Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya 😉 Follow juga aku di Instagram : dara_kirana21 Facebook : Dara Kirana 💋
"Tidak ada panggilan yang lebih special untukku? Seperti Mas panggil Mba Embun dengan sebutan sayang." tanya Jasmine lagi setelah memasang seat belt "kau juga ingin dipanggil sayang?" Lintang menoleh ke arah Jasmine sambil satu tangannya memegang tuas mobil. "Tidak mau! Aku tidak mau sama seperti Mba Embun." Jasmine menyilangkan tangan di dada dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, ia akan memanfaatkan kehamilannya agar Lintang menuruti keinginannya. "Ya sudah kalau seperti itu." Lintang menyalakan mesin mobil dan menatap lurus ke depan. "Apa aku ini tidak spesial untukmu, Mas?" Jasmine menoleh ke arah Lintang dengan tatapan jengkel. Namun, sang suami tidak melihatnya. "Apalagi, Jasmine? Jangan bertanya yang ane-aneh." Lintang mulai menjalankan mobil. "Aku hanya ingin tahu, aku ini ada artinya atau tidak untukmu, Mas." Jasmine meluruskan pandangannya. "Kau mau apa sebenarnya?" Lintang menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Aku seperti tidak ada artinya untukmu,
Embun beranjak dari duduknya dan bersiap meninggalkan meja, dia tidak kuat lagi jika harus menyaksikan drama romantis itu. Lebih baik ia pergi. "Mau kemana? Kita baru saja datang dan belum pesan apapun." Lintang melirik Embun yang sudah berdiri. "Pulang," sahut Embun singkat sambil meraih tasnya kemudian meninggalkan pasangan itu. "Bagus! Wanita mandul itu sadar diri dan membiarkan kami berdua. Kenapa juga harus bertemu dia di sini, membuat moodku rusak!" batin Jasmine. Embun berjalan gontai menuju mobilnya sambil mata menerawang jauh. Tidak bisakah Lintang mengerti perasaannya sedikit saja, setidaknya jangan selalu muncul di depan mata dan menyuguhkan pemandangan yang membuatnya semakin rapuh. Bagaimanapun ia belum bisa menerima Jasmine sepenuhnya, meski ikhlas sudah terucap. Embun larut dalam lamunan sehingga tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja seseorang menabraknya dan membuatnya jatuh ke tanah. Embun meringis karena tubuhnya terhempas. "Maaf, Mba. Saya tidak sengaj
"Kau bertanya untuk apa? Harusnya aku yang bertanya, apa maksudnya kau bersikap seperti itu?" "Aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang menyakitiku," jawab Embun ringan. "Tidak ada yang menyakitimu, kau saja yang merasa tersakiti!" Untuk pertama kali Lintang meninggikan suara terhadap Embun. Wanita itu bergeming, sakitnya hingga ke ubun-ubun. Ibarat luka sudah ditaburi garam ditambah lagi dengan perasaan jeruk nipis. "Coba tanyakan pada hatimu sendiri apa yang salah sehingga kau merasa seperti itu," lanjut Lintang sambil menunjuk dada sang istri. Embun menatap nyalang lelaki di depan matanya dengan dada yang bergemuruh. "Apa aku dibutuhkan untuk menyaksikan kebahagiaan kalian? Aku hanya penonton dari cerita kalian, bahkan aku tidak akan terlihat di sana!" Embun mulai melupakan perasaan, matanya berkaca-kaca. "Aku bergabung dengan kalian, tapi aku merasa sendiri dan sepi, diam menyaksikan dengan hati yang tercabik-cabik. Tidak ada yang peduli termasuk kau, Mas! Kau larut dalam k
"Phiu!" Panggil Jasmine ketika melihat suaminya baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, Jasmine?" Lintang berjalan ke arah dimana bajunya sudah disiapkan oleh wanita itu. "Jasmine lagi?" keluhnya jengkel. "Ada apa, Mhiu?" Lintang meralat ucapannya, tidak ingin merusak mood ibu hamil tersebut. Jasmine tersenyum senang mendengarnya. "Ayo kita ke rumah sakit!" "Kau sakit? Apa kandunganmu …." Lintang menjeda kegiatannya mengenakan baju, lelaki itu menatap sang istri yang duduk di ujung tempat tidur. "Tidak, aku tidak sakit. Kak Jenar sudah melahirkan." "Bagaimana kalau kau dan Mba-mu saja yang pergi, nanti …." "Tidak mau!" tolak Jasmine dengan jengkel, "Kenapa sih, wanita mandul itu harus ikut?" batin Jasmine. Lintang mengernyitkan dahi dengan reaksi istrinya tersebut. "Maksudku Phiu juga ikut, masa Mhiu dan Mba Embun berdua saja, seperti tidak punya suami saja!" Alibi Jasmine setelah sadar apa yang ia lakukan. "Apa pekerjaanmu lebih penting dari pada aku dan anakmu? Apa
