk bos-nya yang kini sangat tertekan dengan semua pekerjaan juga masalah lainnya.

 

 

"Terima kasih. Letakkan di meja. Silakan keluar," jawab Revan tanpa menatap ke arah sekretarisnya itu.

 

 

Hari terasa begitu lama kali ini. Revan mengabaikan beberapa panggilan telepon pada ponselnya. Salah satunya dari Mayang. Hatinya belum sanggup untuk kembali mendengar suara ceria dari gadis yang sebentar lagi akan menjadi mantan. 

 

 

Mengucapkan kata mantan untuk Mayang adalah sebuah kata keramat untuk Revan. Cintanya luar biasa besar untuk sosok gadis cantik itu. Mayang segalanya bagi Revan. Laki-laki dengan tatapan setajam elang itu pernah melamar Mayang secara pribadi. 

 

 

Tentu saja gayung bersambut, Mayang menerima lamaran itu dengan senang hati. Rencananya akhir tahun ini akan melamar Mayang pada keluarganya. Simpel dan bukan rencana yang mewah. Hanya sebuah pernikahan sederhana yang ingin mereka lakukan. 

 

 

'May ... andai waktu dan takdir berpihak kepada kita. Tentu saat ini kita masih bahagia dan bisa berbagi cerita,' batin Revan berkata dengan sedih.

 

 

Tepat pukul lima sore, seluruh karyawan sudah bersiap hendak pulang. Revan masih berkutat dengan pekerjaannya. Berkutat dengan semua lembaran kertas yang harus diteliti dan ditandatangi. Tidak boleh ada kesalahan saat menandatangi berkas itu. Akibatnya bisa fatal bagi perusahaan. 

 

 

"Pak Revan, saya pulang duluan," pamit Hardi dengan sopan.

 

 

Revan hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak banyak bicara saat ini. Banyak masalah yang harus secepatnya diselesaikan. Hingga tengah malam, Revan barulah pulang ke rumah. 

 

 

Revan mematikan komputer dalam ruangannya dan memastikan semua aman. Tidak ada satu pun barang yang tertinggal. Ia segera keluar dari ruangan dan masuk ke dalam lift yang akan mengantarkannya ke lantai satu, setelah sebelumnya mengunci lemari berankas berisi semua berkas dan dokumen penting lainnya. Revan memang sangat teliti saat bekerja, ia pun segera menuju ke parkiran mobilnya.

 

 

"Dari mana saja kamu?!" Adhyatsa sengaja menunggu kedatangan sang cucu. "Kamu berani menolak tawaran kerja sama dari Cakra Buana Group?!" bentak beliau dengan kasar.

 

 

Rupanya si tua bangka itu memang bodoh. Wajar saja jika mendadak perusaahan mengalami kebangrutan. Rupanya begitulah bodohnya karen mau diperdaya dan dimanfaatkan oleh orang lain. Sudah berapa saja uang yang dihamburka olehnya dan gagal di beberapa tender?

 

 

"Kamu bisa gaji pekerja pakai apa kalo membatalkan kerja sama sesuka hati. Dasar tidak berguna! Sama seperti Bundamu itu!" Ucapan Adhyatsa rupanya membuat Revan sangat marah dan tidak bisa mengedalikan emosinya pada laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu.

 

 

"Aku punya alasan untuk membatalkan kerja sama itu! Kau tua bangka yang bodoh, jangan pernah mengatakan Bundaku tidak berguna!" Revan mencekal kerah baju Adhyatsa dan hamlir saja membuat laki-laki paruh baya itu terjatuh.

 

 

Suara ramai keduanya membangunkan semua penghuni rumah yang sudah terlelap tidur. Murni segera keluar dari kamar karena mendengar suara anaknya. Sudah bisa dipastikan anak semata wayangnya sedang marah saat ini. Gegas wanita berusia empat puluh delapan tahun itu berlari ke arah ruang tamu di mana terdengar suara itu.

