"Jangan menuduhku sembarangan, Mas! Aku tidak tahu menahu tentang pengusiran yang dilakukan oleh Pak Alif pada keluargamu. Dan aku juga tidak mau tahu apapun tentang kalian. Jadi buat apa aku menyuruh Pak Alif untuk mengusir kalian?" Aku menatap tajam Mas Hilman, pagi-pagi dia sudah membuatku naik darah. Aku menghembuskan napas berat, merasa bosan dengan setiap tuduhan yang diberikan oleh Mas Hilman. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Kenapa aku tidak bisa menjalani hidupku dengan tenang? Selalu saja Mas Hilman mengusikku."Sudahlah, Mas. Pergilah dari sini, aku butuh bekerja untuk menyambung hidupku. Temanku sudah menungguku. Lebih baik kamu renungkan apa yang terjadi padamu, Mas. Jangan hanya menyalahkanku terus menerus," ucapku dengan nada datar, aku merasa sudah lelah menghadapi Mas Hilman."Baiklah, aku akan pergi jika kamu mengabulkan keinginanku," ucap Mas Hilman.Aku mengernyitkan kening, merasa heran dengan Mas Hilman. Apa lagi yang dia harapkan dari wanita yang akan m
Aku menatap dalam Mila yang masih lahap menyantap makan siangnya. Dari tadi aku terus bertanya-tanya dalam hati tentang Mila. Dia tidak bertanya tentang siapa Mas Hilman, bahkan sejak awal-awal dia mengenalku, dia tidak banyak bertanya tentangku."Apa tidak ada yang ingin kamu tanyakan padaku, Mil?" tanyaku mencoba memancing Mila.Mila menghentikan suapannya, lalu dia menatapku dengan kening berkerut."Memang apa yang perlu kutanyakan, Ra?" tanya Mila malah tidak menjawab pertanyaanku.Aku menghela napas panjang, merasa bodoh sudah bertanya pada Mila. Ah, sudahlah. Aku juga tidak perlu menjelaskan apapun pada Mila, jika dia tidak ingin bertanya."Nggak, Mil. Kamu teruskan saja makanmu. Kelihatannya kamu sangat lapar sekali," sahutku sembari mengalihkan pandanganku dari Mila.Netraku tak sengaja melihat sosok Pak Alif, aku ingin sekali bicara padanya tentang kedatangan Mas Hilman tadi pagi. Tapi, saat aku akan bangkit dan menghampirinya, dia sudah pergi. Aku menekuk wajahku ketika Pak
Aku berjalan dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Andai saja di rumah sakit boleh berlarian, tentu aku akan langsung berlari ke kamar rawat ibu. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan ibu. Hatiku sejak tadi sudah berdebar-debar.Aku menghela napas lega, ruang rawat ibu sudah terlihat dari pandanganku. Aku pun semakin mempercepat langkahku. Aku mengatur napasku ketika sudah sampai di depan pintu ruang rawat ibu.Lalu, aku pun langsung membuka pintu tersebut, kulihat Mbak Nuri sedang duduk di samping ranjang ibu sembari memainkan ponselnya. Aku pun segera masuk dan berjalan mendekati Mbak Nuri.Netraku berkaca-kaca melihat ibu sedang berbaring dengan mata tertutup, lalu aku pun menepuk pundak Mbak Nuri. Dia langsung menoleh ke arahku."Ibu baru beristirahat setelah meminum obatnya, Ra," ucap Mbak Nuri padaku."Iya, Mbak," sahutku mengerti jika ibu harus banyak-banyak beristirahat untuk pemulihan kondisinya."Kamu baru pulang, Ra?" tanya Mbak Nuri pelan, takut jika ibu akan terbangu
"Jawab aku! Jawab aku kenapa kalian bisa mempermainkan aku seperti ini?"Aku menatap nyalang Mbak Nuri dan Pak Alif dengan rahang yang mengeras. Tanganku pun mengepal erat.Mbak Nuri terlihat melangkah maju hendak mendekat ke arahku, "Kami bisa jelaskan semuanya, Ra," ucap Mbak Nuri dengan tangan terulur hendak meraih lenganku.Aku pun menghindar sehingga tangan Mbak Nuri hanya menangkap udara saja. Aku benar-benar merasa marah pada mereka, hingga rasanya aku tidak mau mendengar apapun dari mereka. Tapi aku juga ingin tahu, apa alasan mereka mempermainkanku seperti ini."Apa lagi alasannya Mbak?" tanyaku pada Mbak Nuri yang terlihat terkejut saat aku menghindar darinya."Ibu yang menginginkan semua ini, Ra. Ibu ingin melihatmu bahagia dengan menikahi Alif," sahut Mbak Nuri.Aku melebarkan mataku mendengar ucapan Mbak Nuri. Aku tidak percaya jika ibu menginginkan aku bahagia dengan menikahi Pak Alif. Memangnya standart kebahagiaan adalah pernikahan?Apa mereka tidak melihat pernikahank
