"A-pa maksudmu, Mas?" tanya Linda terbata."Maksudku sudah jelas, Lin. Kamu bukanlah saudariku, kamu bukan putri kandung ayahku, tidak tahu dari mana ibumu membawamu kepada ayahku. Tapi perbuatan ibumu sukses membuatku harus kehilangan ibu kandungku," lirih Pak Alif, kini wajahnya tampak sendu.Linda terlihat terkejut lagi, lalu dia melangkah mundur sembari menggelengkan kepalanya, tampak tidak menerima apa yang Pak Alif katakan padanya. Air mata Linda pun perlahan luruh.Aku yang melihatnya seperti itu sedikit merasa kasihan. Dia pasti sangat terpukul mendengar apa yang Pak Alif katakan."Kamu pasti bohong, Mas. Tidak mungkin jika aku bukan putri ayah. Kamu pasti sedang membohongiku," sanggah Linda.Kulihat Pak Alif mengambil ponsel di saku celananya. Lalu dia menyalakan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara, "Dengarkanlah sendiri," ucapnya mengulurkan ponselnya."Ayah tidak berbohong, Lif. Jika kamu tidak percaya, kamu bisa menghubungi pengacara ayah. Dia tahu jika Linda bukan
"Saya mau pulang, Pak," ucapku pada Pak Alif setelah keluar dari ruang rawat Linda.Pak Alif menatapku dengan kening tampak berkerut. Tangan Pak Alif masih memegang ponselnya, mungkin dia masih berusaha menghubungi Mas Hilman. Entahlah, aku sudah tidak mau peduli lagi. Yang aku tahu, aku harus segera pulang, aku tidak mau berlama-lama berada di sini. Tidak ada gunanya aku tetap bertahan di sini."Saya khawatir dengan ibu saya, Pak. Beliau di rumah sendirian. Tadi saya juga tidak sempat berpamitan ketika kemari," ucapku lagi.Aku pun mulai melangkahkan kaki, pergi meninggalkan Pak Alif tanpa menunggu jawaban darinya. Lalu sedetik kemudian sebuah tangan menahanku dengan memegang pergelangan tanganku."Aku antar, Ra."Aku menoleh, menatap Pak Alif, lalu pandanganku beralih menatap tangan Pak Alif yang memegang tanganku."Ah, maaf, Ra. Aku tidak sengaja," ucap Pak Alif melepaskan tangannya dari tanganku. "Tunggulah sebentar saja, Ra. Setelah Hilman datang, aku akan mengantarmu," tambahnya
"Jadi ibu sudah mengetahui semuanya?" tanyaku sembari menatap ibu sendu.Ibu mengangguk, lalu beliau mengelus kepalaku lembut. "Hati ibu sakit melihatmu berpura-pura tidak ada apa-apa di depan ibu, Ra. Harusnya kamu tidak perlu berpura-pura, harusnya kamu lampiaskan saja rasa sedih dan kecewamu itu. Kamu tidak perlu menahan semuanya sendirian, Ra. Lepaskanlah ... lepaskan semua rasa yang telah kamu pendam selama ini."Ucapan ibu membuat air mataku tidak bisa dibendung lagi. Aku merasa ingin menumpahkan segalanya malam ini. Aku ingin membebaskan hatiku dari belenggu yang telah aku pasang agar aku tidak menjadi wanita lemah. Aku menangis sesenggukan di depan ibu. Semua rasa yang aku pendam bercampur menjadi satu dan berhasil membobol pertahananku sekarang. Aku benar-benar melepaskan semua rasa yang ada di dalam hatiku. Entah kecewa, sedih, patah hati, terluka dan kesal, bercampur menjadi satu.Ibu bangkit dari duduknya dan memelukku yang masih bertahan dengan posisi duduk. Ibu mengelus
"Ada apa, Ra?" tanya Pak Alif ketika aku masuk ke dalam ruangannya."Ada yang ingin saya sampaikan, Pak," ucapku memberanikan diri."Baik, duduklah," sahutnya mempersilahkan aku untuk duduk.Aku mengikuti perintah Pak Alif untuk duduk. Setelah duduk, aku malah menunduk, aku sedang mencoba merangkai kata untuk mengutarakan maksud kedatanganku pada Pak Alif. Aku sangat berharap Pak Alif mau membantuku, tapi aku bingung harus memulai bicara dari mana."Ada apa, Ra? Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Pak Alif.Aku mendongak menatap Pak Alif, aku ragu sekali untuk mengutarakan maksud kedatanganku ke ruang kerjanya. Tapi aku juga tidak punya siapa-siapa untuk aku mintai tolong. Hanya Pak Alif lah yang terlintas di benakku, yang bisa menolongku."Jangan ragu, Ra. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan padaku," ucap Pak Alif seolah melihat keraguanku."Sebelumnya saya meminta maaf, Pak. Maaf karena saya telah lancang pada Bapak. Saya ingin meminta tolong pada Pak Alif. Tolong bantu saya
