Share

Demi Ibu

Author: Anis Hidayah
last update Last Updated: 2022-03-07 16:44:23

Perlahan Kiyada mundur menjauhi pintu. Ia mengutuk dirinya yang terlalu berharap banyak dari pernikahan ini. Harusnya ia sadar jika dirinya tak lebih dari seorang wanita murahan, yang rela menjadi istri ke dua demi uang.

Di saat hatinya sedang kacau begini, Kiyada begitu merindukan dekapan sang ibu yang selalu menentramkan. Entah sedang apa ibu di sana, dan bagaimana reaksi beliau saat tahu putrinya telah menikah menjadi yang ke dua.

***

“Saya ingin kamu menjadi istri ke dua suami saya,” ucap Ustazah Shofia dengan suara bergetar.

Bagai tersambar petir di siang bolong, kata-kata Ustazah Shofia membuat Kiyada limbung seketika. Ia tahu hingga kini Ustazah Shofia dan Ustaz Subhan memang belum dikaruniai keturunan. Namun, apakah harus dengan cara seperti ini demi mendapatkan seorang anak?

“Tapi masih banyak cara lain, Ustazah. Kenapa harus memilih jalan poligami?” Kiyada menatap nanar wajah wanita yang selama bertahun-tahun menjadi guru ngajinya, sekaligus tempatnya bertanya berbagai hal seputar hukum Islam.

Suasana rumah makan tempat mereka bertemu cukup lengang. Hanya ada beberapa pengunjung di saat sore hari seperti ini. Raut kepasrahan tampak jelas di wajah Ustazah Shofia. Mungkin ia juga merasa terbebani, karena belum mampu memberi keturunan yang akan meneruskan perjuangan sang suami.

Baik Ustazah Shofia ataupun Kiyada saling terdiam dalam waktu beberapa menit. Kiyada memandang ke arah luar jendela, memperhatikan warna langit yang mulai menunjukkan sembrat jingga. Sementara Ustazah Shofia sibuk mengaduk cofee latte di hadapannya.

“Maaf, jika permintaan saya ini terdengar konyol atau bahkan gila bagi kamu, Ki. Jujur kamu adalah murid terbaik yang pernah saya miliki. Saya yakin kamu dapat melahirkan keturunan yang juga cerdas dan cekatan seperti ibunya.” Ustazah Shofia menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia menatap penuh harap pada Kiyada.

Kiyada tertunduk, ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran gurunya tersebut. Sepenting itukah keturunan bagi mereka? Padahal dari murid-murid yang mereka didik pasti ada salah satu yang bisa diandalkan untuk menjadi penerus Ustaz Subhan dalam berdakwah.

Mojito di hadapan Kiyada masih utuh tak tersentuh, mendadak dirinya kehilangan selera pada salah satu minuman favoritnya itu. Ia menautkan jari jemarinya di bawah meja, berharap menemukan kosa kata yang tepat untuk memberikan jawaban terbaik pada Ustazah Shofia.

“Saya tahu kehidupan kamu saat ini juga tengah terhimpit ekonomi semenjak Ibu kamu sakit. Saya dan Mas Subhan akan menanggung semua biaya hidup keluarga kamu, bahkan jika kamu ingin melanjutan kuliah S1 hingga S3, kami siap membiayai semuanya,” jelas Ustazah Shofia panjang lebar.

Kiyada terpekur mendengar tawaran yang diucapkan wanita cantik di hadapannya. Melanjutkan ke jenjang kuliah adalah mimpinya, ia yakin bisa mencari beasiswa untuk itu. Tapi biaya pengobatan ibu, tentu bukan hal mudah mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Sakit yang diderita ibu membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Kiyada ingin ibu sembuh seperti sedia kala, ia masih belum siap jika harus kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

***

“Ehm ... Kiyada.” Sebuah suara bariton membuyarkan lamunan Kiyada.

Kiyada menoleh dan mendapati Ustaz Subhan tengah berdiri di ambang pintu dengan senyuman canggung. Laki-laki tersebut mendekati Kiyada yang tengah duduk di sisi ranjang, sengaja mengambil posisi berjarak dengan Kiyada.

“Kamu habis nangis?” tanya Ustaz Subhan lembut, ia melihat mata istri barunya itu tampak sembab.

“Saya rindu ibu,” ucap Kiyada dengan suara lirih.

Ustaz Subhan menarik napas panjang. “Besok-besok kita jenguk ibu kamu di Singapura, ya?”

Hati Kiyada kembali terasa nyeri saat Ustaz Subhan menyebutnya dengan kata ibu kamu. Padahal mereka kini telah sah menjadi sepasang suami istri. Itu artinya ibu Kiyada ibunya Ustaz Subhan juga.

