"Apa maksudnya ini, Mas?" tanyaku dengan tangan gemetar ketika menyodorkan ponsel kepada Mas Hilman.
Netraku mulai memanas merasakan pedih sakitnya menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Mas Hilman langsung buru-buru merebut ponselnya yang berada di tanganku."Kenapa kamu buka-buka ponselku?" bentak Mas Hilman membuat hatiku semakin teriris.Tak terasa air mataku luruh seketika setelah mendengar bentakkan dari Mas Hilman. Padahal selama ini dia tidak pernah sekalipun membentakku atau meninggikan suara selama kami berumah tangga.Sebenarnya aku juga tidak berniat membuka ponsel Mas Hilman, hanya saja dari tadi ponsel Mas Hilman berdering terus, akhirnya aku pun melihatnya. Tapi saat aku melihat siapa yang memanggil, betapa terkejutnya aku ketika melihat foto dari sang pemanggil adalah foto sepasang pengantin, dengan Mas Hilman sebagai pengantin lelakinya.Betapa hancurnya hatiku ketika kuperhatikan dengan seksama bahwa foto tersebut benar foto Mas Hilman. Foto suamiku sendiri dengan wanita yang tidak aku kenal."Jelaskan padaku, Mas! Jelaskan padaku apa maksud dari foto tadi," desakku pada Mas Hilman dengan suara serak.Mas Hilman bergeming, dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia juga mengalihkan pandangannya, tidak menatapku sama sekali.Aku sangat hafal betul tingkah Mas Hilman jika sudah terbukti bersalah. Dia tidak akan mau menatap mataku jika berbicara. Kebiasaan Mas Hilman ketika dia menyembunyikan sesuatu dariku.Meski masih dua tahun berumah tangga dengan Mas Hilman, tapi aku sudah sangat hafal dengan sikap-sikap Mas Hilman. Dia tidak akan bisa berbohong padaku."Katakan sesuatu jangan diam saja, Mas! Katakan kalau yang ada di foto itu bukan kamu. Katakan kalau aku hanya salah lihat saja. Katakan sesuatu padaku!" Aku mencengkram lengan Mas Hilman dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Aku sudah tidak sabar mendengar penjelasan Mas Hilman tentang foto tersebut."Ma-af ...."Hanya satu kata yang keluar dari mulut Mas Hilman, tapi langsung membuat duniaku seakan runtuh. Tanganku seketika melepas lengan Mas Hilman, kakiku lemas tak bertenaga, aku jatuh terduduk bersimpuh di lantai. Tatapanku kosong, pandanganku memburam karena air mata yang semakin merebak. Aku tidak percaya lelaki yang selalu memperlakukanku bak ratu malah mengkhianatiku. Diam-diam menikah di belakangku."Maaf, kamu bilang Mas? Maaf untuk apa?" gumamku lirih. Aku tidak mau percaya dengan apa yang terjadi."Maafkan aku, Ra. Aku tak bermaksud menyakitimu," ucap Mas Hilman menunduk, mencoba memegang tanganku.Seketika aku langsung menepis tangan Mas Hilman. Aku marah, kecewa, merasa terkhianati olehnya."Lalu apa maksudmu, Mas? Kamu ingin membuatku senang, begitu?""Iya, Ra. Aku ingin membahagiakan kamu—.""Membahagiakanku dengan menikahi wanita lain, Mas? Kamu pikir aku akan bahagia melihat suamiku sendiri menikahi wanita lain?" tanyaku lagi memotong ucapan Mas Hilman."Maafkan aku, Ra. Maafkan aku. Aku tidak bisa terus hidup miskin seperti ini. Aku juga ingin membuatmu bahagia, memberikan apa yang kamu mau. Tapi aku tidak bisa, aku tidak sanggup memberikannya karena kemiskinan ini. Maka dari itu aku menikahi Linda. Aku hanya ingin merubah nasib kita, Ra," jelas Mas Hilman membuatku tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu, membahagiakanku dengan menikahi wanita lain. Apa Mas Hilman waras?"Hahahaha ... lucu kamu Mas. Menikahi wanita lain untuk membuatku bahagia? Di mana pikiranmu, Mas? Katakan padaku, istri mana yang akan bahagia mengetahui suaminya menikah lagi dengan wanita lain tanpa sepengetahuannya? Istri mana Mas?" Air mataku terus berjatuhan, aku tidak sanggup lagi untuk menahan semua rasa yang bergejolak dalam hatiku."Maafkan aku, Ra. Aku janji, aku akan membahagiakanmu. Aku hanya butuh waktu tiga tahun, Ra. Setelah tiga tahun aku akan menceraikan Linda. Kita akan kembali hidup bahagia dengan harta yang aku kumpulkan selama menikahi Linda. Kamu harus percaya padaku, hanya kamu wanita yang sangat aku cintai. Berikan aku waktu tiga tahun saja, lalu kita akan hidup bahagia seterusnya," ucap Mas Hilman membuat hatiku merasa teriris.Gila! Mas Hilman pasti sudah gila, tega-teganya dia memintaku berbagi suami dengan wanita lain dengan alasan harta. Dia memang sudah tidak waras, siapa yang sudi menunggunya hingga tiga tahun, bahkan sedetik saja aku tidak mau, aku tidak pernah membayangkan akan dimadu seperti ini.Aku segera bangkit dari lantai, perlahan kulangkahkan kaki meninggalkan Mas Hilman yang terus memanggil namaku, tapi telingaku seolah telah tuli. Aku tidak mau mendengarkan apa-apa lagi dari mulut Mas Hilman. Sudah cukup, aku bisa ikut gila seperti Mas Hilman jika tetap bertahan dengannya."Aku mencintaimu, Ra. Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi ibu dari calon anak-anakku?" ucap Mas Hilman sembari mengulurkan seikat bunga mawar merah padaku.Aku membekap mulut dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah terbayangkan jika Mas Hilman melamarku dengan begitu romantis.Ah, aku merasa sangat beruntung bisa menjadi calon pendamping hidupnya. Selama menjadi kekasihnya, Mas Hilman selalu bersikap baik padaku, memperlakukanku dengan manis. Dia tidak pernah berlaku buruk padaku selama ini."Iya, Mas. Aku bersedia menikah denganmu," sahutku tanpa banyak berpikir lagi, sembari menerima bunga mawar yang Mas Hilman ulurkan.Hatiku berbunga-bunga menerima lamaran dari Mas Hilman. Aku merasa menjadi wanita paling bahagia sedunia bisa menikah dengan lelaki yang sangat aku cintai.Mas Hilman tersenyum lebar setelah mendengar jawabanku, nampak raut wajahnya juga terlihat bahagia."Terima kasih banyak, Ra. Terima kasih karena mau menerima lamaranku. Aku janji, aku akan membahagiakanmu, aku ak
"Jadi kamu tetap pada pendirianmu, Mas?"Aku menatap sendu Mas Hilman, sedang yang kutatap hanya menundukkan wajahnya tanpa berani menatapku sama sekali.Pagi ini, setelah aku keluar dari kamar, kulihat Mas Hilman sedang tertidur di sofa. Aku pun berlalu ke dapur untuk memasak tanpa membangunkan Mas Hilman. Walau hatiku masih terasa sakit, tapi aku tidak mau mengabaikan tugasku sebagai seorang istri.Sampai di dapur, aku langsung memulai memasak bahan makanan seadanya, karena kondisiku tidak memungkinkan untuk berbelanja sayur terlebih dahulu. Mataku masih membengkak, wajahku juga terlihat kusut, lingkar hitam terlihat jelas menghiasi kedua mataku.Selang satu jam, aku pun sudah menyelesaikan semua pekerjaanku di dapur. Lalu aku bergegas untuk membangunkan Mas Hilman.Walaupun hatiku masih enggan untuk melakukannya, tapi aku terpaksa harus membangunkan Mas Hilman. Kami butuh bicara, kami harus membahas bagaimana kelanjutan nasib rumah tangga kami.Dan akhirnya kami pun bicara setelah
"Maafkan aku, Ra. Aku benar-benar tidak bisa memilih antara kamu dan juga Linda. Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa melepasmu, tapi aku juga tidak bisa berpisah dari Linda. Di-a se-dang mengandung anakku," ucap Mas Hilman lirih.Bagai mendengar petir di siang hari aku mendengar jawaban Mas Hilman. Mendengar Linda hamil membuat jiwaku seolah melayang, keluar dari ragaku."A-pa Ma-s? Apa aku salah dengar?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang aku dengar."Ma-af, Ra ... maaf. Untuk sekarang aku tidak bisa berpisah dengan Linda. Dia sedang mengandung anakku."Hatiku seketika mencelos mendengar jawaban yang sama dari Mas Hilman tentang kehamilan Linda. Duniaku benar-benar runtuh, harapan-harapanku benar-benar telah sirna.Air mataku kembali mengalir tanpa aku harapkan. Hatiku bertambah sakit sekali. Bagaimana hatiku tidak bertambah sakit, selama dua tahun ini Mas Hilman melarangku untuk memiliki anak terlebih dahulu karena kondisi keuangan kami. Tapi kini dia malah mengatakan b
"Baiklah, Mas. Jika memang kamu tetap pada pendirianmu, maka aku juga memiliki keputusanku sendiri.""Apa maksudmu, Ra?" tanya Mas Hilman menatapku dengan wajah yang nampak bingung.Aku menghela nafas panjang, mencoba menguatkan hati untuk mengutarakan keputusanku pada Mas Hilman."Mari berpisah, Mas," ucapku membuat Mas Hilman nampak terperangah. Terkejut dengan apa yang aku ucapkan."Apa? Apa maksudmu, Ra?""Maksudku sudah jelas, Mas. Aku ingin kamu menceraikan aku, Mas. Aku ingin berpisah darimu," jawabku memperjelas keputusanku.Mas Hilman menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku, "Tidak, Ra. Tidak. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Suara Mas Hilman meninggi.Aku terperanjat mendengar nada suara Mas Hilman yang meninggi, ini sudah kedua kalinya Mas Hilman meninggikan suaranya padaku, tapi aku masih saja terkejut.Mas Hilman beringsut meraih tanganku, "Tolong jangan meminta pisah dariku, Ra. Aku tidak akan sanggup hidup ta
