Perlahan Kiyada mundur menjauhi pintu. Ia mengutuk dirinya yang terlalu berharap banyak dari pernikahan ini. Harusnya ia sadar jika dirinya tak lebih dari seorang wanita murahan, yang rela menjadi istri ke dua demi uang.
Di saat hatinya sedang kacau begini, Kiyada begitu merindukan dekapan sang ibu yang selalu menentramkan. Entah sedang apa ibu di sana, dan bagaimana reaksi beliau saat tahu putrinya telah menikah menjadi yang ke dua.
***
“Saya ingin kamu menjadi istri ke dua suami saya,” ucap Ustazah Shofia dengan suara bergetar.
Bagai tersambar petir di siang bolong, kata-kata Ustazah Shofia membuat Kiyada limbung seketika. Ia tahu hingga kini Ustazah Shofia dan Ustaz Subhan memang belum dikaruniai keturunan. Namun, apakah harus dengan cara seperti ini demi mendapatkan seorang anak?
“Tapi masih banyak cara lain, Ustazah. Kenapa harus memilih jalan poligami?” Kiyada menatap nanar wajah wanita yang selama bertahun-tahun menjadi guru ngajinya, sekaligus tempatnya bertanya berbagai hal seputar hukum Islam.
Suasana rumah makan tempat mereka bertemu cukup lengang. Hanya ada beberapa pengunjung di saat sore hari seperti ini. Raut kepasrahan tampak jelas di wajah Ustazah Shofia. Mungkin ia juga merasa terbebani, karena belum mampu memberi keturunan yang akan meneruskan perjuangan sang suami.
Baik Ustazah Shofia ataupun Kiyada saling terdiam dalam waktu beberapa menit. Kiyada memandang ke arah luar jendela, memperhatikan warna langit yang mulai menunjukkan sembrat jingga. Sementara Ustazah Shofia sibuk mengaduk cofee latte di hadapannya.
“Maaf, jika permintaan saya ini terdengar konyol atau bahkan gila bagi kamu, Ki. Jujur kamu adalah murid terbaik yang pernah saya miliki. Saya yakin kamu dapat melahirkan keturunan yang juga cerdas dan cekatan seperti ibunya.” Ustazah Shofia menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia menatap penuh harap pada Kiyada.
Kiyada tertunduk, ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran gurunya tersebut. Sepenting itukah keturunan bagi mereka? Padahal dari murid-murid yang mereka didik pasti ada salah satu yang bisa diandalkan untuk menjadi penerus Ustaz Subhan dalam berdakwah.
Mojito di hadapan Kiyada masih utuh tak tersentuh, mendadak dirinya kehilangan selera pada salah satu minuman favoritnya itu. Ia menautkan jari jemarinya di bawah meja, berharap menemukan kosa kata yang tepat untuk memberikan jawaban terbaik pada Ustazah Shofia.
“Saya tahu kehidupan kamu saat ini juga tengah terhimpit ekonomi semenjak Ibu kamu sakit. Saya dan Mas Subhan akan menanggung semua biaya hidup keluarga kamu, bahkan jika kamu ingin melanjutan kuliah S1 hingga S3, kami siap membiayai semuanya,” jelas Ustazah Shofia panjang lebar.
Kiyada terpekur mendengar tawaran yang diucapkan wanita cantik di hadapannya. Melanjutkan ke jenjang kuliah adalah mimpinya, ia yakin bisa mencari beasiswa untuk itu. Tapi biaya pengobatan ibu, tentu bukan hal mudah mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
Sakit yang diderita ibu membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Kiyada ingin ibu sembuh seperti sedia kala, ia masih belum siap jika harus kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
***
“Ehm ... Kiyada.” Sebuah suara bariton membuyarkan lamunan Kiyada.
Kiyada menoleh dan mendapati Ustaz Subhan tengah berdiri di ambang pintu dengan senyuman canggung. Laki-laki tersebut mendekati Kiyada yang tengah duduk di sisi ranjang, sengaja mengambil posisi berjarak dengan Kiyada.
“Kamu habis nangis?” tanya Ustaz Subhan lembut, ia melihat mata istri barunya itu tampak sembab.
“Saya rindu ibu,” ucap Kiyada dengan suara lirih.
Ustaz Subhan menarik napas panjang. “Besok-besok kita jenguk ibu kamu di Singapura, ya?”
