Share

Ketika Hati Harus Berbagi

Setelah menutup panggilan telephon dari sang suami, nyatanya Shofia tak bisa lekas terpejam. Bayangan bagaimana suaminya akan melakukan ritual malam pertama dengan Kiyada terus saja terlintas.

Kini kehangatan juga kelembutan itu harus dibagi dengan wanita lain. Batinnya bertanya-tanya akankah Ustaz Subhan juga melontarkan kata cinta juga rayuan maut pada istri mudanya? 

Shofia merutuki dirinya sendiri, bukankah ia menginginkan lahirnya keturunan dari madunya? Namun, nyatanya ia belum benar-benar siap membagi kehangatan yang selalu diberikan sang suami dengan wanita selain dirinya.

Jenuh dengan segala kecamuk batinnya, Shofia memutuskan untuk mengambil wudu. Menumpahkan segala resah juga gundah kepada Sang Pencipta adalah pilihan terbaik. Tersedu seorang diri di atas sajadah, berdoa agar diberikan kekuatan melewati hari-hari berikutnya.

Biasanya setelah salat tahajud Shofia akan tidur kembali, lalu saat azan subuh berkumandang Ustaz Subhan akan membangunkannya dengan kecupan lembut. Namun, mulai saat ini Shofia harus terbiasa tanpa itu semua. Apalagi esok ia juga akan ke Singapura menemani ibu Kiyada.

Entah apa yang sesungguhnya diinginkan hatinya. Di satu sisi ia ingin memberikan ruang kepada Kiyada dan Ustaz Subhan, dengan cara pergi ke Singapur menemani Ibu Kiyada yang tengah berobat. Namun, sisi lain dari egonya tak ingin jika hati sang suami berpaling.

“Jihan ....” Shofia mengetuk pintu kamar yang ditempati adiknya saat azan Subuh telah berkumandang.

Tak ada jawaban dari dalam. Shofia sangat hapal kebiasaan Jihan yang sangat sulit jika dibangunkan untuk salat Subuh. Malam ini abah sengaja meminta putri bungsunya tersebut untuk menemani sang kakak yang tengah sendirian di rumah.

Merasa panggilannya diabaikan, Shofia membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Tampak Jihan masih nyaman di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu bahkan tak menyadari kehadiran Shofia.

“Jihan!” Shofia mengguncang bahu adiknya.

“Hmm ... masih ngantuk,” gumam Jihan seraya mengubah posisi tidurnya.

“Sudah Subuh, Dek. Cepat bangun gih.” Terpaksa Shofia menarik kedua tangan Jihan untuk bangkit dari tidur nyeyaknya.

Perlahan Jihan mengerjapkan kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya lampu yang ternyata telah dinyalakan oleh kakaknya. Mata Jihan kembali memicing melihat muka sembab Shofia.

“Kakak nangis langi?” Jihan mendengus sebal sekaligus merasa begitu prihatin dengan jalan hidup yang dipilih kakaknya.

“Kakak Cuma kelilipan tadi, cepat wudu sana mataharinya sudah hampir terbit,” elak Shofia.

“Sudah ketangkep basah, masih saja ngeles. Katanya bohong itu dosa.” Jihan menggerutu seraya bangkit dari ranjang. Ia melirik sinis Shofia yang tengah geleng-geleng melihat tingkahnya.

Setelah Jihan memasuki kamar mandi, Shofia kembali ke kamarnya. Mengecek kembali barang-barang yang akan ia bawa ke Singapura. Memastikan tak ada satu pun yang tertinggal, termasuk salah satu baju koko sang suami yang akan dijadikan sebagai penawar rindu.

Shofia memandang lekat foto pernikahannya yang terpampang di dinding kamar. Mengingat awal perjalanan kisah asmaranya bersama sosok yang kini bergelar suami. Ia yang dulu menilai Ustaz Subhan sok alim dan sok agamis, kini justru terperangkap dalam jerat cinta laki-laki itu.

Masih terekam jelas dalam memori. Bagaimana ia dulu terpaksa menuruti keinginan abah, yang memintanya untuk menikah dengan Ustaz lulusan salah satu pesantren besar di Jawa itu. Padahal kala itu Shofia memiliki hubungan spesial dengan salah satu dosen muda di kampusnya. Laki-laki tampan lulusan Oxford Univesity.

Ternyata Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki yang begitu penyabar juga penyayang. Bahkan tak pernah bosan membantunya mendalami ilmu agama. Hingga ia menjadi salah satu motivator muslimah seperti saat ini. 

