Share

Madu Untuk Suamiku
Madu Untuk Suamiku
Penulis: Anis Hidayah

Istri Untuk Mas Subhan

 “Sah ....”

Ketika kata itu menggema memenuhi tiap sudut ruangan. Shofia menahan sesak yang sejak tadi terasa semakin menghimpit dadanya. Ia tak kuasa melihat laki-laki yang menjadi imam hidupnya selama delapan tahun, kini mengumandangka doa di ubun-ubun wanita lain.

Padahal ia sendiri yang meminta sang suami untuk menikah lagi, karena hingga kini dirinya tak mampu melahirkan keturunan. Shofia perlahan menghilang dari keramaian, menepi di sudut kamar mandi seorang diri. Tak sanggup rasanya jika harus menyaksikan adegan selanjutnya dari prosesi sakral tersebut.

Air mata yang susah payah ia tahan, kini menganak sungai di pipinya yang tampak sedikit lebih tirus. Memandang pantulan wajahnya di cermin, Shofia melihat bayangan yang begitu mengenaskan di sana. Tampak seorang wanita dengan gamis salem dan hijab syar’i dengan warna senda tengah meratapi cintanya yang harus terbagi.

“Kak Shofi.” Terdengar suara ketukan pintu cukup keras.

Shofia tahu jika itu suara Jihan, adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Segera Shofia menghapus sisa-sisa air mata di kedua pipinya, lalu membasuh wajahnya yang terlihat sangat kusut.

Begitu daun pintu terbuka, tampaklah wajah Jihan yang menatapnya penuh iba. Shofia mencoba memberikan senyum terbaikny. Ia tak boleh terlihat terluka ataupun nelangsa. 

“Kak, kalau mau nangis, silakan. Nggak ada yang perlu ditutupi dari aku,” sengit Jihan sedikit sebal dengan keputusan kakaknya.

“Kamu anak kecil belajar yang benar, biar bisa cepat lulus kuliah. Kakak baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Padahal lebih kecil Kiyada daripada aku.” Jihan mendengus kasar.

“Yuk, kita temui Mas Subhan sama Kiyada. Ucapkan selamat buat mereka.” Shofia segera menggandeng tangan Jihan.

“Kakak tidak perlu mengucapkan selamat pada mereka. Aku tahu jika hati kakak sakit, karena tidak pernah ada yang baik-baik saja saat cinta harus terbagi.” Jihan menyentak kasar tangan kakaknya.

Shofia menarik napas panjang, air matanya kembali luruh begitu saja. Ia terduduk di sisi ranjang dengan bahu yang kian terguncang. Rasa cemburu yang sekuat tenaga berusaha disingkirkan, justru kian tumbuh subur tanpa bisa ia kendalikan.

“Kak.” Bergetar suara Jihan saat merengkuh pundak sang kakak yang selama ini juga berperan menggantikan umi.

Tak ada kata yang terucap, hanya terdengar isak tangis di kamar megah tersebut. Bahkan Jihan juga turut meneteskan air mata, tak kuasa membayangkan jika ia berada di posisi kakanya.

“Sayang.” Sebuah suara bariton mengejutkan keduanya.

Jihan menoleh dan menatap Ustaz Subhan penuh kebencian. Mengapa sebagai lelaki ia begitu lemah, sehingga mau menuruti keinginan istrinya begitu saja. Namun, tak menutup kemungkinan jika kakak iparnya itu memang senang jika beristri lebih dari seorang.

“Aku permisi dulu.” Jihan segera keluar kamar begitu Ustaz Subhan mendekati Shofia. 

Dengan sigap Ustaz Subhan segera merengkuh Shofia ke dalam dekapannya. Tak ada kata-kata antara keduanya. Sebab mereka tengah sama-sama terluka. Berkali-kali Ustaz Subhan mengecup puncak kepala istrinya, seolah memberi peringatan bahwa sang istri tetaplah yang terbaik.

“Mas, kenapa ke sini. Kiyada mana?” Shofia segera melepaskan diri begitu sadar jika suaminya kini bukan hanya miliknya seorang.

“Lagi di depan, nemuin para tamu undangan,” ucap Ustaz Subhan begitu lirih di depan wajah sang istri.

"Kita ke depan, yuk. Kasihan Kiyada jika harus menemui tamu undangan sendirian.” Segera Shofia mendorong tubuh kekar sang suami dari hadapannya. Ingin rasanya ia bergelayut manja seperti biasa di lengan kokoh itu, tapi kini semua tak lagi sama. Ada hati yang harus ia jaga.

Ustaz Subhan menahan pergerakan Shofia, ia sedikit mendorong pundak Shofia agar kembali duduk di sisian ranjang. “Kamu di sini saja, tidak perlu ikut ke depan.”

