“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.”
“Licik gimana?”
“Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.”
Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya.
Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali.
***
Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia.
Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan.
Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia.
“Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar.
“Tidak usah pusing kata tetangga yang penting senang.”
Vidia tersenyum, mereka kemudian melangkah masuk kamar. Aku seakan tak kasat mata. Hati ini seketika terbakar api cemburu.
Seorang lelaki dan perempuan bukan mahram masuk kamar, hal apa lago yang dilakukan jika bukan ... huh. Apalagi Vidia mengenakan dress yang menampilkan sedikit dadanya.
Aku mencoba membuka pintu perlahan, ternyata tidak dikunci. “Fer!” teriakku saat mendapati mereka saling berpelukan.
“Ferdila!”
“Apa?”
Aku melangkah mendekat, lalu mendaratkan telapak tangan tepat pada pipi kirinya. “Keterlaluan kamu!”
“Lusa kami akan menikah, apa salahnya berpelukan?”
“Kalian belum sah! Kamu benar-benar keterlaluan, Fer. Kamu sudah tahu ada aku di rumah ini, tetapi beraninya pelukan dalam kamar tanpa mengunci pintu lebih dulu!”
Vidia dengan cepat mengecup bibir Ferdila. Meski sekilas, tetap saja itu melukai hati. “Yang kayak gini saja sudah sering kami lakukan, Din. Lalu apa salahnya kalau pelukan?”
“A-apa?”
“Iya, Din. Ferdila bahkan menganggap aku istrinya. Kalian sudah lama tidak tidur bersama, 'kan? Sejak saat itu pula Ferdila mencuri waktu untuk menginap di apartemenku.”
“F-fer?” Aku melangkah mundur. Kaki sepertinya tidak lagi berpijak pada lantai.
Air mata mengalir deras begitu melihat Ferdila diam tanpa kata. Dia tidak membela atau mencoba menenangkanku. Padahal jika benar sayang, tentu dia akan menjelaskan.
Aku ingin pergi dari sini hanya saja sudah malam. Tidak tahu juga harus melangkah ke mana. “Aku akan beritahu mama tentang pekhianatan ini, Fer!” ancamku.
“Tolong, jangan, Din!” Ferdila gegas melangkah dengan tatapan memohon. Lelaki ini sungguh aneh, tadi berdiri untuk Vidia sekarang memohon tanpa rasa bersalah.
“Kenapa? Kamu tidak ingin meninggalkan Vidia?”
“Maaf, aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena Ferdila harus bertanggung jawab,” jawab Vidia cepat.
Perempuan berambut pirang itu melangkah mendekat. Dia menyeringai. “Suami kamu sudah pernah tidur denganku. Bukan sekali, tetapi berulang kali hingga ada janin dalam rahimku.”
Mataku membulat sempurna. Kalimat itu seakan menjelma belati yang mengukir setiap inci tubuhku. Bukan hanya meninggalkan bekas, tetapi juga luka yang menohok hati.
“Aku sudah mengandung dua bulan. Makanya suami kamu yakin aku bisa memberinya anak. Kami melakukannya dengan baik.”
“Fer! Kamu berzina dengan Vidia?!” Suaraku meninggi seketika. Tangan gemetar karena emosi yang terlalu meluap.
“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan, Din.”
Aku tertawa keras. “Tidak seperti yang aku bayangkan? Memangnya kamu tahu apa yang aku bayangkan?”
“Kamu–”
“Sudah! Jelas sekali kamu lelaki pezina! Tidak mungkin pacar kamu hamil tanpa berzina denganmu!”
“Iya, sudah berulang kali Ferdila tidur denganku.”
“Pel*cur!” hardikku padanya.
Vidia menjambak rambutku kasar, tentu aku balas menjambaknya. Hanya saja kalah karena dia lebih kuat. “Jika aku pel*cur yang dibayar sama laki-laki yang tidur denganku, maka kamu adalah perempuan gratisan!”