Hati Kiyada kembali terasa nyeri saat Ustaz Subhan menyebutnya dengan kata ibu kamu. Padahal mereka kini telah sah menjadi sepasang suami istri. Itu artinya ibu Kiyada ibunya Ustaz Subhan juga.
Namun, sepertinya Kiyada terlalu berharap lebih dari laki-laki di sampingnya. Ia sedar, jika selamanya tetap akan menjadi yang ke dua. Bahkan Ustaz Subhan menikahinya tak lebih agar bisa memiliki keturunan. Hal yang tak didapatkan dari Ustazah Shofia.
“Sebaiknya kamu cepat tidur, besok kan mau daftar Kuliah,” ujar Ustaz Subhan pada akhirnya.
Kiyada mengangguk lemah. Malam panjang yang ia bayangkan sebagai pasangan pengantin baru kini pupus sudah. Bahkan, suaminya tak ada niatan sedikit pun hanya sekadar menyentuh. Padahal ia telah siap jika harus menyerahkan mahkota sucinya malam ini juga.
Mereka sama-sama dalam posisi terlentang. Tak ada kecupan ataupun pelukan hangat. Ingin sekali Kiyada memunggungi Ustaz Subhan, tapi ia takut dosa. Mau tidur menghadap sang suami pun ia terlalu malu.
Tak lama, terdengar dengkuran halus Ustaz Subhan di samping Kiyada. Tampaknya laki-laki penuh wibawa tersebut begitu kelelahan. Ditatapnya hidung bangir sang suami, rahang tegas dengan sedikit jambang tipisnya, juga bibir menawan yang beberapa jam lalu telah mengecup keningnya.
Membayangkannya pipi Kiyada merona, itu adalah pertama kalinya ia merasakan kecupan seorang laki-laki. Sejak kecil Kiyada tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, karena beliau meninggal saat dirinya masih tujuh bulan dalam kandungan.
Hingga tak terasa Kiyada terlelap dalam posisi menghadap sang suami. Saat ia membuka mata, sudah tak ada siapa-siapa di sisi tempat tidurnya. Mata Kiyada mengerjap, dan mendapati Ustaz Subhan tengah khusuk dalam munajatnya.
Entah doa apa yang dipanjatkan Ustaz Subhan, tapi Kiyada berharap terselip namanya di situ. Paling tidak doa untuk keberlangsungan rumah tangga baru mereka. Sinar lampu yang temaram, bahkan seolah tak bisa menutupi ketampanan Ustaz Subhan.
“Sudah bangun?” tanya Ustaz Subhan begitu mendapai istri ke duanya telah membuka mata.
Kiyada mengangguk tersipu, karena ia tertangkap basah tengah menatap penuh kekaguman pada Ustaz Subhan.
“Masih jam tiga, Subuh kurang satu jam. Mau tahajud juga atau tidur lagi?” Ustaz Subhan mendekat, dan duduk menyandar pada head bad, dengan Kiyada yang masih terbaring.
“Saya mau salat, Ustaz.” Kiyada segera bangkit menuju kamar mandi.
Saat Kiyada memasuki kamar, ternyata lampu telah terang benderang. Tampak Ustaz Subhan tengah melantunkan ayat suci Al Quran dengan sangat merdu. Suara yang biasanya Kiyada dengar dari jarak jauh, kini berada tepat di depannya.
“Mau salat bareng?” Tiba-tiba Ustaz Subhan menghentikan bacaannya saat tahu Kiyada telah kembali dari kamar mandi.
“Ustaz ‘kan sudah salat tadi?”
“Nggak dosa ‘kan kalau salat lagi?”
Kiyada tersipu. Ini adalah kali pertama ia salat hanya berdua dengan sang suami. Sebab kemarin mereka selalu salat berjamaah di masjid bersama para warga sekitar. Ustaz Subhan menggelarkan sajadah untuk Kiyada, satu hal kecil yang cukup membuat wanita tersebut merasa terharu.
Setelah keduanya melantunkan doa panjang, Ustaz Subhan berbalik dan menatap wajah ayu di depannya. Mendapati tatapan tajam itu Kiyada tertunduk, dan tanpa di duga Ustaz Subhan merengkuh kepala Kiyada untuk dikecup keningnya.
Air mata menetes dari peulupuk mata Kiyada, ia berdoa semoga ini adalah awal yang baik untuk hubungan keduanya.
