Share

Semua Tak Lagi Sama

“Maaf, Ustazah, saya pindah ke belakang.” Kiyada berucap lirih dengan raut penuh rasa bersalah.

Shofia mengangguk canggung. Ia sedikit kesal dengan sang suami, karena tak mengatakan jika membawa serta Kiyada ke rumah mereka. Padahal ia ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya hanya berdua, sebelum mereka terpisah dalam waktu yang cukup lama.

“Kamu tidak masuk ke dalam, Ki?” Ustaz Subhan berusaha memecah ketegangan yang sempat tercipta antara kedua istrinya.

“Tidak, Ustaz, saya memang sengaja menunggu di mobil,” jawab Kiyada ketika sudah menemukan posisi ternyamannya di kabin belakang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa bersalah.

Ustaz Subhan dapat menangkap dengan jelas perubahan sikap Shofia yang mendadak dingin, tidak seceria dan sehangat saat tadi mereka di dalam kamar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, saat pertama kalinya membawa dua istri dalam satu mobil.

Suasana hening menyelimuti ketiga orang yang berada dalam satu kendaraan tersebut. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Status baru telah membentangkan jarak antara mereka. Padahal sebelumnya Shofia begitu akrab dan peduli terhadap Kiyada.

Kini setelah Kiyada resmi menjadi madunya, entah mengapa Shofia seolah belum bisa mengendalikan perasaannya. Sebagai seorang wanita biasa, nyatanya Shofia masih memiliki ego kecemburuan yang cukup tinggi.

“Kiyada hari ini mau daftar masuk perguruan tinggi,” ucap Ustaz Subhan, seolah mengerti kegundahan Shofia.

“Kamu mau ikut ke bandara atau langsung turun di kampus, Ki?” Ustaz tampan tersebut beralih berbicara pada Kiyada, mendapati ekpresi istri pertamanya yang masih datar.

“Saya langsung turun di depan pintu gerbang kampus saja, Ustaz.” Kiyada yang mulai merasakan atmosfer berbeda, ia memilih untuk menjauh dari dua orang di hadapannya.

Kiyada begitu lunglai setelah pajero hitam tersebut perlahan menghilang dari pandangan. Ia menyesali atas kebodohannya, mengapa tadi dengan polosnya mau saja diajak berangkat bareng oleh Ustaz Subhan.

Tadi Ustaz Subhan memang turun terlebih dulu, karena ingin buang air kecil. Bukan berniat untuk tidak masuk ke rumah Ustaz Subhan dan Ustazah Shofia. Hanya saja tadi saat hendak membuka pintu mobil, mata Kiyada tak sengaja menangkap bayangan Jihan tengah menyiram bunga di teras. Kiyada masih ingat betul bagaimana pandangan menghujam Jihan saat hari pernikahannya kemarin.

Sedari awal Kiyada sudah menyadari jika adik dari Ustazah Shofia tak pernah menyetujui pernikahannya dengan Ustaz Subhan. Usia Jihan tiga tahun lebih tua dari dirinya. Mereka pernah berada dalam satu sekolah ketika masih tingkat SD. Namun, hingga kini belum pernah terjadi perbincangan panjang antara keduanya.

Gedung hijau di depan mata kembali mengobarkan semangat Kiyada. Ia menyemangati diri untuk mengesampingkan urusan hati. Ada ibu yang harus dibahagiakan, sosok yang tiada henti mendoakan segala kebaikannya.

Dengan langkah tegap Kiyada menuju ruang administrasi. Sebenarnya ia pernah terpilih ketika mendaftar jalur beasiswa prestasi dua tahun lalu. Namun, kondisi ibu yang sempat terkena stroke mengharuskan Kiyada melepas mimpinya untuk sementara.

Kini untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, Kiyada kembali menjejakkan kakinya di tempat ini. Salah satu kampus favorit di Kepulauan Riau. Dengan status pernikahannya, tentu Kiyada tak bisa lagi mendaftar beasiswa jalur prestasi. 

***

“Kamu marah, karena aku mengajak Kiyada untuk berangkat bersama kita?” Ustaz Subhan memberanikan diri bertanya saat melihat istrinya yang masih terdiam seribu bahasa.

“Kenapa harus marah? Dia sekarang kan juga istrinya Mas,” jawab Shofia ringan.

Wanita dengan gamis berwarna pastel juga hijab yang senada tersebut memandang lurus ke depan. Membuat laki-laki disampingnya mengembuskan napas kasar beberapa kali. Menghadapi satu wanita saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling, apalagi jika dua sekaligus.

