Jika para pria akan bahagia dengan pernikahan keduanya, tapi tidak dengan Bastian. Pria tampan yang sudah lama mengarungi bahtera rumah tangga dengan istri pertamanya itu malah bingung. Pasalnya sang istri memaksa, bahkan mencarikan sendiri wanita untuk menjadi madunya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menikah lagi! Aku sangat mencintaimu, Sayang! Atau kamu sudah tak mencintaiku lagi?" Bastian menyelami mata istrinya, mencari jawaban atas keresahan hatinya.
Lihat lebih banyak"Sah!"
Sebuah kalimat pendek berdengung di telinga Lidia Safitri. Hari ini adalah hari dimana suaminya menikah lagi dengan seorang wanita muda yang di pilihnya sendiri.Pernikahan sederhana di gelar di kediaman suami yang di hadiri keluarga dekat serta para tetangga.Wanita berhijab itu tersenyum getir, menyaksikan sang suami---Bastian Prayoga menyalami satu-persatu sanak saudaranya yang tengah memberi ucapan selamat atas pernikahan keduanya. Sementara Alice--madu mudanya sedari tadi hanya menundukkan kepala kala mendengar pujian dari keluarga mertuanya.Fitri meraup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya bergemuruh hebat sekarang ini, seakan ada yang menghimpit Paru-parunya. Sesak, itulah yang dia rasakan saat ini.Wanita itu tertunduk lemas sambil meremaa gamis putihnya, menetralkan perasaan cemburnya yang kini bersarang.Entah dorongan dari mana, ia mengangkat wajahnya lagi. Dan tanpa sengaja matanya bertubrukan lansung dengan mata sang suami.Tatapannya penuh damba pada Bastian namun, sang suami malah mengalihkan pandangannya."Maafkan aku Mas, ini yang terbaik untuk kita, aku yakin kamu pasti bahagia bersama Alice,"Jarak tiga meter dari Fitri, Bastian menahan diri untuk tidak berlari ke arah istri pertamanya itu. Tadi ia sempat melihat Fitri memandangnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan sama sekali.Semenjak kejadian tiga bulan silam, Bastian terlanjur kecewa terhadap keputusan Fitri yang memintanya menikah lagi. Kala itu Bastian menolak dengan tegas permintaan Fitri. Namun akhirnya Bastian pun terpaksa mengiyakan setelah di bujuk rayu Fitri dengan menerangkan dalil-dalil yang ada di dalam kitab suci agama mereka, yang memperbolehkan suami menikah lagi.Sungguh, Bastian tidak mengerti, mengapa wanita yang sudah lama mengrungi mahligai rumah tangga bersamanya, malah memintanya menikah lagi.Apakah tak ada lagi cinta di hati istri pertamanya? Pernah Bastian bertanya apa alasan Fitri memintanya menikah lagi dengan wanita lain. Namun Fitri diam seribu bahasa.Sempat terbesit di benak Bastian, jika bunda dan kakak kandungnya yang memaksa Fitri melakukan hal itu akan tetapi Fitri mengatakan secara gamblang bahawa mertua dan kakak iparnya itu selalu baik padanya.Bastian kembali menerka-nerka, apa sebenarnya yang membuat Fitri memintanya menikah lagi. Namun semakin di pikirkannya semakin membuatnya menggila. Tak mungkin juga karna mereka belum memiliki anak sampai saat ini.Memang benar, selama belasan tahun hidup bersama, ia dan Fitri belum juga di karunia anak. Tapi Bastian tak pernah mempersalahkan itu, karna baginya menikah bukan hanya soal anak. Memiliki keturunan adalah rizki yang di berikan Tuhan, lalu jika Tuhan belum memberika rizkinya kita bisa apa. Begitulah kata-kata yang sering diucapkan Bastian untuk menenangkan hati istrinya.Selama ini Bastian dan Fitri juga sudah berikhtiar berbagai cara. Tapi sampai sekarang, Tuhan memang belum menitipkan