Namun, sepertinya Kiyada terlalu berharap lebih dari laki-laki di sampingnya. Ia sedar, jika selamanya tetap akan menjadi yang ke dua. Bahkan Ustaz Subhan menikahinya tak lebih agar bisa memiliki keturunan. Hal yang tak didapatkan dari Ustazah Shofia.

“Sebaiknya kamu cepat tidur, besok kan mau daftar Kuliah,” ujar Ustaz Subhan pada akhirnya.

Kiyada mengangguk lemah. Malam panjang yang ia bayangkan sebagai pasangan pengantin baru kini pupus sudah. Bahkan, suaminya tak ada niatan sedikit pun hanya sekadar menyentuh. Padahal ia telah siap jika harus menyerahkan mahkota sucinya malam ini juga.

Mereka sama-sama dalam posisi terlentang. Tak ada kecupan ataupun pelukan hangat. Ingin sekali Kiyada memunggungi Ustaz Subhan, tapi ia takut dosa. Mau tidur menghadap sang suami pun ia terlalu malu.

Tak lama, terdengar dengkuran halus Ustaz Subhan di samping Kiyada. Tampaknya laki-laki penuh wibawa tersebut begitu kelelahan. Ditatapnya hidung bangir sang suami, rahang tegas dengan sedikit jambang tipisnya, juga bibir menawan yang beberapa jam lalu telah mengecup keningnya.

Membayangkannya pipi Kiyada merona, itu adalah pertama kalinya ia merasakan kecupan seorang laki-laki. Sejak kecil Kiyada tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, karena beliau meninggal saat dirinya masih tujuh bulan dalam kandungan.

Hingga tak terasa Kiyada terlelap dalam posisi menghadap sang suami. Saat ia membuka mata, sudah tak ada siapa-siapa di sisi tempat tidurnya. Mata Kiyada mengerjap, dan mendapati Ustaz Subhan tengah khusuk dalam munajatnya.

Entah doa apa yang dipanjatkan Ustaz Subhan, tapi Kiyada berharap terselip namanya di situ. Paling tidak doa untuk keberlangsungan rumah tangga baru mereka. Sinar lampu yang temaram, bahkan seolah tak bisa menutupi ketampanan Ustaz Subhan.

“Sudah bangun?” tanya Ustaz Subhan begitu mendapai istri ke duanya telah membuka mata.

Kiyada mengangguk tersipu, karena ia tertangkap basah tengah menatap penuh kekaguman pada Ustaz Subhan.

“Masih jam tiga, Subuh kurang satu jam. Mau tahajud juga atau tidur lagi?” Ustaz Subhan mendekat, dan duduk menyandar pada head bad, dengan Kiyada yang masih terbaring.

“Saya mau salat, Ustaz.” Kiyada segera bangkit menuju kamar mandi.

Saat Kiyada memasuki kamar, ternyata lampu telah terang benderang. Tampak Ustaz Subhan tengah melantunkan ayat suci Al Quran dengan sangat merdu. Suara yang biasanya Kiyada dengar dari jarak jauh, kini berada tepat di depannya.

“Mau salat bareng?” Tiba-tiba Ustaz Subhan menghentikan bacaannya saat tahu Kiyada telah kembali dari kamar mandi.

“Ustaz ‘kan sudah salat tadi?”

“Nggak dosa ‘kan kalau salat lagi?”

Kiyada tersipu. Ini adalah kali pertama ia salat hanya berdua dengan sang suami. Sebab kemarin mereka selalu salat berjamaah di masjid bersama para warga sekitar. Ustaz Subhan menggelarkan sajadah untuk Kiyada, satu hal kecil yang cukup membuat wanita tersebut merasa terharu.

Setelah keduanya melantunkan doa panjang, Ustaz Subhan berbalik dan menatap wajah ayu di depannya. Mendapati tatapan tajam itu Kiyada tertunduk, dan tanpa di duga Ustaz Subhan merengkuh kepala Kiyada untuk dikecup keningnya.

Air mata menetes dari peulupuk mata Kiyada, ia berdoa semoga ini adalah awal yang baik untuk hubungan keduanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu Untuk Suamiku   Bidadari Surga

    Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora

  • Madu Untuk Suamiku   Terjebak Rasa

    Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Mampu Menolak Rasa

    Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan

  • Madu Untuk Suamiku   Harapan dan Doa

    24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h

  • Madu Untuk Suamiku   Angan yang Sirna

    Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Lagi Sama

    Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m

  • Madu Untuk Suamiku   Gelisah Menanti Kabar

    Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti

  • Madu Untuk Suamiku   Kembali Merajut Kedekatan

    Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj

  • Madu Untuk Suamiku   Tertampar Pertanyaan

    Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status