Beranda / Rumah Tangga / Madu Pilihan Untuk Suamiku / Malam pertama yang menyakitkan

Share

Malam pertama yang menyakitkan

Penulis: Bukan superstar
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-31 04:41:15

"Dimana Fitri?" Bukannya mengiyakan ajakan Alice, Bastian malah menanyakan keberadaan istri pertamanya.

"Mbak Fitri ke rumah Bunda, Mas, sebentar lagi dia akan kesini," jawab Alice takut-takut.

"Hm, pergilah! Aku akan menyusulmu nanti," Bastian lansung masuk kedalam kamar dan menutup pintu, meninggalkan  istri mudanya yang masih berdiri mematung.

Di dalam kamar, Bastian menngambil ponsel hendak menyusul Fitri kerumah bundanya, namun baru saja hendak keluar kamar, ponsel yang ada di tangannya berdering, menampilkan nama bidadariku menghiasi layar ponsel, siapa lagi kalau bukan nomor kontak Fitri.

Bastian segera menjawab panggilan telepon dari istri pertamanya itu. "Sayang kamu dimana? Pulang cepat, kita makan malam sama-sama," ucapnya cepat membuat Fitri diujung sana terkekeh kecil.

"Mas, sepertinya aku masih lama di sini, aku harus memasak untuk Bunda, tadi tangan Bunda kecipratan minyak goreng, kulitnya melepuh Mas,"

"Loh, memangnya Mbak Rita kemana? Kenapa tidak dia saja yang menggantikan Bunda memasak? Sayang, pulanglah tidak kasihan kamu aku sendirian disini," Untuk saat ini Bastian lupa akan statusnya yang telah memiliki dua istri.

"Sendiri? Bukannya disana ada Alice, Mas? Mas makanlah bersamanya, mungkin setengah jam lagi aku akan kesana. Mbak Rita sedang mengurus anaknya yang lagi rewel,"

Bastian tersadar, setelah Fitri mengatakan Alice ada di rumah.

"Hm, baiklah, jangan lama-lama Sayang, aku merindukanmu," sahut Bastian manja.

.

.

.

Di ruang makan, Alice sesekali melirik tangga, menunggu Bastian untuk makan malam bersamanya, sembari menunggu ia merapikan piring dan gelas.

Seketika senyumnya mengembang saat melihat Bastian menuruni anak tangga. Dengan cepat ia berdiri di dekat kursi tempat yang akan di duduki suaminya.

"Mas mau makan apa?" Alice bertanya setelah suaminya duduk di kursi.

"Terserah," balas Bastian datar.

Sontak respon yang di berikan Bastian membuat Alice tersenyum kacut. Tanpa banyak tanya lagi ia menyendokkan makanan kesukaan Bastian yang di beritahukan Fitri tadi sore, yaitu tumis kangkung dan tempe goreng beserta sambal ijo kedalam piring.

Bastian mengerutkan dahi melihat makanan yang diambil kan Alice adalah makanan kegemarannya. Ia bisa menebak jika Fitri lah yang telah memberitahukannya.

Tanpa berkata apa-apa, Bastian lansung mengambil alih piring dari tangan Alice, lalu berdoa sebentar dan mulai menyuap makanan di dalam piring itu tanpa menunggu Alice duduk.

Hati Alice berdenyut nyeri, mendapatkan perlakuan Bastian terhadap dirinya dan terhadap Fitri teramat berbeda.

'Berjuanglah Alice, Mas Tian akan mencintaimu seperti dia mencintai Mbak Fitri. Semoga saja Mbak Fitri agak lama di rumah Bunda agar aku mempunyai banyak waktu berduaan dengan Mas Tian,'

Alice menyemangati diri, lalu duduk di samping suaminya.

Sesaat keheningan tercipta, hanya ada bunyi piring dan sendok yang berdenting. Kini Alice mulai menyuap makanannya sambil sesekali menggerakkan bola matanya melirik sang suami.

Bastian yang telah selesai makan, lansung berdiri. "Aku ke ruang kerjaku dulu ada yang harus kukerjakan," Bastian berlalu cepat menuju lantai dua.

Sementara Alice menatap nanar kepergian suaminya.

'Tenanglah Alice, lebih baik kamu buatkan saja suamimu kopi, siapa tahu dia suka racikan kopi dari tanganmu,'

Sesuai rencananya, Alice membuatkan kopi untuk suaminya, dan lansung membawanya ke atas. Namun ia bingung karna tak mengetahui dimana ruang kerja Bastian. Akhirnya ia memilih kembali kedapur membawa cangkir kopi yang telah di buatnya.