Sikap suaminya yang begitu penyayang, kini justru membuat Shofia dilanda kekhawatiran. Apakah Ustaz Subhan juga melakukan hal yang sama pada Kiyada?

“I miss you.”

Shofia tersentak saat merasakan sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Embusan napas laki-laki itu menerpa sisi kulit wajahnya. Sejurus kemudian ia rasakan kecupan bertubi-tubi di pipinya.

“Mas, kok masih pagi sudah kesini?” Shofia berbalik menyisir penampilan sang suami dari atas sampai bawah, dan ia bernapas lega saat mendapati rambut suaminya tampak kering.

Katakanlah Shofia wanita egois. Ia sendiri yang menyuruh Ustaz Subhan menikah lagi, tapi justru tak rela jika mereka melakukan hubungan suami istri. Ada perasaan mebuncah saat sang suami datang menemuinya sepagi ini. Seolah mereka telah terpisah dalam waktu yang sangat lama.

“Aku mau mengantar istri ke bandara,” jawab Ustaz Subhan ringan. Tangannya masih memeluk erat pinggang sang istri.

“Padahal aku sudah meminta Jihan buat nganterin ke bandara.”

“Suami kamu yang lebih berhak mengantar ke sana. Lagian kenapa sih ngotot banget ingin menemani ibunya Kiyada berobat? Kan di sana sudah ada sahabat kamu yang menjaga.”

Shofia diam tak menjawab, wanita justru mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami. Sedikit berjinjit, Shofia mengecup singkat bibir Ustaz Subhan. Saat hendak berbalik Ustaz Subhan justru menahan pergerakannya.

“Masih pagi kamu sudah berani menggoda.” Ustaz Subhan memicingkan mata.

“Bukan menggoda, itu sebagai ucapan selamat pagi.” Shofia tersenyum samar. Dalam hati ia bertanya-tanya tidakkah laki-laki itu sudah mendapatkan jatah dari istri pertamanya semalam?

“Keberangkatan kamu masih lama?” tanya Ustaz Subhan lirih di telinga sang istri.

“Beberapa jam lagi.” Shofia tertawa mengejek. Ia paham apa yang diinginkan suaminya.

Sejurus kemudian Shofia berhasil melepaskan diri. Beruntung semua barang bawaanya telah tertata rapi. Batinnya terus saja berkecamuk, jika ia di luar negri apa yang akan terjadi dengan hubungan suaminya dengan Kiyada? Mungkinkah ia akan kehilangan separuh atau bahkan seluruh cinta sang suami?

Shofia mematut diri di depan cermin, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan karena ulah sang suami. Tak lupa memoles kembali bibirnya agar tak terlihat pucat. Memandang penampilannya yang sudah cukup sempurna, wanita itu segera berbalik dan mendapati Ustaz Subhan tengah menatapnya intens.

“Kenapa, Mas? Ada yang salah dengan penampilan aku?”

“Cantik. Kamu sampai berapa hari di sana?”

“Nanti kalau sudah mau pulang aku kabarin, ya?” Tak ingin mendapat pertanyaan lebih dalam, Shofia segera meraih koper juga tasnya. 

Shofia berjalan keluar kamar diikuti Ustaz Subhan dengan mimik sedikit kecewa. Laki-laki yang kini telah memiliki dua istri tersebut sesungguhnya tak rela ditinggal pergi jauh oleh istri pertamnya.

“Jihan, kakak diantar Mas Subhan. Kamu ikut atau di sini saja?” Shofia berusaha berkata selembut mungkin saat melihat wajah tak acuh adiknya di ruang keluarga. Sepertinya gadis itu telah mengetahui terlebih dulu kedatangan suaminya.

“Mau nonton TV,” jawab Jihan datar.

Shofia mengembuskan napas kasar seraya melirik suaminya. Sepasang suami istri itu telah hapal bagaimana sikap Jihan yang manja juga ceplas ceplos. Jihan tak pernah menutupi rasa tidak sukanya pada seseorang ataupun sesuatu. Sangat berbanding terbalik dengan Shofia yang terbiasa memendam.

Sesampai di parkiran, tanpa ragu Shofia segera beranjak ke sisi mobil untuk membuka pintu bagian depan. Ekspresinya begitu terkejut mendapati seorang wanita telah duduk di sana. Antara kesal, cemburu, juga kecewa bercampur menjadi satu dalam diri Shofia.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status