juga anak pada mereka. Dia juga sudah menjelaskan pada Bunda dan kakaknya bahwa mereka tetap bahagia dengan kehidupan mereka sekarang ini."Selamat Bas, istri mudamu sangatlah cantik, tak kalah cantiknya dengan Fitri,""Iya, benar itu, kalian terlihat sangat serasi. Bas, dimana kamu menemukan bidadari ini?"Enggan menanggapi, Bastian hanya tersenyum gamblang, sebisa mungkin memberikan senyum terbaiknya pada tamu undangan yang hadir di rumahnya saat ini."Bas, ajaklah istrimu bicara, lihatlah dari tadi asyik diam saja," Rita--kakak kandung Bastian, menyenggol lengan adiknya. Wanita yang sudah memasuki usia kepala empat itu melototi sang adik.Bastian mengangguk pelan, melirik Alice yang masih menunduk malu."Hmm,"Tak ada sahutan dari wanita yang masih menunduk itu.Bastian menghela nafas, menggeram kesal melihat sang kakak kembali melototinya."Alice," panggil Bastian sambil memegang punggung tangan Alice.Alice tersentak, kala tangan pria yang sudah menyandang status sebagai suaminya itu menyentuh kulitnya, reflek wanita itu menegakkan kepalanya."I-iya," sahutnya gugup.Bastian mendekatkan bibir ke telinga Alice. "Tegakkan kepalamu dan tersenyumlah, jangan sampai keluargamu salah paham,"Alice tak lansung menjawab, dirinya bagai terhipnotis dengan aroma tubuh suaminya. Sebuah aroma wangi menguar seketika dari tubuh Bastian, membuat wanita itu mabuk kepayang."Apa kau bisa mendengarku?" Bastian mengulang perkataan, lalu menatap lansung kedua mata Alice.Alice tersadar, bak anak polos lansung mengambil tangan Bastian dan menyalaminya dengan takzim. "Iya, iya, Mas,"Sontak, gelagat wanita muda yang berumur dua puluh empat tahun itu membuat orang-orang yang kebetulan mendengarnya tertawa.Kecuali Fitri yang masih tidak bergeming sambil meremas kuat gamis yang di gunakannya."Ya ampun, lucu sekali kamu Alice, sebentar lagi Bunda akan mendapatkan seorang cucu dari menantu muda Bunda ini, tidak seperti wanita itu," Rita meruncingkan bibir menunjuk Fitri sambil tertawa.Sementara Bunda Ira---Ibunda Bastian yang mendengar itu hanya menghembuskan nafas pelan, melihat Fitri yang tengah memegang dadanya saat ini."Fitri, lebih baik kau pergi ke dapur saja sekarang, bantu bibi membuat minuman, lihat itu teko-teko sudah pada kosong semua," ucap bunda Ira setengah berbisik.Fitri menyeka bulir bening di sudut matanya yang hampir jatuh, kemudian menoleh pada mertuanya."Bunda, aku kecapekan, bolehkah jika Mbak Rita saja yang menggantikan,""Eh, gak mau lah! Kamu pikir aku babumu?" dengus Rita menekan ucapannya, agar tak di dengar sang adik yang sedang berbicara dengan Alice.Fitri memejamkan matanya sesaat, kemudian tanpa berkata apa-apa melenggang pergi dari ruangan yang sejak tadi membuat dadanya sesak.Sesampainya di dapur, Fitri lansung mendekati bik Mar. "Bik, ada yang bisa Fitri bantu gak?"Wanita yang sudah lama bekerja bersama dengan keluarga terpandang di desa ini, terkejut melihat keberadaan Fitri di dapur. "Jangan Non, biar bibik saja, Non sebaiknya istrahat saja," ucap bik Mar, mengambil alih sendok yang tengah di pegang Fitri.Fitri mengulas senyum tipis, ketika melihat sorot mata bik Mar, yang selalu mengingatkannya pada mendiang ibunya."Bik, minuman di depan sudah habis, Fitri bantu membuatkan ya," kata Fitri sopan lalu menyambar spatula dari tangan bik Mar.Bik Mar menghela nafas. "Tapi Non-""Sudahlah Bik, ayo, kita harus bergerak cepat agar para tamu undangan tidak kehausan," Fitri