"Akhirnya kamu datang juga, Ra. Kalau begitu Mbak langsung pulang, ya?" tanya Mbak Nuri begitu aku masuk ke dalam kamar rawat Ibu."Iya, Mbak. Maaf aku baru bisa datang sekarang," jawabku."Tidak apa-apa, Ra. Kamu pasti kelelahan karena sudah tiga hari ini menjaga Ibu di sini," sahut Mbak Nuri sembari bersiap untuk pergi.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Mbak Nuri. Andai saja Mbak Nuri tahu, jika ternyata baktiku pada Ibu tidak bisa membuat Mas Hilman menjaga setianya padaku. Bagaimana respon yang diberikan olehnya jika sampai tahu?"Nuri pergi dulu ya, Bu. Besok Nuri datang lagi," pamit Mbak Nuri pada Ibu sembari mengecup punggung tangannya.Sementara Ibu hanya menganggukkan kepala sembari mengusap lembut puncak kepala Mbak Nuri. Hal yang selalu Ibu lakukan pada anak-anaknya walaupun mereka sudah dewasa, Ibu juga melakukan hal yang sama padaku, menantunya.Selama menikah dengan Mas Hilman, aku sangat dekat dengan Ibu. Beliau seorang single parent yang membesarkan Mas Hilma
Pagi ini, aku sudah sibuk berkutat di dapur membuatkan bubur untuk sarapan Ibu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin.Aku mengurus sendiri saat Ibu akan pulang ke rumah, sementara Mas Hilman entah ada di mana. Sejak aku meninggalkannya di kantin rumah sakit, aku sudah tidak melihat batang hidungnya lagi.Mungkin dia sedang berada di rumah Linda, maduku yang kaya raya itu. Aku tersenyum miris mengingat jika ternyata aku memiliki madu. Pernikahanku dengan Mas Hilman baru seumur jagung, tapi dia sudah menghadirkan madu untukku. Miris bukan?Siapa juga yang ingin memiliki madu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah membayangkannya. Tapi sekarang semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak akan pernah bisa mengembalikan semuanya seperti semula.Ah, bubur untuk Ibu sudah selesai aku masak, aku harus segera menghidangkannya. Sebentar lagi sudah waktunya Ibu meminum obat.Aku pun mengambil mangkuk dan mengisinya dengan bubur, lalu setelahnya aku juga men
"Maafkan anak Ibu, Ra. Maafkan anak Ibu. Dia sudah menyakiti wanita sebaik dirimu. Dia sudah membuatmu terluka seperti ini," ucap Ibu sembari membingkai wajahku dengan kedua tangan hangatnya.Aku terharu mendengar ucapan Ibu, sungguh inilah yang membuatku berat berpisah dari Mas Hilman. Memiliki mertua sebaik Ibu merupakan anugerah tersendiri buatku.Tanganku perlahan meraih tangan Ibu dan mendekapnya di dada, "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin ini memang sudah takdirku. Aku ikhlas menjalaninya.""Aku merasa sangat bersalah padamu, Ra. Aku telah gagal mendidik Hilman hingga dia tega menyakitimu seperti ini."Aku menggeleng, "Tidak, ini bukan salah Ibu. Keadaanlah yang salah, Bu. Gemerlap harta telah membutakan Mas Hilman. Jadi Ibu tidaklah salah sama sekali."Ibu kembali menangis tersedu, entah sudah berapa lama Ibu menangis. Sejak tadi Ibu tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Kami berdua terlalu larut dalam kesedihan."Ada apa ini, kenapa kalian menangis? Apa Ibu sakit lagi?" Mas Hilma
"Pergi! Pergi kamu, Man. Ibu tidak sudi melihat wajahmu lagi!" tangis Ibu mengusir Mas Hilman.Sementara Mas Hilman hanya menangis melihat kemarahan Ibu. Dia nampak sedih, raut wajahnya terlihat sendu. Mungkin kesedihan Mas Hilman juga karena fakta yang Ibu sampaikan padanya.Sejauh aku mengenal Mas Hilman, dia termasuk lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya. Mas Hilman juga sosok anak yang sangat dekat dengan sang Ibu. Dia juga tidak pernah melawan apapun yang Ibu katakan.Dapat aku bayangkan bagaimana perasaan Mas Hilman yang pasti menyesal telah menyakiti Ibu yang sangat disayanginya itu.Aku menghela nafas panjang, semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir jika aku jujur pada Ibu, aku akan dengan mudah berpisah dari Mas Hilman. Tapi semua malah menjadi rumit seperti ini. Ternyata aku malah membuka luka lama Ibu. Takdir memang terkadang mempermainkan kita seperti ini."Ra, tolong bujuk Ibu. Tolonglah aku, aku tidak bisa menerima kemarahan Ibu seperti ini," ratap