Home / Romansa / Madu Untuk Suamiku / Ketika Hati Harus Berbagi

Share

Ketika Hati Harus Berbagi

Author: Anis Hidayah
last update Last Updated: 2022-03-07 16:50:49

Setelah menutup panggilan telephon dari sang suami, nyatanya Shofia tak bisa lekas terpejam. Bayangan bagaimana suaminya akan melakukan ritual malam pertama dengan Kiyada terus saja terlintas.

Kini kehangatan juga kelembutan itu harus dibagi dengan wanita lain. Batinnya bertanya-tanya akankah Ustaz Subhan juga melontarkan kata cinta juga rayuan maut pada istri mudanya? 

Shofia merutuki dirinya sendiri, bukankah ia menginginkan lahirnya keturunan dari madunya? Namun, nyatanya ia belum benar-benar siap membagi kehangatan yang selalu diberikan sang suami dengan wanita selain dirinya.

Jenuh dengan segala kecamuk batinnya, Shofia memutuskan untuk mengambil wudu. Menumpahkan segala resah juga gundah kepada Sang Pencipta adalah pilihan terbaik. Tersedu seorang diri di atas sajadah, berdoa agar diberikan kekuatan melewati hari-hari berikutnya.

Biasanya setelah salat tahajud Shofia akan tidur kembali, lalu saat azan subuh berkumandang Ustaz Subhan akan membangunkannya dengan kecupan lembut. Namun, mulai saat ini Shofia harus terbiasa tanpa itu semua. Apalagi esok ia juga akan ke Singapura menemani ibu Kiyada.

Entah apa yang sesungguhnya diinginkan hatinya. Di satu sisi ia ingin memberikan ruang kepada Kiyada dan Ustaz Subhan, dengan cara pergi ke Singapur menemani Ibu Kiyada yang tengah berobat. Namun, sisi lain dari egonya tak ingin jika hati sang suami berpaling.

“Jihan ....” Shofia mengetuk pintu kamar yang ditempati adiknya saat azan Subuh telah berkumandang.

Tak ada jawaban dari dalam. Shofia sangat hapal kebiasaan Jihan yang sangat sulit jika dibangunkan untuk salat Subuh. Malam ini abah sengaja meminta putri bungsunya tersebut untuk menemani sang kakak yang tengah sendirian di rumah.

Merasa panggilannya diabaikan, Shofia membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Tampak Jihan masih nyaman di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu bahkan tak menyadari kehadiran Shofia.

“Jihan!” Shofia mengguncang bahu adiknya.

“Hmm ... masih ngantuk,” gumam Jihan seraya mengubah posisi tidurnya.

“Sudah Subuh, Dek. Cepat bangun gih.” Terpaksa Shofia menarik kedua tangan Jihan untuk bangkit dari tidur nyeyaknya.

Perlahan Jihan mengerjapkan kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya lampu yang ternyata telah dinyalakan oleh kakaknya. Mata Jihan kembali memicing melihat muka sembab Shofia.

“Kakak nangis langi?” Jihan mendengus sebal sekaligus merasa begitu prihatin dengan jalan hidup yang dipilih kakaknya.

“Kakak Cuma kelilipan tadi, cepat wudu sana mataharinya sudah hampir terbit,” elak Shofia.

“Sudah ketangkep basah, masih saja ngeles. Katanya bohong itu dosa.” Jihan menggerutu seraya bangkit dari ranjang. Ia melirik sinis Shofia yang tengah geleng-geleng melihat tingkahnya.

Setelah Jihan memasuki kamar mandi, Shofia kembali ke kamarnya. Mengecek kembali barang-barang yang akan ia bawa ke Singapura. Memastikan tak ada satu pun yang tertinggal, termasuk salah satu baju koko sang suami yang akan dijadikan sebagai penawar rindu.

Shofia memandang lekat foto pernikahannya yang terpampang di dinding kamar. Mengingat awal perjalanan kisah asmaranya bersama sosok yang kini bergelar suami. Ia yang dulu menilai Ustaz Subhan sok alim dan sok agamis, kini justru terperangkap dalam jerat cinta laki-laki itu.

Masih terekam jelas dalam memori. Bagaimana ia dulu terpaksa menuruti keinginan abah, yang memintanya untuk menikah dengan Ustaz lulusan salah satu pesantren besar di Jawa itu. Padahal kala itu Shofia memiliki hubungan spesial dengan salah satu dosen muda di kampusnya. Laki-laki tampan lulusan Oxford Univesity.

Ternyata Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki yang begitu penyabar juga penyayang. Bahkan tak pernah bosan membantunya mendalami ilmu agama. Hingga ia menjadi salah satu motivator muslimah seperti saat ini. 