“Kalau kamu merasa tersakiti, aku akan menjatuhkan talak padanya sekarang juga,” ucap Ustaz Subhan pada akhirnya. Pandangannya masih fokus ke depan, dengan tangan yang mencengkram setir begitu erat.

Shofia mendesah panjang. Ia baru sadar, jika mungkin sikapnya kini terkesan kekanak-kanakan. Dirinya yang meminta sang suami menikah lagi, tapi saat itu benar-benar terjadi justru emosinya menjadi tidak stabil.

Andaikan dokter tak pernah memberikan vonis itu padanya, sampai kapan pun Shofia tak akan pernah rela berbagi suami. Namun, ia tak boleh egois dengan hanya memikirkan  hatinya semata.

Telephon dari ibu mertua yang berkali-kali menanyakan perihal keturunan, membuat Shofia nekat melakukan semua ini. Meski harus mendapat tentangan dari pihak abah juga keluarga besarnya sendiri, tapi Shofia merasa inilah jalan keluar terbaik. Apalagi jika memikirkan kemungkinan penyakit yang ia derita. Sewaktu-waktu bisa saja Allah mengambil nyawanya, sementara sang suami harus berjuang seorang diri.

“Aku hanya belum terbiasa, Mas,” kilah Shofia pada akhirnya. Wanita itu berpaling menatap jendela di samping kirinya.

“Aku akan membiayai seluruh pengobatan ibu Kiyada tanpa harus menikahi putrinya,” tandas Ustaz Subhan dengan nada lebih tinggi.

Bukan berniat membentak Shofia, hanya saja Ustaz Subhan merasa geram dengan tingkah sang istri yang sulit ditebak. Dari awal ia sudah bersikeras menolak permintaan Shofia untuk mencari istri lagi. Anak juga bukanlah hal wajib dalam pernikahan. Cintanya begitu besar pada Shofia, dan ia tak ingin berbagi.

Ibu memang kerap menanyakan perihal keturunan, tapi Ustaz Subhan hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Masih ada As’ad adiknya yang sebentar lagi akan menikah. Jadi ia bukan satu-satunya harapan dalam keluarga.

“Jangan ceraikan Kiyada, Mas. Dia yang akan merawat dan melayani kamu jika aku tidak ada,” papar Shofia tanpa mengalihkan pandangan dari jendela samping kirinya.

“Maksud kamu apa?” Ustaz Subhan sedikit mengerem mobil yang dikendarainya, demi menuntut penjelasan dari ucapan sang istri.

“Ya, kan aku beberapa hari kedepan nggak bisa merawat Mas Subhan.” Shofia menatap lembut laki-laki di sampingnya seraya tersenyum lebar.

“Sebentar lagi aku kita akan berpisah, Mas, dan aku nggak mau kita berdebat seperti ini,” imbuh Shofia dengan nada lembut seperti biasanya.

Pajero hitam tersebut melaju dengan kecepatan sedang, dengan suasana yang kembali hening. Ustaz Subhan tak ingin lagi menimpali ucapan istrinya yang selalu membahas tentang perpisahan.

Jika tak ingat kewajiban pada istri ke dua yang baru dinikahinya kemarin, pasti laki-laki itu akan menemani Shofia ke Singapura. Namun, ia tak boleh egois. Bagaimanapun janjinya telah terucap kepada Allah untuk menjadi imam bagi Kiyada.

“Mas Subhan rida kan aku pergi ke sana?” Kali ini Shofia mengusap lembut pundak sang suami.

“Kamu mau coba merayuku?” Ustaz Subhan melirik Shofia sekilas.

Shofia mendesah pasrah. Sepertinya sang suami benar-benar marah. Biasanya sedikit saja sentuhan lembut yang ia berikan akan membuat suaminya kembali tersenyum hangat. Namun, kali ini dirinya benar-benar diabaikan.

“Kalau aku tidak mengizinkan, apakah tiket yang sudah kamu beli akan dibatalkan dengan suka rela?” Ustaz Subhan menoleh sekilas pada Shofia.

Shofia tertunduk dalam. Bukan masalah harga tiket yang memang tidak bisa dibilang murah. Lebih dari itu. Jika ia tetap berada di sini, maka akan sulit baginya untuk berbagi hati. Lagipula ia juga ingin memberikan kesempatan pada Kiyada juga suaminya untuk mengenal lebih dekat. 

Walau Shofia juga tidak yakin, jika nantinya Ustaz Subhan benar-benar jatuh hati pada istri barunya apakah ia akan baik-baik saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status