.

.

.

.

Diruang kerjanya, Bastian termenung sambil melihat foto pernikahan ia dan Fitri beberapa tahun silam. Memperhatikan wajah teduh sang istri yang selalu menenangkan jiwanya selama ini.

"Mas," suara nan lembut dan hangat berhasil mengalihkan pandangan Bastian.

"Sayang, kenapa kamu lama sekali pulangnya," Bastian beranjak menghampiri Fitri.

"Maaf, Mas. Bunda memintaku menemaninya," ucap Fitri jujur.

"Hm, jangan terlalu capek, Sayang, lihatlah tubuhmu semakin kurus saja sekarang, aku seperti suami yang tak pernah memberimu makan," canda Bastian. "Apa kamu sudah makan?" tanyanya kemudian.

Fitri terkekeh pelan. "Sudah Mas, saat ini aku sedang melakukan program diet Mas,"

"Mas, malam ini adalah malam pertamamu bersama Alice, malam ini Mas tidur dengannya ya," lanjutnya.

Bastian melebarkan mata, saat melihat sorot mata Fitri tak menyiratkan kecemburuan sama sekali. Bastian menaikkan tangannya memegang pundak ringkih Fitri.

"Sayang, bisakah aku tak tidur dengannya, kali ini aku tak bisa memenuhi permintaanmu itu. Harusnya kamu marah, harusnya kamu cemburu jika aku menyentuh madumu, kamu gila atau apa, Sayang! Pada umumnya wanita tak akan rela jika suami yang di cintainya berhubungan badan dengan wanita lain, tapi kamu? Apakah tak ada lagi cinta di hatimu untukku?" ucap Bastian menggebu-gebu.

"Mas, ini adalah kewajibanmu sebagi suami agar berlaku adil, lakukan lah kewajibanmu  Mas, agar kelak aku mendapatkan pahala, aku mohon," pinta Fitri.

"Aku tak mengerti dengan sikapmu sekarang, Fitri! Baiklah kalau itu maumu aku akan mengabulkan permintaanmu itu! Jangan salahkan aku jika namamu mulai terkikis di hatiku ini!"

Setelah mengucapkan kata tersebut, Bastia berlalu pergi dari hadapan Fitri yang masih terpaku di tempat sambil memegang dadanya yang berdenyut nyeri sekarang.

Fitri terduduk lemas diatas lantai sembari memegangi kepalanya yang semakin terasa sakit seakan di timpa batu besar.

Tanpa dapat ia bendung lagi air matanya mengalir deras. "Maafkan aku Mas, ini semua demi kebaikanmu, aku berharap kamu bisa bahagia bersama Alice nanti,"

.

.

.

.

Kecewa, itulah yang Bastian rasakan saat ini. Setelah meninggalkan Fitri sendirian di ruang kerjanya. Ia hendak menenangkan pikirannya, dengan mendatangi rumah bundanya.

Bastian tadi hanya menggertak saja, mengatakan akan tidur bersama istri mudanya. Baginya tak akan mungkin ia bisa tidur dengan wanita yang sama sekali tak ada tertulis di relumg hatinya.

Sesampainya di rumah sang bunda, Bastian lansung menghempaskan bokongnyadi sofa.

Rita yang kebetulan belum tidur mengerutkan dahi melihat kehadiran adiknya. "Bas, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil mendekati Bastian yang baru saja duduk. Wanita bertubuh berisi itu ikut duduk di samping adiknya.

"Bunda sudah tidur, kamu kenapa, Bas? Apa ada masalah? Cerita sama Mbak?" tanyanya penasaran.

Bastian menghela nafas dalam. "Iya Mbak, semenjak istriku meminta aku menikah lagi, selalu saja ada masalah dalam hidupku. Malam ini sepertinya aku akan tidur di sini," jawab Bastian kemudian beranjak pergi.

"Bukan kah bagus istrimu memintamu menikah lagi? Sekarang itu kamu tidak bisa hanya memikirkan Fitri saja, kamu juga harus memikirkan perasaan Alice juga. Pulanglah, ini malam pertamamu dengannya, beri jugalah istrimu itu nafkah batin, kasihan dia,"

Mendengar hal itu  terpancar jejak kemarahan  di netra Bastian. Matanya kini menatap tajam sang kakak yang selama ini ia hormati.

