Share

Saling Mengenal

sabit menggantung indah di ujung cakrawala. Di sekelilingnya tampak gemintang yang berkelap-kelip menghiasi angkasa. Langit malam yang cerah, sangat berbanding terbalik dengan kedaan hati Ustaz Subhan.

Laki-laki dengan rahang tegas tersebut masih setia duduk seorang diri di teras rumah istri ke duanya. Hatinya dirundung kesal juga gelisah. Semenjak keberangkatan sang istri dari bandara internasional Batam menuju Singapura, wanita cantik itu sama sekali tak bisa dihubungi.

Puluhan chat aplikasi hijau yang ia layangkan hanya berakhir centang satu abu-abu. Juga panggilan telephon seluler yang hanya dijawab oleh suara operator. Shofia seolah sengaja menghindarinya.

“Ustaz, makan malamnya sudah siap.” Suara renyah seorang wanita membuyarkan lamunannya.

Ustaz Subhan terkesiap. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita bertubuh mungil dengan hijab pashmina berwarna mint. Istri mudanya tersebut tampak tertunduk malu-malu dengan kedua tangan saling tertaut yang bergerak gelisah.

“Yuk, kita makan.” Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Ustaz Subhan segera bangkit dan berjalan menuju meja makan.

Meja makan yang tidak terlalu besar itu dipenuhi dengan berbagai macam olahan sayur. Tumis kangkung, capcay, bakwan jagung, juga tempe goreng. Ustaz Subhan segera duduk berseberangan dengan Kiyada yang tengah mengambilkan nasi untuknya.

“Ustaz mau makan sama yang mana?” tawar Kiyada semringah. 

“Sama bakwan jagung saja,” ucap Ustaz Subhan lembut. 

Kiyada tampak sedikit kebingungan mendengar jawaban laki-laki di hadapannya. Ia khawatir salah dengar, benarkah Ustaz Subhan hanya akan memakan dengan satu lauk itu saja? Padahal ia telah membuat berbagai macam masakan agar bisa menjadi istri yang baik bagi suaminya.

Melihat Kiyada yang masih mengenggam erat piring yang telah berisi nasi putih itu, Ustaz Subhan tersenyum simpul dan mengangguk kecil pada Kiyada. Ia tahu mungkin Kiyada kecewa, karena dari sekian aneka hidangan, dirinya hanya memilih satu lauk.

Ustaz Subhan memang tidak terlalu menyukai sayuran. Ia tipikal penyuka berbagai macam daging. Di rumah, Shofia sering memasak ikan yang dikombinasikan dengan sayur mayur. Alasannya agar nutrisinya seimbang.

Bagaimanapun Ustaz Subhan tetap menghargai usaha Kiyada, karena sang istri pasti belum tahu betul bagaimana seleranya. Lagi-lagi saat bersama Kiyada laki-laki matang itu justru merindukan sosok di seberang sana. Hal yang tak seharusnya dilakukan saat bersama istri pertama.

Selama makan malam keduanya saling terdiam. Ustaz Subhan cukup mengagumi kemampuan memasak Kiyada yang begitu pas di lidahnya. Meski hanya bakwan jagung, tetapi rasanya berbeda dengan yang biasa ia makan. Di rumah Shofia juga jarang sekali mengolah sayuran tersebut.

“Masakan kamu enak,” puji Ustaz Subhan tulus begitu nasi di piringnya tandas tak tersisa.

“Terima kasih, Ustaz. Ibu dulu selalu mengajari saya untuk memasak.” Kiyada tersipu.

“Kalian berdua wanita hebat. Semoga ibu lekas pulih, ya.”

“Aamiin,” gumam Kiyada lirih. Gadis itu segera mengambil piring kotor di hadapan sang suami.

Setiap mendengar nama ibu Kiyada selalu ingin menangis. Ia rindu dekapan ibu, sekaligus gelisah bagaimana jika ibu mengetahui pernikahannya dengan Ustaz Subhan. Ia yang rela menjadi istri ke dua demi uang.

Meski jauh di lubuk hatinya Kiyada telah lebih dulu mengagumi sosok Ustaz Subhan. Namun, itu hanya perasaan suka sebagai murid kepada guru. Berharap jika kelak memiliki suami berilmu seperti laki-laki tersebut.

