“Bagaimana menjalani peran sebagai suami dengan dua istri?” tanya Kyai Zuhair dengan suara berat pada sang menantu.
Tak ada siapapun di ruang keluarga kediaman abah. Para santri tengah disibukkan dengan persiapan acara haflatul imtihan. Wajah Ustaz Subhan tertunduk dalam, tak memiliki keberanian untuk mengucapkan sepatah kata pun di hadapan sang guru sekaligus ayah mertuanya.
Abah Zuhair menarik napas panjang. “Waktu usia Shofia menginjak tujuh tahun, saya sempat berniat menikah lagi dengan salah satu putri Kyai tersohor di Jawa Timur. Kyai itu sendiri yang meminta saya untuk menikahi putrinya, meski tahu saya telah memiliki keluarga di sini.”
Ustaz Subhan sempat tersentak mendengar pengakuan Abah. Namun, ia tetap terdiam dalam posisi duduknya, menunggu lanjutan dari kisah Abah.
“Perempuan itu baru satu tahun ditiggal oleh suaminya. Dua anak yang masih balita sangat membutuhkan sosok ayah yang mampu menafkahi dan melindungi.&
Keluar dari ruang keluarga Abah, Ustaz Subhan tertunduk lesu. Entah mengapa kini ia seolah menjelma menjadi laki-laki egois. Tidak mungkin ia menceraikan Shofia, tetapi sudut hatinya juga tak rela melepaskan Kiyada begitu saja.Laki-laki dengan rahang tegas itu beranjak ke kamar Shofia. Malam ini sang istri sengaja ingin tidur di rumah masa kecilnya. Sekaligus menemani abah yang masih belum cukup stabil kondisnya.Dibukanya perlahan pintu jati bercat coklat tersebut. Tampak di dalam Shofia telah tertidur pulas menyelami alam mimpi. Ustaz Subhan berusaha tak menimbulkan banyak gerakan saat naik ke ranjang. Wajah ayu sang istri menunjukkan kelelahan, ia tak ingin Shofia terusik karenanya.Kelopak mata Ustaz Subhan masih enggan tepejam. Meski arah jarum jam telah menunjuk di angka 12, tetapi ia belum merasakan kantuk sama sekali. Entah mengapa kini ia justru terbayang wajah Kiyada.“Maaf, Ustaz, jika masakan saya kurang lezat.” Kiyada tertunduk l
Berada di tengah taman yang begitu indah, Ustaz Subhan tengah duduk seorang diri di bangku panjang. Di ujung jalan terdapat bangunan megah yang menjulang. Seorang wanita dengan gamis serba putih berjalan bersama anak kecil yang begitu menggemaskan.“Ustaz.” Suara renyah Kiyada menghentikan langkah Ustaz Subhan yang hendak menemui bocah kecil di depan bangunan tersebut.Ketika Ustaz Subhan membalikkan badan, di belakangnya tampak Kiyada dengan wajah sedikit sembab.“Kiyada?” Pertanyaan itu hanya tertahan di kerongkongan. Sebab pada kenyataannya saat Ustaz Subhan membuka mata, yang berada di depannya adalah Shofia.Setelah mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya dengan retina, barulah Ustaz Subhan sadar jika yang dialaminya tadi hanyalah mimpi belaka.Beruntung bibirnya belum sempat menyebutkan nama Kiyada. Jika sampai kelepasan, pastilah akan membuat Shofia kian terluka.Suara tarhim menandakan azan Sub
Farhan sama sekali tak berniat menanggapi ucapan Ustaz Subhan. Sebab ada hal lain yang sejak kemarin mengusik pikirannya. Hanya saja Farhan belum menemukan waktu yang tepat untuk bertanya langsung pada Ustaz Subhan.Hari ini jadwal Farhan cukup padat. Pada jam sembilan nanti ia ada janji dengan salah satu dosen pembimbing tesisnya. Sementara ia juga tak enak hati untuk menolak permintaan Jihan.Minggu lalu ia juga telah berdiskusi dengan abah tentang gagasan putri bungsu beliau yang ingin menerbitkan majalah pesantren. Di balik sikap manjanya, Jihan memiliki ide-ide cemerlang untuk kemajuan pesantren.Jika Ning Shofia lebih fokus dengan proses belajar mengajar di pesantren, maka Jihan lebih tertarik dengan pengembangan diri para santri. Meski sampai kini Farhan tahu jika skripsi gadis itu masih terbengkalai. Namun, sesungguhnya jihan memang memiliki kecintaan terhadap dunia tulis menulis.Langkah Farhan memelan ketika sayup-sayup ia mendengar abah d
