Share

Bab 7. Mundur Beberapa Langkah

"Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah.

"Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.

Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi.

"Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.

Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.

Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.

🌟🌟🌟

Subuh menjelang, kuusap kedua mata sontak kaget ketika melihat Mas Bendu tidak ada di samping ku. Rupanya semalam aku langsung ketiduran.

Aku beranjak dari ranjang, menyisir ruang tamu. Dan, ternyata Mas Bendu juga ketiduran di sana. 

"Mas, bangun. Udah subuh, yuk sholat bareng-bareng." panggilku sambil menggoyangkan sedikit badannya.

Dia langsung menggeliat merespon panggilanku.

"Awas, kamu jangan sentuh-sentuh aku Lio!" hardiknya dengan suara lantang.

Aku terhenyak kaget mendengarnya.

"Mas, kamu kenapa sih. Dari kemarin diemin aku. Emang salah aku apa, Mas." tanyaku heran.

"Masih nanya kamu? Nggak usah pura-pura lugu kamu Lio." nadanya semakin menjulang tinggi.

"Duh, ya ampun kalian subuh-subuh sudah ribut. Malu kalau kedengaran sama tetangga. Pasti kamu biang keroknya, bikin malu keluarga saya saja kamu." ibu meerang keluar dari kamar dengan menuduhku yang tidak-tidak.

"Lho kok jadi aku yang disalahin, Bu." protesku.

"Iya memang kamu yang salah." cecarnya padaku.

"Liat kamu kan Bendu, tingkah aslinya istrimu seperti ini. Dia ngelawan ibu di depan kamu. Ini yang kamu pilih jadi istri, iya? 'Kan ibu sudah bilang dari awal jangan nikah sama janda. Mending nikah sama perawan, apalagi janda cerai kayak Lio."

"Cukup, Bu. Kalau ibu memang tidak sudi punya menantu seperti aku. Ya sudah tidak masalah. Kamu ceraikan aku Mas!" serangku, emosiku tak terkontrol lagi.

Mas Bendu harusnya membela, tetapi malah dia yang membuat suasana semakin runyam.

"Kamu jangan becanda Lio." 

"Siapa yang becanda, Mas. Aku lebih baik menjadi janda daripada diperlakukan dengan cara seperti ini oleh keluargamu." ancamku, aku memang tidak main-main dengan ucapanku, mereka pikir aku perempuan lemah yang seenak jidat diperlakukan aku seperti ini, mereka salah.

Ku ambil langkah seribu masuk ke dalam kamar, mengeluarkan koper lalu ku susun semua maju yang ada di lemari ke dalam koper. Jantung berdebar kencang, tanganku gemetaran menahan emosi dan airmata.

Beberapa menit aku merapikan baju, tiba-tiba Mas Bendu masuk ke dalam kamar.

"Lio, jangan gitu. Mas minta maaf, Mas kebawa emosi saja, Lio. Maafin Mas ya." bujuknya sembari memegang tanganku.

"Sudahlah, Mas. Rumah tangga ini tidak perlu lagi diteruskan. Kamu lebih baik tidak punya istri sama sekali, fokuskan saja abdimu pada ibu dan Nini." suruhku.

"Mas, minta maaf Lio. Masa baru dua bulan berumah tangga kamu sudah minta pisah." 

"Aku capek dengan perlakuan keluarga kamu, Mas. Belum lagi sikap kamu yang kekanak-kanakan."

"Iya, Mas janji tidak akan bertingkah seperti itu lagi. Kamu jangan pergi ya, Dik." bujuknya.

"Oke, baik. Aku tidak akan pergi ninggalin kamu dengan satu syarat." tawarku.

"Apa syaratnya, Dik? Mas, janji akan penuhi."

"Aku mau kita ngontrak rumah, terus seluruh gaji kamu, aku yang pegang. Gimana? Kalau kamu setuju, kita tidak jadi pisah. Tapi jika kamu menolak, aku pun tidak akan main-main dengan ucapanku, Mas."

"Bendu, ibu tidak setuju kamu mengontrak rumah. Apalagi gaji kamu dipegang seutuhnya oleh dia." serangnya mendadak dangdut masuk ke kamarku.

"Tapi, Bu."

"Nggak ada tapi-tapian Bendu. Kamu harus nurut sama perintah ibu." cecarnya lagi.

"Yasudah, Mas. Kalau begitu aku akan urus surat perceraian kita." ucapku berusaha tenang sembari menutup resleting koper beranjak berdiri.

"Enggak Lio, Mas nggak mau pisah sama kamu." Mas Bendu memegang pergelangan tanganku, menahan untuk tidak pergi.

"Bu, maaf. Kali ini Bendu nggak bisa nurutin keinginan ibu. Bagaimanapun juga Bendu tidak mau rumah tangga yang seumur jagung ini kandas."

"Terserah, terserah kamu Bendu." erang ibu lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Bendu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status