Setelah selesai membeli hadiah, Embun kembali ke tempat dimana Lintang menunggu. Wanita itu merangkai kata-kata untuk menjelaskan masalah Jasmine. Sesampainya di tempat tujuan, Embun tidak menemukan Lintang, ia celingukan mencari keberadaan sang suami. Namun, lelaki tersebut tidak terlihat. Embun langsung saja keluar dari pusat perbelanjaan dan menuju parkiran, karena berpikir Lintang dan Jasmine sudah duluan. Tidak lama kemudian Lintang muncul dengan Jasmine yang bergelayut manja di lengannya. Tidak bisa dipungkiri Embun sakit melihat pemandangan itu, tetapi tidak bisa melakukan apapun. Setelah Jasmine masuk ke dalam mobil, Lintang berpamitan pada Jasmine untuk bicara sebentar dengan Embun. Jasmine jengkel, tetapi tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah. "Apa sih, Phiu, eh Mas Lintang! Mau berduaan dengan wanita mandul itu!" gerutu Jasmine sambil melirik Embun dan suaminya yang melangkah menjauh. "Ada apa, Mas?" Embun bingung karena Lintang menariknya kasar, bahkan tidak peduli
Embun Melangkah gontai menuju kamar yang sudah diberitahukan oleh suaminya. Lantai rumah sakit itu terasa seperti berduri, langkahnya terasa sakit dan berat tatkala ruangan Jenar semakin dekat. Jantungnya berdebar-debar dan perasaan campur aduk. Embun tidak langsung masuk, ia mengatur napas terlebih dahulu sebelum bertemu dengan orang-orang yang mungkin akan membuatnya semakin terluka. Ingin rasanya ia menghindar, tetapi realita memaksanya masuk ke dalam lingkaran Berduri itu. "Ya ampun … lucu sekali!" Terdengar suara bu Inggrid memuji bayi Jenar. "Gembul, Mama gemas!" lanjut wanita paruh baya itu."Dia tampan sekali seperti Papanya," tambah pak Yolan. "Tapi, diperhatikan wajahnya lebih mirip sama mamanya," imbuh bu Inggrid. "Dia tampan seperti Opanya." Pak Wijaya tidak ingin ketinggalan, disambut gelak tawa oleh orang-orang sekitarnya. "Ya, ya, dia memang cucumu," tukas bu Inggrid. "Duh, Mama tidak sabar menunggu cucu kita segera lahir, Pa. Pasti lucu juga!" tambah wanita paruh
Mata Embun terbuka saat mendengar pintu kamarnya diketuk, padahal ia sangat mengantuk. Wanita itu menyingkap selimut dan turun dari ranjang, menyeret langkah dengan malas menuju pintu. "Mas Lintang," ujar Embun dengan mata yang malas terbuka, "ada apa?" lanjutnya. "Embun masuk rumah sakit, dia diare," kata Lintang membuat mata wanita itu terbuka sempurna, rasa kantuknya lenyap seketika. "Masuk rumah sakit? Diare?" ulang Embun sambil mengerutkan kening. "Iya …." Ucapan Lintang terpotong karena tiba-tiba Jasmine datang dan menyela. "Mba kasih minum apa keponakan saya tadi siang?" imbuh Jasmine sambil melipat tangan di dada, wanita itu memperkeruh suasana. Lintang hanya diam, hati Embun perih. "Hanya air mineral," jawab Embun singkat. Ia jadi merasa bersalah karena tadi siang sudah mengajak anak itu pergi ke kantin. "Kalau hanya air mineral tidak mungkin bisa diare!" "A-aku tidak tahu," jawab Embun. "Kenapa bisa tidak tahu, bukannya kau yang membawanya membeli minum tadi?" tanya
"Heh Wanita mandul, kalau jalan pakai mata!" sarkas bu Riana yang merupakan ibu Eros dengan tatapan bengis. "Ma, jangan teriak-teriak ini rumah sakit," ujar Eriska yang merupakan adik Eros mencoba menenangkan sang ibu. "Sini kamu!" tiba-tiba bu Riana menarik lengan Embun dan menyeretnya ke tempat yang agak sepi. Amarahnya meledak-ledak melihat mantan menantunya itu, apalagi setelah mendengar cerita Jenar semalam. "Kau apakan cucuku? Katanya kemarin kau yang membawanya pergi?" sembur bu Riana. Embun terdiam, bingung harus menjelaskan seperti apa lagi. Sebab, mereka semua tidak percaya dan menganggap dirinyalah sebagai penyebab putri Eros diare. Terlebih, wanita paruh baya itu memang tidak menyukai Embun. Sudah pasti, apa pun yang keluar dari mulutnya akan tetap salah. .Embun tidak menyangka hanya karena sebuah hal kecil yang ia lakukan kemarin justru berbuntut panjang seperti ini. Ia dituduh sana sini. "Jawab! Kenapa diam saja?" Bu Riana mendorong lengan Embun membuat tubuh Embun