Kecupan hangat dan dalam kembali diberikan Ustaz Subhan pada sang istri. Laki-laki dewasa tersebut tahu, jika membawa Shofia ke depan pasti hanya akan membuat hati wanitanya kian terluka.

“Ingat, ya! Istirahat, jangan kemana-mana, besok kamu kan ke Singapura.”

Setelah memastikan kondisi Shofia lebih tenang, Ustaz Subhan beranjak menuju tempat berlangsungnya acara. Jika boleh memilih, ingin sekali ia menuruti egonya. Menemani Shofia seharian di kamar mereka.

Namun, ia harus bersikap adil. Tak etis jika membiarkan istri ke duanya hanya menemui para tamu seorang diri. Walau tak banyak yang hadir, karena acara ini digelar sederhana atas permintaan Kiyada.

Dari jarak beberapa meter Ustaz Subhan dapat melihat Kiyada tengah tersenyum pada seluruh tamu wanita yang hadir. Tak lama datang beberapa teman sebayanya juga ingin memberikan doa untuk Kiyada.

Gadis tersebut sangat pandai berkamuflase juga tampaknya, sama seperti Shofia yang tetap mampu tersenyum meski batinnya terluka. Sejurus kemudian, pandangan keduanya bertemu. Ustaz Subhan memberikan senyum pada Kiyada yang tengah tertunduk malu mendapat tatapan darinya.

“Selamat, Ustaz. Semoga dikaruniai keluarga sakinah mawadah warahmah,” ucap salah satu teman Kiyada yang juga murid Ustaz Subhan saat mengaji.

“Aaamiin.” Hanya itulah kata yang terucap dari bibir Ustaz Subhan.

Pasangan pengantin baru tersebut sekilas tampak bahagia duduk di pelaminan, padahal hati keduanya menyimpan lara. Sejak tadi pikiran Ustaz Subhan terus tertuju pada istri pertamanya yang tengah tersedu seorang diri di kamar.

Hingga acara usai, Ustaz Subhan menuju kediaman Kiyada. Tentunya setelah berpamitan kepada istri pertamanya. Sesuai ajaran Islam bila seorang laki-laki menikah lagi, maka tujuh hari pertama ia bersama istri pertama jika ia seorang perawan. 

Mobil Pajero hitam tersebut perlahan meluncur meninggalkan pelataran rumah yang tadinya sebagai tempat acara. Dua orang yang tengah berada di dalamnya saling terdiam. Hanya suara desau mesin yang menghiasi perjalanan keduanya.

“Kamu sudah menghubungi Ibu?” Ustaz Subhan mencoba memecah kebekuan antara mereka.

“Sudah, Ustaz, tadi,” jawab Kiyada singkat.

Ustaz Subhan hanya mengangguk menanggapi jawaban Kiyada, karena ia sendiri juga tak tahu dari mana harus memulai obrolan dengan Kiyada. Gadis yang dulu adalah muridnya ketika mengaji.

Tak lama kemudian mobil telah memasuki pelataran rumah Kiyada yang tak seberapa lebar. Sehingga Ustaz Subhan harus benar-benar memposisikan mobilnya agar tak mengganggu jalan, juga nanti lebih mudah untuk mengeluarkannya.

Kiyada turun perlahan dengan kebaya putih yang masih melekat di tubuh kecilnya. Jantung gadis yang baru saja menyandang status istri tersebut bergemuruh hebat. Tidak tahu apa yang yang akan terjadi setelah ini.

Sosok laki-laki yang beberapa jam lalu mengucap jaji suci itu memang telah lama ia kagumi. Namun, tak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi istri beliau. Apalagi Kiyada sudah tahu jika Ustaz Subhan telah memiliki sosok istri bak bidadari.

“Kamu masuk ke dalam dulu, saya masih harus menghubungi teman,” ucap Ustaz Subhan lembut.

Kiyada mengangguk kecil. Segera ia memasuki kamarnya juga berganti pakaian. Menghapus bersih make up yang masih menempel, juga mengenakan pakaian terbaik untuk menyambut suaminya malam ini.

Hampir satu jam Kiyada menunggu kedatangan suami barunya, tetapi laki-laki dewasa itu tak kunjung menampakkan diri. Kiyada kembali mengambil hijab yang telah digantung, lalu memutuskan menyusul Ustaz Subhan di depan rumah. Sebab angin malam yang tak baik bagi tubuh.

Kembali berdebar jantung Kiyada saat kakinya mendekati pintu ruang tamu. Samar-samar ia mendengar suara Ustaz Subhan seperti tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telephon.

“Kamu cepat tidur, ya, sayang.”

Debaran jantung itu kini berubah menjadi nyeri tak terpatri. Ungkapan itu bukan untuknya, tapi untuk seseorang di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Ustazah Shofia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status