"Apa tak ada satu pun orang yang peduli denganku? Tidak Fitri, tidak Mbak kalian sama saja! Atau jangan-jangan Mbak yang menyuruh Fitri agar aku menikah lagi!" sentak Bastian meluapkan amarahnya.

Rita tersentak, ini kali pertanyaan ia mendengar Bastian meninggikan suara padanya. Melihat kedua mata sang adik yang memancarkan kemarahan,  Rita memalingkan wajahnya kesamping. Tak berani menatap balik adiknya saat ini.

Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Bastian keluar dari rumah itu menahan emosi.

Brak!

Pintu di bantingnya dengan sangat keras, membuat Rita seketika mengelus dada.

.

.

.

Sementara itu di dalam kamar Alice yang bertaburan bunga mawar merah diatas ranjang. Wanita itu tengah mondar-mandir menunggu kedatangan Bastian.

Wanita yang baru saja melepas masa lajangnya itu tampak begitu gelisah. Mengingat malam pertama ini adalah malam pertamanya.

Beberapa menit yang lalu ia berpapasan dengan Fitri. Madunya itu menyuruhnya agar segera masuk ke dalam kamar bersiap-siap untuk melayani Bastian.

Tubuh Alice lansung panas dingin, membayangkan akan menghabiskan malam panjang bersama pria yang di sukainya sedari dulu.

Alice terkejut tatkala mendengar suara pintu terbuka dan bersamaaan dengan itu ia melihat Bastian yang berdiri diambang pintu. Alice meremas pakaian tipis yang  di berikan Fitri beberapa jam yang lalu.

"Mas," panggil Alice lembut, melihat Bastian yang hanya berdiri seperti patung di ambang pintu.

Empat meter dari keberadaan Fitri. Bastian memperhatikan istri mudanya itu dari kepala hingga ujung kaki. Tatapannya amat sulit diartikan. Lalu Bastian berjalan mendekati istri mudanya itu.

"Em, maaf Mas, kalau pakaian ini membuatmu risih, Mbak Fitri yang memberikannya padaku," Alice mulai bicara di kala Bastian diam seribu bahasa dan hanya memandanginya dari tadi.

"Kau sudah siap?"

Suara berat Bastian, membuat hati Alice bergetar seketika. Seperti dia mendapat angin segar sekarang, sebab Bastian mau berhubungan badan dengannya, meski ia tahu saat ini suaminya belumlah mencintainya.

Alice yang tersipu malu hanya menundukkan kepalanya, tak berani menjawab pertanyaan Bastian.

Dalam hitungan detik, Bastian mendekat dan mendorong kuat tubuh Alice hingga wanita itu terlentang diatas kasur.

Alice terkejut bukan main, kala mendapatkan perlakuan kasar suaminya. Namun, karna rasa cintanya yang menggebu Alice tidak lah memperdulikan hal itu.

"Kau menginginkan aku menyetubuhimu kan?" Suara Bastian meninggi membuat Alice semakin ketakutan.

Alice tergugu, lidahnya kaku melihat Bastian melepaskan pakaian yang menempel di tubuhnya satu persatu, hingga pria itu benar-benar bugil di hadapannya.

Alice lansung memalingkan muka kesamping. Wajahnya merona malu melihat tubuh telanjang suaminya.

Sedangkan Bastian, naik ke atas ranjang pengantin kemudian mengukung tubuh Alice di bawah tubuhnya.

"Alice apa kau mencintaiku?" tanya Bastian sambil menyentakan kasar pakaian yang ada di tubuh Alice.

"Dari dulu aku sudah mencintai, Mas," jawab Alice pelan sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

Bastian menyeringai. "Hm, tapi sayangnya aku tidak mencintaimu, hanya Fitri lah pemilik hatiku ini!"

Kemudian, tanpa pemanasan sama sekali Bastian lansung melakukan penyatuan, sampai Alice menjerit menahat sakit.

Kini di dalam ruangan bercahaya temaram itu suara desahan dan tangisan bercampur menjadi satu. Alice terisak pelan, menerima perlakuan kasar Bastian padanya.

Alice sangat sadar, namanya memang belum ada  di hati suaminya. Namun entah kenapa, ketika mendengar lansung dari mulut suaminya, hatinya merasa begitu sakit.

Lima menit kemudian, setelah Bastian memuntahkan benih di rahim Alice. Pria itu lansung menyambar pakaiannya diatas lantai, kemudian memakai kembali semua pakaiannya itu dengan cepat.

"Beristirahatlah, dan pakai kembali pakaianmu," ucap Bastian kemudian melenggang pergi meninggalkan Alice yang masih terbaring di atas tempat tidur.