"Ibu ...," panggilku sembari membuka pintu kamar ibu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.Netraku melihat ibu yang sedang duduk di ranjang, beliau menoleh ketika aku membuka pintu. Lalu ibu tampak mengernyitkan keningnya melihatku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Ada apa, Ra?" tanyanya.Aku menghembuskan napas lega, ternyata ibu tidak kemana-mana. "Tidak ada apa-apa, Bu. Aku pikir ibu sudah tidur."Ibu tersenyum, lalu beliau melambaikan tangannya ke arahku, memberi isyarat untukku agar mendekat ke arahnya. Aku pun meneruskan langkah menuju ke arah ranjang ibu dan duduk di samping ibu."Apa itu, Ra?" tanya ibu melihat ke arah tanganku.Aku menepuk jidatku, karena tadi aku terlalu panik hingga aku lupa meletakkan dokumen yang telah aku cari sebelum ke kamar ibu. Harusnya aku meninggalkannya di kamarku terlebih dahulu."Ah, ini ... ini adalah dokumen untuk ... untuk persyaratan perceraianku, Bu," jawabku sedikit ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada ibu, jika aku ingin seg
"Cepatlah bersiap, Ra. Kasihan Nak Alif menunggu lama," perintah ibu padaku untuk segera bersiap.Aku berjalan dengan wajah ditekuk, aku terpaksa mengikuti perintah ibu untuk berangkat bersama dengan Pak Alif. Aku sudah berusaha untuk menolak perintah ibu, tapi beliau tetap saja memaksaku untuk berangkat bersama dengan Pak Alif.Aku menghela napas kasar, aku tidak mengerti dengan ibu hari ini beliau tiba-tiba bersikap aneh. Tapi aku tidak berani untuk melawannya. Aku tidak mau jika sampai menyakiti hati ibu lagi. Sudah cukup beliau sakit hati karena Mas Hilman dan juga ayahnya. Aku ingin melihat senyum ibu lagi, aku rindu sekali dengan senyum bahagia ibu, bukan senyum kepalsuan.Saat tiba di kamar, aku segera mengganti bajuku dengan baju kerja, setelah selesai berganti baju, aku mengambil tas, lalu aku segera bergegas kembali ke meja makan. Tempat di mana ibu dan Pak Alif berada. Mereka masih belum beranjak dari sana setelah selesai sarapan.Tadi setelah selesai makan, ibu langsung m
"Kamu ... kamu wanita yang jahat! Teganya kamu membuat Linda masuk rumah sakit!" tuduh Mas Hilman padaku sembari mengacungkan jari telunjuknya padaku.Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan tuduhan Mas Hilman. Memangnya aku kenapa? Apa yang aku lakukan pada Linda? Bukankah dia sendiri yang telah datang ke rumahku terlebih dahulu? Lalu kenapa aku yang disalahkan?"Tutup mulutmu, Man! Jika kamu tidak tahu yang sebenarnya terjadi, jangan menuduh yang bukan-bukan!" sentak ibu pada Mas Hilman.Mas Hilman menatap ibu tajam, wajahnya pun merah padam dengan napas yang memburu. Dia terlihat sangat marah."Jangan ikut campur, Bu. Ini urusanku dengan Inara, wanita yang telah membunuh anakku!" teriak Mas Hilman membuatku tersentak.Aku? Membunuh anaknya? Kapan aku melakukannya? Bagaimana bisa Mas Hilman menuduhku melakukan hal keji seperti itu. Bahkan untuk membunuh hewan pun aku tidak tega, lalu bagaimana aku bisa membunuh bayinya? Tuduhan Mas Hilman sangat tidak masuk akal sekali."Apa
"Tenanglah, Ra. Ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Pak Alif sembari mengusap punggungku tampak mencoba menenangkanku.Aku masih menangis sesenggukan sembari menggenggam tangan ibu yang telah berbaring di ranjang rumah sakit dengan mata tertutup. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, sejak dokter mengatakan bahwa ibu telah mengalami serangan jantung. Keadaan beliau sudah stabil, ibu sudah melewati masa kritisnya. Untung saja ibu cepat dibawa ke rumah sakit, jadi nyawanya bisa tertolong.Aku dan Pak Alif sedang berada di dalam ruang rawat ibu, sementara Mas Hilman sudah pergi entah kemana sejak tadi siang. Mungkin dia juga sedang mengurusi istrinya. Ah, aku sudah tidak mau tahu lagi urusan Mas Hilman. Dia bukan lagi seseorang yang perlu aku pedulikan.Sekarang yang terpenting adalah kesehatan ibu, aku sangat berharap untuk kesembuhan ibu. Aku ingin melihat kedua mata ibu terbuka kembali."Aku keluar sebentar, Ra," pamit Pak Alif.Aku hanya menganggukkan kepala menanggapi Pak Alif.