"Maafkan ibu, Ra. Kamu jangan marah pada ibu ya, Ra," ucap ibu sembari mengelus kepalaku dengan lembut.Aku sedang berbaring, dengan kepala berada di pangkuan ibu. Kami sedang berada di sebuah bangku taman yang indah. Aku menatap wajah ibu yang terlihat bercahaya. Keriput di wajah ibu tampak menghilang. Aku mengernyitkan kening melihat ibu sangat cantik sekali. Aku jadi ingin berlama-lama memandangi wajah ibu."Memang aku marah kenapa, Bu? Tidak ada alasan untukku marah pada Ibu," sahutku.Aku tidak mungkin bisa marah pada ibu, walau bagaimanapun ibu membuatku kecewa, tapi aku tidak pernah marah pada beliau. Ibu adalah satu-satunya orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Mengingat aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dan hanya beliaulah yang ada untukku, yang selalu mendukungku saat Mas Hilman memilih pergi dariku. Ibu juga lebih memilih aku daripada putra kandungnya sendiri. Jadi aku tidak akan pernah bisa marah pada ibu. Kasih sayangnya padaku melebihi kasih sayang seorang
"Bagaimana keadaan ibu, Mbak?" tanyaku begitu sampai di samping Mbak Nuri.Kebetulan Mbak Nuri sedang ada di depan ruang rawat ibu saat aku datang. Dia sedang duduk sembari terlihat termenung, sesekali dia juga terlihat mengusap air matanya.Mbak Nuri menoleh ke arahku, lalu kemudian dia mengalihkan lagi pandangannya dariku. Dia menatap kosong dinding rumah sakit. Raut wajahnya terlihat sangat sendu."Ibu sedang diperiksa oleh dokter, Ra. Keadaan ibu menurun lagi," jawabnya terdengar getir."Semoga ibu tidak kenapa-napa, Mbak. Beliau pasti pulih kembali," ucapku berharap ibu bisa segera membaik lagi.Aku meraih tangan Mbak Nuri, lalu mengenggamnya lembut. Aku mencoba untuk menguatkan Mbak Nuri, padahal hatiku sejak tadi sudah gelisah. Mimpi semalam masih terbayang-bayang di pikiranku. Aku takut jika mimpi itu adalah pertanda yang buruk. Aku takut jika ibu akan benar-benar meninggalkanku.Mbak Nuri kembali menolehkan kepalanya ke arahku, dia menatapku dalam. Dapat kulihat jejak-jejak a
Aku menatap kosong ke arah tubuh yang terbujur kaku di depanku. Air mataku pun terus berlelehan tanpa bisa aku hentikan. Hatiku teramat sedih melihat jenazah ibu terbaring dengan berselimutkan kain. Ibu pun juga sudah dipakaikan kain kafan, kini hanya tinggal disholatkan saja.Mbak Nuri meminta jenazah ibu dibawa pulang ke rumah kami yang lama. Karena memang di situlah ibu tinggal semasa hidupnya. Aku pun setuju dengan Mbak Nuri.Sejak jenazah ibu dibawa pulang, aku tidak pernah pergi dari sisinya. Aku pun juga ikut dalam memandikan jenazah ibu, sebagai baktiku yang terakhir padanya. Setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sisi ibu. Hatiku sangat berat mengikhlaskan kepergian ibu yang tiba-tiba.Andai saja aku tidak membawa ibu pergi bersamaku, tentu sekarang ibu masih hidup. Tapi siapa yang akan tahu masa depan seseorang. Jika Yang Kuasa sudah menentukan takdir seseorang, tentu tidak akan ada yang bisa menolaknya. Begitu pun dengan kepergian ibu, tidak akan ada yang bisa menc
Pak Alif menatapku lekat dan tanpa kata, sepertinya dia masih terkejut dengan ajakanku menikah yang tiba-tiba. Aku harus meyakinkan Pak Alif jika aku serius dengan apa yang aku katakan padanya."Jangan. Jangan kamu putuskan sesuatu di saat hatimu sedang tidak baik-baik saja, Ra. Kumohon jangan membuat keputusan yang akan kamu sesali nantinya. Dan aku tidak mau kamu menyesalinya, Ra." Pak Alif membuka suaranya.Aku pun menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya tentang maksud dari perkataannya."Jadi Pak Alif menolakku?" tanyaku."Bu-kan. Bukan maksudku seperti itu, Ra. Aku tidak bermaksud untuk menolakmu. Jujur, aku sangat bahagia jika kamu mau menikah denganku. Tapi aku tidak mau kamu terpaksa menikah denganku. Lebih baik kamu pikirkan lagi di saat hatimu sudah membaik, Ra," sahutnya."Iya, Ra. Kita bicarakan ini semua nanti. Sekarang kita pulang saja terlebih dahulu," imbuh Mbak Nuri sembari memegang tanganku.Aku mengalihkan pandangan dari Mbak Nuri, kemudian aku berkata, "tidak