Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup.
"Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup."Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar."Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun.""Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku."Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur."Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berarti mereka akan seenaknya memperlakukan aku seperti babu di sini. 🌟🌟🌟Sudah pukul 21.00 malam belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Bendu, aku menunggu di kamar sudah kayak setrikaan mondar-mandir nggak karuan, khawatir lebih tepatnya. Tidak biasanya Mas Bendu jam segini belum pulang, kalau pun lemburnya agak lama pasti dia ngabarin aku. Ku ambil gawai pipih kesayangan dari dalam saku baju. Hari ini sudah dua hasil rekaman yang akan menjadi bukti untukku. Suatu hari nanti jika semuanya meledak, akan ku putar di telinga Mas Bendu. Aku sudah menerka dia akan termakan kata-kata yang terlontar dari mulut ibu ataupun Nini. Tapi itu haknya juga sih, aku hanya menjadi diri dari fitnah manusia lucknut, tidak lebih dari itu.Dengan menghilangkan gengsi, ku pencet nama 'suamiku' bermaksud meneleponnya, bukan bunyi pertanda telepon tersambung yang terdengar, malah tante informasi yang menyahut."Nomor yang anda tuju sedang selingkuh? Oh bukan sedang tidak aktif, mohon ditinggalkan pesan setelah nada berikut."Jantung mulai berpacu tidak stabil, logika ku sudah menerawang kemana-mana. Pasti sudah terjadi sesuatu dengan Mas Bendu. Aku juga tidak punya nomor telepon teman sekantor Mas Bendu untuk menanyakan tentang Mas Bendu.Bertanya sama ibu dan Nini tentu hal yang tidak mungkin, bisa-bisa mereka besar kepala. Tapi jika Mas Bendu sedang dalam masalah atau kenapa-kenapa pasti ibu dan Nini sudah merepet heboh di dalam rumah. Jika mereka hening, tentram, benderam seperti berarti Mas Bendu aman-aman saja, semoga saja iya.Sesekali terdengar suara kikikan ibu dan Nini mungkin mereka sedang duduk di ruang tamu, karena suara yang berasal dari dalam TV masih terdengar jelas. Bukan mereka namanya kalau tidak menonton dengan volume yang keras.Lama aku termenung duduk menjulurkan kaki di atas ranjang, mataku sesekali menatap jam dinding. Sekarang sudah pukul 22.00 malam belum juga terdengar deru suara motor Mas Bendu. Kali ini aku benar-benar gelisah, takut Mas Benduuu.... "Ah, Lio buang pikiran buruk itu. Astagfirullah." berulang kali aku beristighfar supaya hati dan pikiran ku tenang.🌟🌟🌟"Bu, Mas Bendu ada nelfon ibu nggak? Aku cemas jam segini dia belum pulang juga. Aku telfon tapi nomornya nggak aktif, Bu." tanyaku menghampiri ibu ke ruang tamu.Aku tidak bisa menahan rasa kecemasanku, biarlah kali ini mereka besar kepala karena aku yang mulai menyapa mereka duluan. Semata karena mencari tahu informasi Mas Bendu.Sejak kejadian kemarin rasa toleransi ku mulai habis, mereka yang terlalu lancang terhadapku. Jangan salahkan sikapku seperti itu. Tidak akan basah jika tidak disiram air."Mas Bendu lagi sibuk pacaran." jawab Nini spontan dengan senyum ejekkan, disusul dengan cubitan ibu di paha Nini kebetulan mereka duduk berdampingan."Auuuu, Ibuuuu." pekiknya.Aku sontak kaget mendengar kata yang terlontar dari mulut Nini, perempuan berkacamata tebal ditambah gigi yang dikasih pagar warna pink kombinasi ungu-warna gelay menurutku."Kamu tidur saja duluan, nggak usah nungguin Bendu. Lagian juga Bendu sepertinya udah mulai malas sama kamu, Lio makanya jam segini dia belum pulang." jelas ibu ketus."Maksud Nini tadi apa, Bu?" tanyaku penasaran, ini pasti ada apa-apanya."Maksud apanya? Jadi orang jangan curigaan, pantes saja pernikahan pertama kamu gagal." ungkitnya, aku tahu ibu sengaja mengelak memberi jawaban."Udah, kamu masuk kamar saja Lio. Mataku gerah liat kamu di situ." Ya ampun rasanya mau ku mutilasi mulut Nini yang berwarna gelap itu.Ku balikkan badan tanpa mengucap terima kasih ataupun meminta izin untuk masuk ke kamar. Sikap mereka yang tidak beradab barusan sedikit melunturkan kesabaranku.Perasaan ku semakin tidak karuan, pikiran buruk menari-nari di benakku."Tenang Lio, Mas Bendu nggak akan......"Terdengar deru sepeda motor Mas Bendu masuk ke halaman rumah. Aku bergegas keluar kamar, menyambut kedatangannya."Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah."Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi."Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.🌟🌟🌟Subu
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin
"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem
"Apa?! Kamu mau menikahi janda itu? Jangan gila Bendu. Ibu tidak setuju." jantungku berpacu kencang hingga ubun-ubun menggelegak, mendengar Bendu meminta restu untuk menikahi Liodra-seorang janda."Buuu...""Kamu tahu 'kan kenapa Liodra menjadi janda, dia dicerai mantan suaminya karena bermain serong dengan mantan kekasihnya dulu. Perempuan seperti itu yang akan kamu jadikan istri. Bodoh betul kamu Bendu." bentakku."Bu, tapi Bendu harus ngelakuin itu, Bendu harus menikahi Liodra, Bu." dia bertekuk lutut seraya memegang kakiku."Harus apa Bendu. Jawab! Jangan bertingkah, kamu akan ibu malu. Mau ditarok dimana muka ibu, Benduuuu!" "Bu, tapi Bendu mohon tolong restui pernikahan kami." dia tidak menyerah sedikit pun."Kamu benar-benar sudah sarap yah Ben. Masa nikahi perempuan yang sudah janda, belum lagi umurnya lebih tua, nanti kalau kamu nggak punya keturunan gimana. Kayak nggak ada perempuan lain saja yang kamu nikahi.""Iya, Bu. Bendu tahu itu, ta-tapi....""Tapi apa, Hah? Sudahlah
Sampai diambang pintu, kubuka seperempat saja agar tidak ketahuan, karena dari sumber suara yang kucerna, mereka sedang duduk di ruang tamu.Suara yang tadinya samar, kini mulai jelas terdengar di kuping ku. Itu kamu Mas, siapa lagi laki-laki di rumah ini selain kamu. Dan tak salah lagi suara lawan bicara Mas Bendu ialah Leria, wanita berita suara sedikit cempreng.Sedari tadi ketika tidak menemukan Mas Bendu di sampingku, hati sudah tidak karuan.Walaupun begitu, ku coba untuk mengumpulkan energi agar tidak salah sangka. Ku jorokan kepala keluar sedikit, memastikan seperti apa posisi duduknya.Tubuhku semakin terasa bergetar hebat dikala netraku menangkap basah suami yang baru menikahiku itu telah menodai ikatan sakral.'Romantis' itu yang tertangkap di kedua netraku, mereka duduk berdampingan Leria tampak menyandarkan tubuhnya pada bidang dada Mas Bendu. Sedangkan tangan kanan Mas Bendu tampak memegang tangan Leria.Perlahan kutarik kepala kembali, tak kuasa netraku melihat pemandan