mengulas senyum sambil mengambil gula di dalam toples.....Sementara itu di ruang depan, Bastian mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Fitri yang kini tidak ia temukan."Mas, cari siapa?" tanya Alice."Em, gak cari siapa-siapa, aku mau ke toilet sebentar, kamu tunggu di sini saja," Tanpa mendengar jawaban Alice, Bastian segera melangkah meninggalkannya.Alice hendak mengejar Bastian, namun Rita menahan tangannya."Alice, aku bersyukur ternyata wanita pilihan adikku begitu cantik sekali, aku harap kita bisa berteman baik ya, Alice," ucap Rita dengan kelembutan."Iya, Mbak, aku mau kedalam sebentar," pungkas Alice.Rita mengangguk pelan."Baik sekali Mbak Rita, Mbak Fitri benar-benar beruntung memiliki Suami, Kakak Ipar serta Mertua yang baik seperti mereka," batin Alice."Bik Mar!" Bastian mendekat kemudian lansung memeluk wanita paruh baya itu."Ya Alllah Den Bastian... " Bik Mar mengurai pelukan, lalu meraba-raba wajah Bastian sejenak. "Ternyata benar Den Bastian, tapi kenapa Aden bisa ada di sini?""Iya Bik ini saya Bastian. Ceritanya panjang Bik. Oh ya Bik, Fitri tinggal di sini kan?"Raut wajah bik Mar seketika berubah."Eh, Bibi sampai lupa mari masuk dulu Den." Bik Mar mempersilahkan Bastian masuk ke dalam rumahnya."Tidak usah Bik, di sini saja," cegah Bastian menahan tangan bik Mar, ia membawa wanita paruh baya itu duduk di teras rumah yang terdapat kursi kayu. "Bik, aku hanya ingin bertemu Fitri. Katakan dimana dia sekarang? Apa benar Fitri sedah mempunyai anak? Dan apa benar Fitri terkena kanker otak?" tanyanya tak sabaran.Bik Mar menghela nafas dalam. "Iya, Non Fitri terkena kanker otak, dia juga hamil ketika Aden menalaknya-""Nenek!"Kedua mata Bastian terbuka lebar saat menolehke arah sampingnya. Di sana berdiri seorang anak laki-laki y
Pov Bastian. Menjelang siang, aku pun berangkat ke kota hendak menjemput keluarga Alice. Aku yang datang lebih awal, memutuskan berjalan-jalan di pusat kota, lalu beristirahat sebentar di salah satu restoran ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Ayam goreng mentega adalah makanan yang kupesan, makanan kesukaan Fitri dulu. Aku tersenyum getir sambil menyuap makanan itu, pikiranku berkelana mengingat kebersamaan bersamanya dahulu.Seketika aku menghentikan kegiatanku yang tengah makan, saat melihat seseorang yang tidak asing berjalan keluar dari restoran.Bajingan! Ya dia bajingan itu, bajingan yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku segera berlari mengejar pria bajingan itu keluar restoran."Berhenti kau!" teriakku di belakangnya. Namun, pria itu seperti tuli tak mendengar teriakanku. "Aldi bajingan! Berhenti kau!" Aku berlari bersiap menerjangnya.Bugh!Baru saja bajingan itu berbalik badan, tinjuku melayang tepat mengenai rahangnya. Bajingan itu terhuyung kebelakang. Yang
Pov Fitri. Kuambil piring makanan yang di letakkan bik Mar tadi, lalu mulai menyantapnya. Tak butuh waktu lama, piring tersebut sudah kosong olehku. Alhamdulillah selama kehamilan, buah hatiku tidak pernah menyusahkanku. Malahan di kehamilan pertamaku ini, aku kuat makan meski hanya bagian perutku saja yang semakin besar.Tiap kali aku juga menanyakan pada Aldi semua keanehan yang terjadi pada tubuhku. Namun, Aldi bilang itu normal-normal saja. Teman baikku itu juga selalu berpesan agar aku semangat dan tak boleh banyak pikiran.Sekitar dua puluh menit kemudian, putri bik Mar datang. Wanita yang usianya sepantaran dengan Alice itu membawa buah-buahan untukku. Beberapa bulan ini dia memang hampir setiap hari berkunjung kerumah, semenjak pindah rumah dan tinggal bersama suaminya tidak jauh dari tempat tinggalku. Kamipun sering menghabiskan waktu di rumah dengan saling bersanda gurau hingga bik Mar datang. Seperti hari ini, ketika bik Mar datang, Susi pun lansung pamit pulang."Sebentar