 

 

Murni terkejut saat melihat Revan mencengkeram kerah baju ayah mertuanya. Murni tidak tahu apa yang membuat Revan sangat marah malam ini. Murni berusaha mendekat dan melerai cucu dan kakeknya. Kedua tante Revan hanya diam saja. Tidak ada ekspresi sama sekali.

 

 

"Revan, lepaskan Kakek, Nak. Bicarakan dengan baik semua masalahnya. Jangan gunakan kekerasan yang menuruti hawa nafsumu itu." Murni mengusap pelan pundak sang putra.

 

 

Revan menurut; melepaskan kerah baju sang kakek karena mendengar sang Bunda. Adhyatsa hampir saja kehabisan napas karena ulah Revan. Laki-laki tujuh puluh tahunan itu menatap tajam ke arah Murni, seolah menjadi penyebab dari semua masalah itu.

 

 

"Ketika seorang babu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik, maka isi kepalanya hanya emosi dan kekerasan. Babu otaknya kosong, menurun pada anaknya!" Adhyatsa masih saja menyakiti hati Murni 

 

 

Revan sangat marah mendengar ucapan sang kakek yang selalu menghina bundanya. Tidak sadar diri jika dia-lah sumber dari semua masalah yang tercipta. Awas saja jika suatu saat Revan menemukan tentang kebenaran siapa dalang dibalik kecelakaan tragis yang menimpa sang ayah hingga merenggut nyawanya. Revan tak akan segan membuat orang itu hancur.

 

 

Manusia serakah dan tamak seperti Adhyatsa tidak pantas untuk disebut sebagai manusia. Hewan jauh lebih terhormat dari sosok kakek tua yang sombong itu. Tidak hanya itu, setelah ini Revan akan mengajak sang Bunda pindah dari rumah terkutuk ini. Tidak peduli, jika harus tinggal di rumah petak yang sempit. Kedua suami tantenya sering sekali hendak melecehkan sang Bunda. 

 

 

"Jaga mulutmu baik-baik tua bangka! Aku masih baik padamu karena mendengar ucapan Bunda. Jika beliau tidak menasihatiku, aku akan membuatmu menyusul Ayahku!" Revan tidak bisa menahan lagi emosinya.

 

 

Adhyatsa terkesiap dan mendadak diam seribu bahasa saat melihat kilat kemarahan di mata Revan. Kilat mata itu sama persis dengan mendiang Panji saat marah. Wajah Revan sama persis dengan putra sulungnya yang sudah meninggal itu. Adhyatsa memilih menyudahi pertengkarannya dengan Revan.

 

Masalah demi masalah pasti akan datang. Revan sangat berat menjalani hari-hari. Akhir pekan ini rencananya akan menemui Mayang. Mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Demi permintaan Bunda pada Revan.

 

Akhir pekan datang dengan cepat. Revan bahkan tidak menyadari jika hari ini sudah Jumat malam. Jam di dinding menunjuk angka sembilan tepat. Ingin langsung ke Bandung, dan menginap di salah satu hotel. Baru besok pagi hendak menemui Mayang--kekasihnya.

 

Embusan napas berat keluar dari mulut Revan dengan sangat berat. Beban pikiran dan hatinya sangat berat. Antara perusahaan dan cintanya; harus memilih salah satu. Bunda Revan bukan belum mengenal sosok Mayang, beliau sangat mengenal dan menyayangi gadis itu. Sayangnya, kontrak bisnis harus memisahkan cinta mereka berdua.

 

"Pak Revan, saya izin pulang dahulu," pamit Hardi yang merasa pekerjaannya sudah selesai malam ini.

 

"Silakan." Revan menjawab dengan nada dingin.

 

Hardi tidak mau mengganggu bos-nya itu. Saat ini, Revan sedang tidak baik-baik saja. Desakan dari Perusahaan Cakra Buana luar biasa besar. Mereka mengancam akan membuat perusahaan ini bangkrut dalam hitungan minggu. Tentu saja, Revan tidak bisa berkutik saat ini.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status