Setelah menutup panggilan telephon dari sang suami, nyatanya Shofia tak bisa lekas terpejam. Bayangan bagaimana suaminya akan melakukan ritual malam pertama dengan Kiyada terus saja terlintas.Kini kehangatan juga kelembutan itu harus dibagi dengan wanita lain. Batinnya bertanya-tanya akankah Ustaz Subhan juga melontarkan kata cinta juga rayuan maut pada istri mudanya?Shofia merutuki dirinya sendiri, bukankah ia menginginkan lahirnya keturunan dari madunya? Namun, nyatanya ia belum benar-benar siap membagi kehangatan yang selalu diberikan sang suami dengan wanita selain dirinya.Jenuh dengan segala kecamuk batinnya, Shofia memutuskan untuk mengambil wudu. Menumpahkan segala resah juga gundah kepada Sang Pencipta adalah pilihan terbaik. Tersedu seorang diri di atas sajadah, berdoa agar diberikan kekuatan melewati hari-hari berikutnya.Biasanya setelah salat tahajud Shofia akan tidur kembali, lalu saat azan subuh berkumandang Ustaz Subhan akan memban
“Maaf, Ustazah, saya pindah ke belakang.” Kiyada berucap lirih dengan raut penuh rasa bersalah.Shofia mengangguk canggung. Ia sedikit kesal dengan sang suami, karena tak mengatakan jika membawa serta Kiyada ke rumah mereka. Padahal ia ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya hanya berdua, sebelum mereka terpisah dalam waktu yang cukup lama.“Kamu tidak masuk ke dalam, Ki?” Ustaz Subhan berusaha memecah ketegangan yang sempat tercipta antara kedua istrinya.“Tidak, Ustaz, saya memang sengaja menunggu di mobil,” jawab Kiyada ketika sudah menemukan posisi ternyamannya di kabin belakang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa bersalah.Ustaz Subhan dapat menangkap dengan jelas perubahan sikap Shofia yang mendadak dingin, tidak seceria dan sehangat saat tadi mereka di dalam kamar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, saat pertama kalinya membawa dua istri dalam satu mobil.Suasana hening menyelimuti ketiga orang yang ber
sabit menggantung indah di ujung cakrawala. Di sekelilingnya tampak gemintang yang berkelap-kelip menghiasi angkasa. Langit malam yang cerah, sangat berbanding terbalik dengan kedaan hati Ustaz Subhan.Laki-laki dengan rahang tegas tersebut masih setia duduk seorang diri di teras rumah istri ke duanya. Hatinya dirundung kesal juga gelisah. Semenjak keberangkatan sang istri dari bandara internasional Batam menuju Singapura, wanita cantik itu sama sekali tak bisa dihubungi.Puluhan chat aplikasi hijau yang ia layangkan hanya berakhir centang satu abu-abu. Juga panggilan telephon seluler yang hanya dijawab oleh suara operator. Shofia seolah sengaja menghindarinya.“Ustaz, makan malamnya sudah siap.” Suara renyah seorang wanita membuyarkan lamunannya.Ustaz Subhan terkesiap. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita bertubuh mungil dengan hijab pashmina berwarna mint. Istri mudanya tersebut tampak tertunduk malu-malu dengan kedua tangan saling te
Shofia tengah menatap nanar layar lima inchi dalam genggamannya. Hampir 24 jam benda pipih itu ia mode pesawat. Ruangan VVIP ini terasa begitu dingin menusuk tulang, padahal Ac tengah dimatikan.Bayangan laki-laki dengan rahang tegas itu terus saja menari-nari di pelupuk mata. Sedang apakah laki-lakinya di seberang sana?“Shofi, bagaimana hasil pemeriksaan kamu?” Erlana menghampiri Shofia di ranjangnya.“Sel kankerku telah menyebar, Er. Semoga saja kemo besok memberikan hasil yang cukup memuaskan,” ujar Shofia pasrah.“Pasti. Kamu harus yakin jika bisa sembuh seperti sedia kala.” Erlana menunjukkan wajah seoptimis mungkin di hadapan sahabat kecilnya itu.Sementara di seberang sana, sosok yang tengah dirindukan Shofia tengah disibukkan dengan menata debar dalam dada. Ustaz Subhan berusaha keras untuk menerima kehadiran Kiyada dalam hidupnya.Malam ini mungkin memang waktu yang tepat untuk memberikan h