.

.

Dengan perasaan yang begitu kalut Bastian menghentakkan kakinya cepat keluar dari kamar pengantin itu. Tiba di ruang tengah ia menyandarkan tubuhnya di dinding. Melihat foto Fitri yang tengah tersenyum menatapnya dalam bingkai yang terpajang di ruangan itu.

'Sungguh, aku tak tahu apa yang sedang kamu rencanakan, Sayang. Menagapa aku tak bisa lagi menyelami isi pikiranmu?'

Bastian menghela nafas panjang, kemudian memutuskan mendatangi istri pertamanya. Namun, sebelum ke kamar Fitri ia pergi kekamar tamu terlebih dulu lalu mandi di dalam kamar mandi yang ada di sana.

Setelahnya, Bastian mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya. Melihat Fitri yang tengah tertidur diatas tempat tidur, dia melangkah semakin mendekat, lalu merapikan rambut panjang istrinya yang menjuntai di tepian ranjang.

Sejenak Bastian membandingkan Fitri dan Alice. Dari segi wajah, Alice memang lebih cantik, namun baginya, bersama Fitri lah ia mendapatkan kenyamanan. Wanita yang memiliki kepribadian dan tutur kata lembut itu selalu membuatnya merasakan jatuh cinta setiap hari.

Kemudian Bastian merebahkan tubuhnya di samping Fitri sambil memeluknya dari belakang, menelusupkan wajahnya di ceruk leher Fitri.

'Maafkan aku Sayang, karna telah menyentuh wanita lain selain dirimu,'

Bastian menghirup dalam aroma tubuh Fitri sambil memejamkan matanya perlahan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   Selesai

    "Bik Mar!" Bastian mendekat kemudian lansung memeluk wanita paruh baya itu."Ya Alllah Den Bastian... " Bik Mar mengurai pelukan, lalu meraba-raba wajah Bastian sejenak. "Ternyata benar Den Bastian, tapi kenapa Aden bisa ada di sini?""Iya Bik ini saya Bastian. Ceritanya panjang Bik. Oh ya Bik, Fitri tinggal di sini kan?"Raut wajah bik Mar seketika berubah."Eh, Bibi sampai lupa mari masuk dulu Den." Bik Mar mempersilahkan Bastian masuk ke dalam rumahnya."Tidak usah Bik, di sini saja," cegah Bastian menahan tangan bik Mar, ia membawa wanita paruh baya itu duduk di teras rumah yang terdapat kursi kayu. "Bik, aku hanya ingin bertemu Fitri. Katakan dimana dia sekarang? Apa benar Fitri sedah mempunyai anak? Dan apa benar Fitri terkena kanker otak?" tanyanya tak sabaran.Bik Mar menghela nafas dalam. "Iya, Non Fitri terkena kanker otak, dia juga hamil ketika Aden menalaknya-""Nenek!"Kedua mata Bastian terbuka lebar saat menolehke arah sampingnya. Di sana berdiri seorang anak laki-laki y

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   BAB. 25

    Pov Bastian. Menjelang siang, aku pun berangkat ke kota hendak menjemput keluarga Alice. Aku yang datang lebih awal, memutuskan berjalan-jalan di pusat kota, lalu beristirahat sebentar di salah satu restoran ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Ayam goreng mentega adalah makanan yang kupesan, makanan kesukaan Fitri dulu. Aku tersenyum getir sambil menyuap makanan itu, pikiranku berkelana mengingat kebersamaan bersamanya dahulu.Seketika aku menghentikan kegiatanku yang tengah makan, saat melihat seseorang yang tidak asing berjalan keluar dari restoran.Bajingan! Ya dia bajingan itu, bajingan yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku segera berlari mengejar pria bajingan itu keluar restoran."Berhenti kau!" teriakku di belakangnya. Namun, pria itu seperti tuli tak mendengar teriakanku. "Aldi bajingan! Berhenti kau!" Aku berlari bersiap menerjangnya.Bugh!Baru saja bajingan itu berbalik badan, tinjuku melayang tepat mengenai rahangnya. Bajingan itu terhuyung kebelakang. Yang