“Anj*ng!” teriak Vidia. Dia merogoh tas, lalu mengeluarkan rokok yang langsung dihisap setelah dibakar ujungnya.
Dia mengepulkan asap di wajahku. Ferdila hanya bisa diam. Lelaki itu lemah di hadapan Vidia. Ingin menampar lelaki itu, tetapi percuma.
***
Pagi ini aku sudah selesai memasak. Entah bagaimana rasa masakan karena perasaan tidak sedang bersahabat. Tadi malam mereka tidur dalam satu kamar yang sama, sedangkan aku di kamar tamu.
Bukan tidak marah, sudah berulang kali aku meronta karena tidak terima tetap saja gagal. Percuma karena Ferdila lebih memilih Vidia.
Mereka keluar kamar bersamaan. Aku yakin mereka sering melakukan banyak hal bersama layaknya suami istri. Kemeja Vidia sedikit terbuka di bagian dada. Wajahnya terlihat segar, begitu pun dengan Ferdila.
Mereka langsung duduk di meja makan. Belum saja menjadi istri, sudah bertingkah layaknya ratu. Aku tidak ingin berakhir tragis. Jika pun harus berpisah, semoga saja Ferdi yang kalah.
Mereka menyantap nasi goreng itu, dikunyah sesaat kemudian disemburkan. “Ardina!”
“Masakan kamu kenapa asin begini? Kamu gak bisa menakar garam, hah?!” bentak Ferdila, kemudian membanting kasar piring ke lantai.
“Pantas saja Ferdi nyari istri kedua, ternyata kamu gak becus! Mau dijadikan pembantu pun gak pantas!” tambah Vidia.
“Kalau kamu gak mau masak, bilang! Jangan beri kami makanan kucing. Kamu itu sudah enak numpang di sini, makan gratis tanpa harus kerja. Harusnya berterimakasih!” bentak Ferdila lagi.
“Cukup! Kamu pikir aku pembantu? Aku ini masih istri sah kamu, Fer. Aku berhak mendapatkan itu semua karena tugas kamu memberi nafkah. Lantas kenapa kamu malah merendahkanku? Di depan Vidia lagi,” balasku berapi-api, kemudian menatap Vidia. “Kamu juga! Belum jadi istri saja sudah belagu gitu!”
“Aku memang belum jadi istri sah Ferdila, tapi kamu tahu sendiri kalau suami kamu perlakukanku seperti seorang istri, kan?”
“Da–”
“Sudah!” potong Ferdila.
“Vidia Sayang. Ayo, kita berangkat sekarang!” ucap Ferdila lagi.
Mereka berlalu begitu saja. Sekarang aku kembali diberi tugas membersihkan nasi yang jatuh ke lantai. Perempuan mana yang bisa masak dengan baik sementara hatinya kacau karena hadirnya perempuan kedua?
Aku mengambil piring kosong dan melempar kasar. Rumah berserakan seperti kapal pecah. Mereka harus membayar atas luka yang ditorehkan dalam hatiku.
“Perlahan, tapi pasti aku akan bangkit untuk menjatuhkan kalian dengan cara yang tidak terduga. Berbuatlah sesukamu, meski Ferdi mengemis untuk kembali, aku tidak akan mau.”
“Memang aku tidak pandai urusan agama, tetapi tetap saja tidak ingin membangun rumah tangga dengan lelaki pezina.” Aku terus bermonolog.
Ponsel berdering, aku merogoh kantong daster dan melihat ada panggilan dari nomor tidak dikenal.
“Halo?” sapaku.
“Ardina, aku akan membunuhmu perlahan,” bisik seseorang di balik telepon.
“Membunuhku?”
Sebenarnya aku gemetar, hanya saja jika lemah meski lewat telepon akan terkesan kalah begitu mudah. Jika di dengar dari suara, bukan milik Vidia.
“Kamu siapa?” tanyaku lagi.
Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan. Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam. Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan. Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya. Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni. “Ada apa, Din?” “Besok Ferdila nika
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S
“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.“Kenapa?”“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.“Kamu menganc