Share

Bab 6. Dia Datang Menyambar Pintu

Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup.

"Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup.

"Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar.

"Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun."

"Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku.

"Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur.

"Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.

Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.

Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berarti mereka akan seenaknya memperlakukan aku seperti babu di sini. 

🌟🌟🌟

Sudah pukul 21.00 malam belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Bendu, aku menunggu di kamar sudah kayak setrikaan mondar-mandir nggak karuan, khawatir lebih tepatnya. Tidak biasanya Mas Bendu jam segini belum pulang, kalau pun lemburnya agak lama pasti dia ngabarin aku. 

Ku ambil gawai pipih kesayangan dari dalam saku baju. Hari ini sudah dua hasil rekaman yang akan menjadi bukti untukku. Suatu hari nanti jika semuanya meledak, akan ku putar di telinga Mas Bendu. 

Aku sudah menerka dia akan termakan kata-kata yang terlontar dari mulut ibu ataupun Nini. Tapi itu haknya juga sih, aku hanya menjadi diri dari fitnah manusia lucknut, tidak lebih dari itu.

Dengan menghilangkan gengsi, ku pencet nama 'suamiku' bermaksud meneleponnya, bukan bunyi pertanda telepon tersambung yang terdengar, malah tante informasi yang menyahut.

"Nomor yang anda tuju sedang selingkuh? Oh bukan sedang tidak aktif, mohon ditinggalkan pesan setelah nada berikut."

Jantung mulai berpacu tidak stabil, logika ku sudah menerawang kemana-mana. Pasti sudah terjadi sesuatu dengan Mas Bendu. Aku juga tidak punya nomor telepon teman sekantor Mas Bendu untuk menanyakan tentang Mas Bendu.

Bertanya sama ibu dan Nini tentu hal yang tidak mungkin, bisa-bisa mereka besar kepala. Tapi jika Mas Bendu sedang dalam masalah atau kenapa-kenapa pasti ibu dan Nini sudah merepet heboh di dalam rumah. Jika mereka hening, tentram, benderam seperti berarti Mas Bendu aman-aman saja, semoga saja iya.

Sesekali terdengar suara kikikan ibu dan Nini mungkin mereka sedang duduk di ruang tamu, karena suara yang berasal dari dalam TV masih terdengar jelas. Bukan mereka namanya kalau tidak menonton dengan volume yang keras.

Lama aku termenung duduk menjulurkan kaki di atas ranjang, mataku sesekali menatap jam dinding. Sekarang sudah pukul 22.00 malam belum juga terdengar deru suara motor Mas Bendu. Kali ini aku benar-benar gelisah, takut Mas Benduuu.... "Ah, Lio buang pikiran buruk itu. Astagfirullah." berulang kali aku beristighfar supaya hati dan pikiran ku tenang.

🌟🌟🌟

"Bu, Mas Bendu ada nelfon ibu nggak? Aku cemas jam segini dia belum pulang juga. Aku telfon tapi nomornya nggak aktif, Bu." tanyaku menghampiri ibu ke ruang tamu.

Aku tidak bisa menahan rasa kecemasanku, biarlah kali ini mereka besar kepala karena aku yang mulai menyapa mereka duluan. Semata karena mencari tahu informasi Mas Bendu.

Sejak kejadian kemarin rasa toleransi ku mulai habis, mereka yang terlalu lancang terhadapku. Jangan salahkan sikapku seperti itu. Tidak akan basah jika tidak disiram air.

"Mas Bendu lagi sibuk pacaran." jawab Nini spontan dengan senyum ejekkan, disusul dengan cubitan ibu di paha Nini kebetulan mereka duduk berdampingan.

"Auuuu, Ibuuuu." pekiknya.

Aku sontak kaget mendengar kata yang terlontar dari mulut Nini, perempuan berkacamata tebal ditambah gigi yang dikasih pagar warna pink kombinasi ungu-warna gelay menurutku.

"Kamu tidur saja duluan, nggak usah nungguin Bendu. Lagian juga Bendu sepertinya udah mulai malas sama kamu, Lio makanya jam segini dia belum pulang." jelas ibu ketus.

"Maksud Nini tadi apa, Bu?" tanyaku penasaran, ini pasti ada apa-apanya.

"Maksud apanya? Jadi orang jangan curigaan, pantes saja pernikahan pertama kamu gagal." ungkitnya, aku tahu ibu sengaja mengelak memberi jawaban.

"Udah, kamu masuk kamar saja Lio. Mataku gerah liat kamu di situ." Ya ampun rasanya mau ku mutilasi mulut Nini yang berwarna gelap itu.

Ku balikkan badan tanpa mengucap terima kasih ataupun meminta izin untuk masuk ke kamar. Sikap mereka yang tidak beradab barusan sedikit melunturkan kesabaranku.

Perasaan ku semakin tidak karuan, pikiran buruk menari-nari di benakku.

"Tenang Lio, Mas Bendu nggak akan......"

Terdengar deru sepeda motor Mas Bendu masuk ke halaman rumah. Aku bergegas keluar kamar, menyambut kedatangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status