Sikap suaminya yang begitu penyayang, kini justru membuat Shofia dilanda kekhawatiran. Apakah Ustaz Subhan juga melakukan hal yang sama pada Kiyada?

“I miss you.”

Shofia tersentak saat merasakan sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Embusan napas laki-laki itu menerpa sisi kulit wajahnya. Sejurus kemudian ia rasakan kecupan bertubi-tubi di pipinya.

“Mas, kok masih pagi sudah kesini?” Shofia berbalik menyisir penampilan sang suami dari atas sampai bawah, dan ia bernapas lega saat mendapati rambut suaminya tampak kering.

Katakanlah Shofia wanita egois. Ia sendiri yang menyuruh Ustaz Subhan menikah lagi, tapi justru tak rela jika mereka melakukan hubungan suami istri. Ada perasaan mebuncah saat sang suami datang menemuinya sepagi ini. Seolah mereka telah terpisah dalam waktu yang sangat lama.

“Aku mau mengantar istri ke bandara,” jawab Ustaz Subhan ringan. Tangannya masih memeluk erat pinggang sang istri.

“Padahal aku sudah meminta Jihan buat nganterin ke bandara.”

“Suami kamu yang lebih berhak mengantar ke sana. Lagian kenapa sih ngotot banget ingin menemani ibunya Kiyada berobat? Kan di sana sudah ada sahabat kamu yang menjaga.”

Shofia diam tak menjawab, wanita justru mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami. Sedikit berjinjit, Shofia mengecup singkat bibir Ustaz Subhan. Saat hendak berbalik Ustaz Subhan justru menahan pergerakannya.

“Masih pagi kamu sudah berani menggoda.” Ustaz Subhan memicingkan mata.

“Bukan menggoda, itu sebagai ucapan selamat pagi.” Shofia tersenyum samar. Dalam hati ia bertanya-tanya tidakkah laki-laki itu sudah mendapatkan jatah dari istri pertamanya semalam?

“Keberangkatan kamu masih lama?” tanya Ustaz Subhan lirih di telinga sang istri.

“Beberapa jam lagi.” Shofia tertawa mengejek. Ia paham apa yang diinginkan suaminya.

Sejurus kemudian Shofia berhasil melepaskan diri. Beruntung semua barang bawaanya telah tertata rapi. Batinnya terus saja berkecamuk, jika ia di luar negri apa yang akan terjadi dengan hubungan suaminya dengan Kiyada? Mungkinkah ia akan kehilangan separuh atau bahkan seluruh cinta sang suami?

Shofia mematut diri di depan cermin, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan karena ulah sang suami. Tak lupa memoles kembali bibirnya agar tak terlihat pucat. Memandang penampilannya yang sudah cukup sempurna, wanita itu segera berbalik dan mendapati Ustaz Subhan tengah menatapnya intens.

“Kenapa, Mas? Ada yang salah dengan penampilan aku?”

“Cantik. Kamu sampai berapa hari di sana?”

“Nanti kalau sudah mau pulang aku kabarin, ya?” Tak ingin mendapat pertanyaan lebih dalam, Shofia segera meraih koper juga tasnya. 

Shofia berjalan keluar kamar diikuti Ustaz Subhan dengan mimik sedikit kecewa. Laki-laki yang kini telah memiliki dua istri tersebut sesungguhnya tak rela ditinggal pergi jauh oleh istri pertamnya.

“Jihan, kakak diantar Mas Subhan. Kamu ikut atau di sini saja?” Shofia berusaha berkata selembut mungkin saat melihat wajah tak acuh adiknya di ruang keluarga. Sepertinya gadis itu telah mengetahui terlebih dulu kedatangan suaminya.

“Mau nonton TV,” jawab Jihan datar.

Shofia mengembuskan napas kasar seraya melirik suaminya. Sepasang suami istri itu telah hapal bagaimana sikap Jihan yang manja juga ceplas ceplos. Jihan tak pernah menutupi rasa tidak sukanya pada seseorang ataupun sesuatu. Sangat berbanding terbalik dengan Shofia yang terbiasa memendam.

Sesampai di parkiran, tanpa ragu Shofia segera beranjak ke sisi mobil untuk membuka pintu bagian depan. Ekspresinya begitu terkejut mendapati seorang wanita telah duduk di sana. Antara kesal, cemburu, juga kecewa bercampur menjadi satu dalam diri Shofia.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu Untuk Suamiku   Bidadari Surga

    Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora

  • Madu Untuk Suamiku   Terjebak Rasa

    Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Mampu Menolak Rasa

    Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan

  • Madu Untuk Suamiku   Harapan dan Doa

    24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h

  • Madu Untuk Suamiku   Angan yang Sirna

    Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Lagi Sama

    Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status