“Kamu yakin mau berangkat hari ini, Sayang?” Ustaz Subhan memperhatikan Shofia yang tengah sibuk mengecek kembali isi kopernya.Shofia mengangguk seraya tersenyum kecil ke arah sang suami. “Aku udah ada janji sama Erlana, Mas”“Janji?”“Em ... iya. Erlana mau ngajakin aku mengunjungi komunitas para penderita kanker yang ia dirikan.”Sejujurnya Shofia merasa sedikit bersalah pada suaminya. Sebab tahu jika laki-laki yang begitu ia cintai itu tak benar-benar rida atas keberangkatannya. Namun, ia harus tetap berobat. Paling tidak agar ia bisa bertahan sedikit lebih lama di sisi sang suami.Suasana kamar mereka mendadak sunyi sepi. Hanya terdengar desahan panjang dari Ustaz Subhan. Ia tak tahu lagi bagaimana mencegah kepergian Shofia ke Singapura.“Nanti begitu selesai dengan urusan pembangunan gedung baru di pesantren aku akan menyusul kamu ke sana.”Ucapan spontan Ustaz Su
Jalanan kota cukup lengang siang ini. Setelah mengalami perdebatan kecil, akhirnya Ustaz Subhan bersedia mengantar Shofia sampai ke bandara. Bukannya tak mau menemani sang istri, hanya saja Ustaz Subhan cukup keberatan dengan kepergian Shofia.“Kamu mau berapa hari di sana?” tanya Ustaz Subhan dengan nada datar.“Sampai ibunya Kiyada bisa pulang, Mas. Kasihan beliau kalau sendirian, apalagi tidak terlalu mahir menggunakan HP.”Ustaz Subhan melerik Shofia sekilas tanpa memberikan tanggapan apapun. Fokusnya kembali ke jalanan, ia takut akan mengucapkan kata-kata yang salah hingga kembali menimbulkan perselisihan.“Shofia mungkin butuh waktu untuk menerima semua ini. Tapi saya mau kamu berjanji untuk tidak menyakiti hati putri saya.”Pesan abah malam itu kembali terngiang. Apakah kepergian Shofia ke Singapura memang disengaja mencari waktu untuk sendiri? Sebab belum benar-benar siap dengan statusnya yang kini bukan
Langkah Kiyada terhenti ketika laki-laki yang berusaha ia hindari kini berada di hadapannya. Farhan menatapnya tajam, mata teduh itu itu entah mengapa kini seolah berubah menghujam.“Ada apa, Kak?” Dengan memberanikan diri Kiyada menantang tatapan Farhan. Ia berusaha agar tak terintimidasi.Mendung menggelayut di angkasa. Semilir angin berembus menerbangkan dedaunan yang mulai mengering. Farhan terdiam beberapa saat, ia tak mau lepas kendali hingga mengeluarkan nada amarah pada Kiyada.“Kak, Farhan ada perlu sama aku?” Kiyada bertanya sekali lagi saat mendapati laki-laki didepannya masih terdiam.“Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu menjadi istri ke dua?” tanya Farhan lansung pada inti.Jantung Kiyada berdetak tak karuan. Ia tak menyangka jika secepat itu Farhan akan mengetahui status yang selama ini ia tutup rapat. Bukan tak mau mengakui, tetapi ia takut dengan berbagai stigma negatif tentang istri ke dua. Kiy
“Siapa?” Ustaz Subhan melirik ke arah Kiyada sekilas.“A-isyah,” jawab Kiyada sedikit terbata.Selanjutnya Ustaz Subhan tak bertanya lebih jauh lagi. Eksprinya kembali datar dan fokus pada kemudi.“Kamu dimana, Ki?” Kini benar-benar suara Aisyah di seberang sana.Dari nada suaranya, terdengar Aisyah merasa bersalah. Sepertinya Farhan sengaja memakai nomor sahabatnya itu. Sebab jika Farhan langsung yang menghubungi, pastilah Kiyada tak berani mengangkat panggilannya.“Maaf, ya, Aisyah. Aku harus pulang dulu. Ada acara mendadak di rumah,” dusta Kiyada seraya melirik Ustaz Subhan.Entah Aisyah tahu masalah yang sebenarnya atau tidak. Yang jelas, untuk sementara biarlah semua mengalir seperti ini. Pada waktunya nanti Kiyada akan bercerita status yang sesungguhnya pada Aisyah.Kiyada yakin Aisyah bukan wanita yang mudah menghujat hanya dari satu sisi. Apalagi menghakimi dengan kata-
Mata Ustaz Subhan sedikit memicing menatap Kiyada. Diperhatikannya sang istri dari atas sampai ke bawah. “Kamu sudah salat?”Kiyada termangu, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Kejutan tak terduga yang ia hadapi hari ini hampir saja membuatnya lalai akan kewajiban. “Belum, Ustaz.”Entahlah, mungkin wajah Kiyada saat ini tak ubahnya kepiting rebus. Meski ini bukan pertama kali ia melihat sang suami bertelanjang dada, tetapi dampaknya selalu tak baik bagi kesehatan jantungnya. Padahal mereka beberapa kali melakukan hal yang lebih daripada saat ini.Saat Ustaz Subhan berlalu begitu saja dari hadapannya, barulah Kiyada mengembuskan napas lega. Setidaknya sang suami masih memperhatikannya, mengingatkan ia akan kewajiban sebagai seorang muslim.Segera Kiyada meletakkan belanjaan di meja dapur, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Waktu salat Asar hanya tersisa kurang dari satu jam, ia harus cepat-cepat melakukan semuanya.Sa