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   BAB. 24

    Pov Fitri. Kuambil piring makanan yang di letakkan bik Mar tadi, lalu mulai menyantapnya. Tak butuh waktu lama, piring tersebut sudah kosong olehku. Alhamdulillah selama kehamilan, buah hatiku tidak pernah menyusahkanku. Malahan di kehamilan pertamaku ini, aku kuat makan meski hanya bagian perutku saja yang semakin besar.Tiap kali aku juga menanyakan pada Aldi semua keanehan yang terjadi pada tubuhku. Namun, Aldi bilang itu normal-normal saja. Teman baikku itu juga selalu berpesan agar aku semangat dan tak boleh banyak pikiran.Sekitar dua puluh menit kemudian, putri bik Mar datang. Wanita yang usianya sepantaran dengan Alice itu membawa buah-buahan untukku. Beberapa bulan ini dia memang hampir setiap hari berkunjung kerumah, semenjak pindah rumah dan tinggal bersama suaminya tidak jauh dari tempat tinggalku. Kamipun sering menghabiskan waktu di rumah dengan saling bersanda gurau hingga bik Mar datang. Seperti hari ini, ketika bik Mar datang, Susi pun lansung pamit pulang."Sebentar

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   BAB. 23

    "Sudah berapa lama tidak datang bulan?" tanya sang dokter sambil menggerakkan benda di atas perut Fitri kesegala arah.Fitri tersentak, baru menyadari sudah beberapa bulan tak menstruasi. Ia pun mengingat-ingat kapan terakhit kali datang bulan."Hm, saya lupa-lupa ingat Dok, tapi sepertinya tiga bulan yang lalu," jawab Fitri saat teringat Bastian pernah menggaulinya dulu dalam keadaan marah. "Memangnya kenapa ya, Dok?"Dokter terkekeh sebentar. Kemudian menghidupkan layar monitor di dinding, menampilkan sesuatu yang membuat mata bik Mar dan Fitri terbelalak."Di dalam purut Mbak sekarang ada seorang bayi, selamat ya Mbak," ucap dokter sembari tersenyum tipis."Alhamdulillah." Bik Mar lansung mengucap syukur.Sementara Fitri masih terpaku. "Ta-tapi ba-bagaimana bisa Dok? I-itu ti-tidak mungkin," ucap Fitri terbata-bata, tak percaya akan perkataan Dokter."Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak? Kun fayakun!" Dokter kemudian menutup pakaian Fitri dan me

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   BAB. 22

    Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, seorang wanita bertubuh kurus terbaring diatas kasur tanpa ranjang. Wajahnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Wanita itu belum juga sadar setelah tadi di temukan pingsan di tepi jalan oleh bik Mar dan anaknya lalu di bawanya ke rumah."Apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Non?" Sejak tadi, bik Mar duduk bersila di samping Fitri. Dia begitu mengkhawatirkan mantan majikannya tersebut. Entah kenapa ia merasa terjadi sesuatu dengan rumah tangganya terlebih lagi kondisi Fitri terlihat menggemaskan saat di bawa ke rumahnya."Buk, air hangat ini di letakkan di mana?" tanya Susi anak bik Mar yang membawa baskom berisi air hangat."Letakkan saja di situ," titah bik Mar seraya menunjuk.Setelah meletakkan baskom berisi air hangat. Susi ikut duduk di samping bi Mar,sambil memandang tubuh kurus di hadapannya.Tiba-tiba jemari Fitri mulai bergerak-gerak di susul dengan gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan matanya pun terbuka.

  • Madu Pilihan Untuk Suamiku   BAB. 21

    [Mbak hari ini gak usah masak, kami berkunjung kerumah Abah. Sepertinya kami pulang agak sore, tolong jemuran Bunda Ira dan Mbak Rita diangkat ya]Fitri menghela nafas panjang setelah membaca pesan yang di kirim Alice ke ponselnya. Kemudian ia menaruh lagi benda pipih itu.Menjelang sore, Fitri menyibukkan diri membuat kue cake kesukaan suaminya. Sudah lama sekali ia tak pernah membuatkan kue kesukaan suaminya itu. Dulu, dirinya begitu sering membuatkan kue itu untuk suaminya.Selesai membuat kue, Fitri bergegas mengangkat pakaian milik mertua dan kakak iparnya, ketika melihat langit mulai berubah mendung."Fitri, kau kah itu?" tanya bunda Ira saat melihat seorang wanita kurus berdiri membelakanginya sambil mengangkat kain jemuran. Fitri berbalik badan menghadap ke arah mertuanya itu. "Iya Bunda, ini aku."Bunda Ira mengernyit. "Bunda kira siapa tadi? Tubuhmu sangat kurus sekali Fitri, seperti orang kelaparan saja! Sudahlah, Bunda mau kedalam dulu," katanya ketus.Fitri tersenyum geti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status