Ketika ijab qabul telah terucap, entah mengapa rasa kagum itu menuntut hal yang lebih. Diam-diam Kiyada berharap pernikahan ini akan berjalan romantis dan harmonis seperti rumah tangga pada umumnya. Ia ingin merasakan malam yang penuh bujuk rayu juga pujian penuh cinta seperti pengantin baru di luar sana.

“Kamu sudah selesai cuci piringnya?”

“Eh, iya, Ustaz. Ini tinggal sedikit.” Kiyada terjingkat dengan suara bariton di belakangnya.

“Saya ke kamar dulu, ya. Berani kan di dapur sendirian?” Ustaz Subhan melangkah semakin mendekat pada Kiyada. 

“Berani, Ustaz. Silakan kalau Ustaz capek dan mau istirahat.” Kiyada hanya menoleh sekilas. Ia tak mampu berlama-lama menatap laki-laki yang kini berjarak begitu dekat di belakangnya.

Kiyada mengembuskan napas lega saat derap langkah sang suami kian menjauh. Terlalu lama berdekatan bisa membuat kondisi jantungnya tidak baik-baik saja. Apalagi jika ia sadar bahwa selamanya rasa itu tak kan pernah terbalas seimbang.

Setelah selesai dengan kegiatan mencuci piring juga membersihkan meja makan, Kiyada bergegas meuju kamar. Ini adalah malam ke dua ia tidur bersama laki-laki bergelar suami. Tak ada hal istimewa yang terjadi, selain kecupan lembut di kening pagi tadi. Lalu siangnya ia disuguhkan dengan kemesraan antara suaminya dengan istri pertama.

Sesampai di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, Kiyada mematung beberapa saat. Ia ragu mau masuk atau memilih tidur sendiri di kamar ibu. Mengingat kemarin malam ketika ia telah mempersiapkan semuanya, Ustaz Subhan justru bertelephon mesra dengan Ustazah Shofia.

Pernah Kiyada mendengar sebuah keterangan yang disampaikan oleh Ustaz Subhan beberapa bulan lalu. Tentang beberapa keutamaan istri yang berani meminta atau menawarkan terlebih dahulu kepada sang suami. Haruskah ia melakukan itu?

“Kiyada.” Ustaz Subhan begitu terkejut mendapati Kiyada mematung di ambang pintu.

“Ustaz. Mau kemana?” Kiyada tampak kikuk, seolah sedang tertangkap basah melakukan suatu kesalahan.

Posisi keduanya cukup dekat. Hingga Kiyada bisa mencium aroma maskulin tubuh menjulang di hadapanya. Laki-laki itu tampak telah berganti pakaian, tidak lagi memakai baju koko seperti tadi saat di meja makan.

Ini adalah pertama kalinya Kiyada melihat Ustaz Subhan hanya memakai kaus berlengan pendek warna hitam, begitu kontras dengan kulit bersihnya. Meski tetap bawahannya masih sarung, tapi sungguh terlihat lebih tampan di mata Kiyada. Kemarin malam Ustaz Subhan tidur dengan baju koko yang sama. Mungkin beliau lupa tidak membawa pakaian ganti.

“Saya mau ke kamar mandi.” 

Jawaban singkat Ustaz Subhan membuat Kiyada sedikit menggeser tubuh mungilnya. Memberi akses kepada laki-laki tersebut. Kiyada memukul ringan kepalanya beberapa kali setelah bayangan sang suami menghilang di balik pintu. Ia juga merutuki kinerja jantungnya yang semakin tak beraturan.

Di depan cermin kamarnya lah sekarang Kiyada berada. Mematut memperhatikan dirinya, apakah ia cukup layak bersanding dengan Ustaz Subhan dengan segala kelebihannya. Kiyada melepas jilbab yang dipakainya, lalu melepas gelungan rambut di kepala. Memoles sedikit bibir ranum itu dengan lipstik pink lembut.

Suara deham di ambang pintu yang masih terbuka menghentikan kegiatan Kyada. Mata keduanya kembali bersiborok. Harus diakui, kali ini di mata Ustaz Subhan Kiyada terlihat lebih cantik dan lebih dewasa dengan rambut tergerai bebas.

Ustaz Subhan laki-laki normal. Kini di hadapannya tengah berdiri wanita muda dengan pakaian sedikit terbuka. Meski belum ada rasa cinta, tapi jiwa kelelakianya cukup tergoda. Mungkin inilah saat bagi Ustaz Subhan memberikan haknya pada Kiyada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status