Meski perlakuan Ustaz Subhan semalam masih membekas, tetapi sebagai istri Kiyada sadar harus terbiasa menekan ego. Apalagi mengingat posisinya yang hanya sebagai istri ke dua. Rela dinikahi demi uang.“Ustaz, sakit? Panas sekali.” Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Kiyada.“Sepertinya Cuma masuk angin biasa. Nanti juga sembuh.”Kiyada mengangguk ragu. Ia membiarkan Ustaz Subhan yang bangkit secara perlahan menuju kamar mandi. Langkah laki-laki itu tampak sedikit tertatih. Ingin rasanya Kiyada membantu, tetapi peristiwa semalam kembali terngiang.Setelah Ustaz Subhan menghilang dari pandangan, segera Kiyada mempersiapkan pakaian juga sajadah sang suami. Rumah Kiyada cukup jauh dari masjid, sehingga selama berada di sini Ustaz Subhan belum pernah jamaah Subuh di masjid.Keluar dari kamar mandi, wajah layu Ustaz Subhan tampak lebih segar. Keduanya pun melaksanakan salat Subuh berjamaah di kamar sempit ini. Terhanyut dalam
Kiyada memang telah lama mengagumi sosok laki-laki di hadapannya. Namun, sedikitpun tak pernah terpikir untuk menjadi istri ke duanya. Bagi Kiyada Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki saleh idaman kaum hawa.Bagaimana tidak, wajah menawan sedikit ketimuran, juga ditunjang dengan samudra ilmu yang begitu luas. Sangat serasi dengan Ustazah Shofia. Wanita dengan tubuh tinggi semampai, dan jejak karir di bidang akademi yang patut diperhitungkan.“Kalau Ustaz tidak rida saya ke kampus, maka saya tidak akan berangkat.”“Pergilah jika memang itu sangat penting bagi pendidikan kamu.”Jawaban Ustaz Subhan membuat Kiyada bimbang. Ia sangat ingin merawat sang suami yang tengah sakit di rumah. Namun, dirinya juga takut jika tiba-tiba ada panggilan dari Ustazah Shofia, lalu ia kembali diabaikan.“Berkas itu bisa diserahkan besok, saya akan merawat Ustaz saja,” pungkas Kiyada pada akhirnya.Ustaz Subhan terse
Angin pagi berembus perlahan. Memisahkan dedaunan kering dari ranting. Meniup lembut ujung jilbab biru muda yang dikenakan Kiyada. Dua pasang mata saling beradu, tatapan yang dulu sempat menjadi candu, kini kembali bertemu.Senyuman laki-laki itu masih sama. Lesung pipi yang menawan, juga deretan geligi rapi yang menjadi penyempurna. Kiyada tertunduk, tak mampu berlama-lama menikmati keindahan yang sudah bukan haknya lagi.“Kamu beneran kuliah di sini lagi? Mau pindah jurusan atau melanjutkan yang kemarin?” Laki-laki pemilik mata teduh tersebut memberondong Kiyada dengan sederet pertanyaan.“Iya, Kak. Aku mau pindah jurusan.” Kiyada tersenyum canggung.Farhan mengangguk beberapa kali. Laki-laki itu kembali tersenyum menatap Kiyada. Sorot matanya menyiratkan sebuah kerinduan yang mendalam.“Mmm ... kalau begitu aku duluan, Kak,” pamit Kiyada, ia tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi seperti ini.&ld
[Saya titip Mas Subhan, ya. Layani dia sebaik mungkin] Pesan masuk dari Ustazah Shofia tadi pagi kembali terngiang. Sementara laki-laki di hadapan Kiyada masih menatapnya lekat. Seolah tak ingin terlewat setiap gerak gerik Kiyada. “Siapa? Kok nggak diangkat?” Farhan menaikkan satu alisnya. “Aku keluar sebentar, ya, Kak. Di sini terlalu bising,” tukas Kiyada beralasan. Beruntung keadaan cafe sedang benar-benar ramai pengunjung. Farhan mengangguk, mempersilakan Kiyada untuk menerima panggilan tersebut. Mencari tempat yang cukup sepi, Kiyada menekan tombol untuk menghubungi kembali nomor sang suami. Setelah dua kali panggilan tak terjawab, Ustaz Subhan tak lagi mengulangi panggilan telephonnya. Perasaan bersalah menyelemuti hati Kiyada. Ia merasa seperti istri yang sedang selingkuh secara sembunyi-sembunyi. “Assalamualaikum,” ucap Kiyada lirih begitu dering pertama lansung tersambung. “Waalaikumsalam. Kamu masih belu