"Sudah berapa lama tidak datang bulan?" tanya sang dokter sambil menggerakkan benda di atas perut Fitri kesegala arah.Fitri tersentak, baru menyadari sudah beberapa bulan tak menstruasi. Ia pun mengingat-ingat kapan terakhit kali datang bulan."Hm, saya lupa-lupa ingat Dok, tapi sepertinya tiga bulan yang lalu," jawab Fitri saat teringat Bastian pernah menggaulinya dulu dalam keadaan marah. "Memangnya kenapa ya, Dok?"Dokter terkekeh sebentar. Kemudian menghidupkan layar monitor di dinding, menampilkan sesuatu yang membuat mata bik Mar dan Fitri terbelalak."Di dalam purut Mbak sekarang ada seorang bayi, selamat ya Mbak," ucap dokter sembari tersenyum tipis."Alhamdulillah." Bik Mar lansung mengucap syukur.Sementara Fitri masih terpaku. "Ta-tapi ba-bagaimana bisa Dok? I-itu ti-tidak mungkin," ucap Fitri terbata-bata, tak percaya akan perkataan Dokter."Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak? Kun fayakun!" Dokter kemudian menutup pakaian Fitri dan me
Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, seorang wanita bertubuh kurus terbaring diatas kasur tanpa ranjang. Wajahnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Wanita itu belum juga sadar setelah tadi di temukan pingsan di tepi jalan oleh bik Mar dan anaknya lalu di bawanya ke rumah."Apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Non?" Sejak tadi, bik Mar duduk bersila di samping Fitri. Dia begitu mengkhawatirkan mantan majikannya tersebut. Entah kenapa ia merasa terjadi sesuatu dengan rumah tangganya terlebih lagi kondisi Fitri terlihat menggemaskan saat di bawa ke rumahnya."Buk, air hangat ini di letakkan di mana?" tanya Susi anak bik Mar yang membawa baskom berisi air hangat."Letakkan saja di situ," titah bik Mar seraya menunjuk.Setelah meletakkan baskom berisi air hangat. Susi ikut duduk di samping bi Mar,sambil memandang tubuh kurus di hadapannya.Tiba-tiba jemari Fitri mulai bergerak-gerak di susul dengan gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan matanya pun terbuka.
[Mbak hari ini gak usah masak, kami berkunjung kerumah Abah. Sepertinya kami pulang agak sore, tolong jemuran Bunda Ira dan Mbak Rita diangkat ya]Fitri menghela nafas panjang setelah membaca pesan yang di kirim Alice ke ponselnya. Kemudian ia menaruh lagi benda pipih itu.Menjelang sore, Fitri menyibukkan diri membuat kue cake kesukaan suaminya. Sudah lama sekali ia tak pernah membuatkan kue kesukaan suaminya itu. Dulu, dirinya begitu sering membuatkan kue itu untuk suaminya.Selesai membuat kue, Fitri bergegas mengangkat pakaian milik mertua dan kakak iparnya, ketika melihat langit mulai berubah mendung."Fitri, kau kah itu?" tanya bunda Ira saat melihat seorang wanita kurus berdiri membelakanginya sambil mengangkat kain jemuran. Fitri berbalik badan menghadap ke arah mertuanya itu. "Iya Bunda, ini aku."Bunda Ira mengernyit. "Bunda kira siapa tadi? Tubuhmu sangat kurus sekali Fitri, seperti orang kelaparan saja! Sudahlah, Bunda mau kedalam dulu," katanya ketus.Fitri tersenyum geti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen