Beranda / Romansa / Madu Untuk Suamiku / Semua Tak Lagi Sama

Share

Semua Tak Lagi Sama

Penulis: Anis Hidayah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-07 16:56:32

“Maaf, Ustazah, saya pindah ke belakang.” Kiyada berucap lirih dengan raut penuh rasa bersalah.

Shofia mengangguk canggung. Ia sedikit kesal dengan sang suami, karena tak mengatakan jika membawa serta Kiyada ke rumah mereka. Padahal ia ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya hanya berdua, sebelum mereka terpisah dalam waktu yang cukup lama.

“Kamu tidak masuk ke dalam, Ki?” Ustaz Subhan berusaha memecah ketegangan yang sempat tercipta antara kedua istrinya.

“Tidak, Ustaz, saya memang sengaja menunggu di mobil,” jawab Kiyada ketika sudah menemukan posisi ternyamannya di kabin belakang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa bersalah.

Ustaz Subhan dapat menangkap dengan jelas perubahan sikap Shofia yang mendadak dingin, tidak seceria dan sehangat saat tadi mereka di dalam kamar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, saat pertama kalinya membawa dua istri dalam satu mobil.

Suasana hening menyelimuti ketiga orang yang berada dalam satu kendaraan tersebut. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Status baru telah membentangkan jarak antara mereka. Padahal sebelumnya Shofia begitu akrab dan peduli terhadap Kiyada.

Kini setelah Kiyada resmi menjadi madunya, entah mengapa Shofia seolah belum bisa mengendalikan perasaannya. Sebagai seorang wanita biasa, nyatanya Shofia masih memiliki ego kecemburuan yang cukup tinggi.

“Kiyada hari ini mau daftar masuk perguruan tinggi,” ucap Ustaz Subhan, seolah mengerti kegundahan Shofia.

“Kamu mau ikut ke bandara atau langsung turun di kampus, Ki?” Ustaz tampan tersebut beralih berbicara pada Kiyada, mendapati ekpresi istri pertamanya yang masih datar.

“Saya langsung turun di depan pintu gerbang kampus saja, Ustaz.” Kiyada yang mulai merasakan atmosfer berbeda, ia memilih untuk menjauh dari dua orang di hadapannya.

Kiyada begitu lunglai setelah pajero hitam tersebut perlahan menghilang dari pandangan. Ia menyesali atas kebodohannya, mengapa tadi dengan polosnya mau saja diajak berangkat bareng oleh Ustaz Subhan.

Tadi Ustaz Subhan memang turun terlebih dulu, karena ingin buang air kecil. Bukan berniat untuk tidak masuk ke rumah Ustaz Subhan dan Ustazah Shofia. Hanya saja tadi saat hendak membuka pintu mobil, mata Kiyada tak sengaja menangkap bayangan Jihan tengah menyiram bunga di teras. Kiyada masih ingat betul bagaimana pandangan menghujam Jihan saat hari pernikahannya kemarin.

Sedari awal Kiyada sudah menyadari jika adik dari Ustazah Shofia tak pernah menyetujui pernikahannya dengan Ustaz Subhan. Usia Jihan tiga tahun lebih tua dari dirinya. Mereka pernah berada dalam satu sekolah ketika masih tingkat SD. Namun, hingga kini belum pernah terjadi perbincangan panjang antara keduanya.

Gedung hijau di depan mata kembali mengobarkan semangat Kiyada. Ia menyemangati diri untuk mengesampingkan urusan hati. Ada ibu yang harus dibahagiakan, sosok yang tiada henti mendoakan segala kebaikannya.

Dengan langkah tegap Kiyada menuju ruang administrasi. Sebenarnya ia pernah terpilih ketika mendaftar jalur beasiswa prestasi dua tahun lalu. Namun, kondisi ibu yang sempat terkena stroke mengharuskan Kiyada melepas mimpinya untuk sementara.

Kini untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, Kiyada kembali menjejakkan kakinya di tempat ini. Salah satu kampus favorit di Kepulauan Riau. Dengan status pernikahannya, tentu Kiyada tak bisa lagi mendaftar beasiswa jalur prestasi. 

***

“Kamu marah, karena aku mengajak Kiyada untuk berangkat bersama kita?” Ustaz Subhan memberanikan diri bertanya saat melihat istrinya yang masih terdiam seribu bahasa.

“Kenapa harus marah? Dia sekarang kan juga istrinya Mas,” jawab Shofia ringan.

Wanita dengan gamis berwarna pastel juga hijab yang senada tersebut memandang lurus ke depan. Membuat laki-laki disampingnya mengembuskan napas kasar beberapa kali. Menghadapi satu wanita saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling, apalagi jika dua sekaligus.

“Kalau kamu merasa tersakiti, aku akan menjatuhkan talak padanya sekarang juga,” ucap Ustaz Subhan pada akhirnya. Pandangannya masih fokus ke depan, dengan tangan yang mencengkram setir begitu erat.

Shofia mendesah panjang. Ia baru sadar, jika mungkin sikapnya kini terkesan kekanak-kanakan. Dirinya yang meminta sang suami menikah lagi, tapi saat itu benar-benar terjadi justru emosinya menjadi tidak stabil.

Andaikan dokter tak pernah memberikan vonis itu padanya, sampai kapan pun Shofia tak akan pernah rela berbagi suami. Namun, ia tak boleh egois dengan hanya memikirkan  hatinya semata.

Telephon dari ibu mertua yang berkali-kali menanyakan perihal keturunan, membuat Shofia nekat melakukan semua ini. Meski harus mendapat tentangan dari pihak abah juga keluarga besarnya sendiri, tapi Shofia merasa inilah jalan keluar terbaik. Apalagi jika memikirkan kemungkinan penyakit yang ia derita. Sewaktu-waktu bisa saja Allah mengambil nyawanya, sementara sang suami harus berjuang seorang diri.

“Aku hanya belum terbiasa, Mas,” kilah Shofia pada akhirnya. Wanita itu berpaling menatap jendela di samping kirinya.

“Aku akan membiayai seluruh pengobatan ibu Kiyada tanpa harus menikahi putrinya,” tandas Ustaz Subhan dengan nada lebih tinggi.

Bukan berniat membentak Shofia, hanya saja Ustaz Subhan merasa geram dengan tingkah sang istri yang sulit ditebak. Dari awal ia sudah bersikeras menolak permintaan Shofia untuk mencari istri lagi. Anak juga bukanlah hal wajib dalam pernikahan. Cintanya begitu besar pada Shofia, dan ia tak ingin berbagi.

Ibu memang kerap menanyakan perihal keturunan, tapi Ustaz Subhan hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Masih ada As’ad adiknya yang sebentar lagi akan menikah. Jadi ia bukan satu-satunya harapan dalam keluarga.

“Jangan ceraikan Kiyada, Mas. Dia yang akan merawat dan melayani kamu jika aku tidak ada,” papar Shofia tanpa mengalihkan pandangan dari jendela samping kirinya.

“Maksud kamu apa?” Ustaz Subhan sedikit mengerem mobil yang dikendarainya, demi menuntut penjelasan dari ucapan sang istri.

“Ya, kan aku beberapa hari kedepan nggak bisa merawat Mas Subhan.” Shofia menatap lembut laki-laki di sampingnya seraya tersenyum lebar.

“Sebentar lagi aku kita akan berpisah, Mas, dan aku nggak mau kita berdebat seperti ini,” imbuh Shofia dengan nada lembut seperti biasanya.

Pajero hitam tersebut melaju dengan kecepatan sedang, dengan suasana yang kembali hening. Ustaz Subhan tak ingin lagi menimpali ucapan istrinya yang selalu membahas tentang perpisahan.

Jika tak ingat kewajiban pada istri ke dua yang baru dinikahinya kemarin, pasti laki-laki itu akan menemani Shofia ke Singapura. Namun, ia tak boleh egois. Bagaimanapun janjinya telah terucap kepada Allah untuk menjadi imam bagi Kiyada.

“Mas Subhan rida kan aku pergi ke sana?” Kali ini Shofia mengusap lembut pundak sang suami.

“Kamu mau coba merayuku?” Ustaz Subhan melirik Shofia sekilas.

Shofia mendesah pasrah. Sepertinya sang suami benar-benar marah. Biasanya sedikit saja sentuhan lembut yang ia berikan akan membuat suaminya kembali tersenyum hangat. Namun, kali ini dirinya benar-benar diabaikan.

“Kalau aku tidak mengizinkan, apakah tiket yang sudah kamu beli akan dibatalkan dengan suka rela?” Ustaz Subhan menoleh sekilas pada Shofia.

Shofia tertunduk dalam. Bukan masalah harga tiket yang memang tidak bisa dibilang murah. Lebih dari itu. Jika ia tetap berada di sini, maka akan sulit baginya untuk berbagi hati. Lagipula ia juga ingin memberikan kesempatan pada Kiyada juga suaminya untuk mengenal lebih dekat. 

Walau Shofia juga tidak yakin, jika nantinya Ustaz Subhan benar-benar jatuh hati pada istri barunya apakah ia akan baik-baik saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu Untuk Suamiku   Bidadari Surga

    Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora

  • Madu Untuk Suamiku   Terjebak Rasa

    Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Mampu Menolak Rasa

    Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan

  • Madu Untuk Suamiku   Harapan dan Doa

    24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h

  • Madu Untuk Suamiku   Angan yang Sirna

    Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan

  • Madu Untuk Suamiku   Tak Lagi Sama

    Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m

  • Madu Untuk Suamiku   Gelisah Menanti Kabar

    Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti

  • Madu Untuk Suamiku   Kembali Merajut Kedekatan

    Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj

  • Madu Untuk Suamiku   Tertampar Pertanyaan

    Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status