Share

3. Kejutan

“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.”

“Licik gimana?”

“Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.”

Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya.

Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali.

***

Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia. 

Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan. 

Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia. 

“Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar.

“Tidak usah pusing kata tetangga yang penting senang.”

Vidia tersenyum, mereka kemudian melangkah masuk kamar. Aku seakan tak kasat mata. Hati ini seketika terbakar api cemburu.

Seorang lelaki dan perempuan bukan mahram masuk kamar, hal apa lago yang dilakukan jika bukan ... huh. Apalagi Vidia mengenakan dress yang menampilkan sedikit dadanya.

Aku mencoba membuka pintu perlahan, ternyata tidak dikunci. “Fer!” teriakku saat mendapati mereka saling berpelukan.

“Ferdila!”

“Apa?”

Aku melangkah mendekat, lalu mendaratkan telapak tangan tepat pada pipi kirinya. “Keterlaluan kamu!”

“Lusa kami akan menikah, apa salahnya berpelukan?”

“Kalian belum sah! Kamu benar-benar keterlaluan, Fer. Kamu sudah tahu ada aku di rumah ini, tetapi beraninya pelukan dalam kamar tanpa mengunci pintu lebih dulu!”

Vidia dengan cepat mengecup bibir Ferdila. Meski sekilas, tetap saja itu melukai hati. “Yang kayak gini saja sudah sering kami lakukan, Din. Lalu apa salahnya kalau pelukan?”

“A-apa?”

“Iya, Din. Ferdila bahkan menganggap aku istrinya. Kalian sudah lama tidak tidur bersama, 'kan? Sejak saat itu pula Ferdila mencuri waktu untuk menginap di apartemenku.”

“F-fer?” Aku melangkah mundur. Kaki sepertinya tidak lagi berpijak pada lantai. 

Air mata mengalir deras begitu melihat Ferdila diam tanpa kata. Dia tidak membela atau mencoba menenangkanku. Padahal jika benar sayang, tentu dia akan menjelaskan.

Aku ingin pergi dari sini hanya saja sudah malam. Tidak tahu juga harus melangkah ke mana. “Aku akan beritahu mama tentang pekhianatan ini, Fer!” ancamku.

“Tolong, jangan, Din!” Ferdila gegas melangkah dengan tatapan memohon. Lelaki ini sungguh aneh, tadi berdiri untuk Vidia sekarang memohon tanpa rasa bersalah.

“Kenapa? Kamu tidak ingin meninggalkan Vidia?”

“Maaf, aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena Ferdila harus bertanggung jawab,” jawab Vidia cepat.

Perempuan berambut pirang itu melangkah mendekat. Dia menyeringai. “Suami kamu sudah pernah tidur denganku. Bukan sekali, tetapi berulang kali hingga ada janin dalam rahimku.”

Mataku membulat sempurna. Kalimat itu seakan menjelma belati yang mengukir setiap inci tubuhku. Bukan hanya meninggalkan bekas, tetapi juga luka yang menohok hati.

“Aku sudah mengandung dua bulan. Makanya suami kamu yakin aku bisa memberinya anak. Kami melakukannya dengan baik.”

“Fer! Kamu berzina dengan Vidia?!” Suaraku meninggi seketika. Tangan gemetar karena emosi yang terlalu meluap.

“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan, Din.”

Aku tertawa keras. “Tidak seperti yang aku bayangkan? Memangnya kamu tahu apa yang aku bayangkan?”

“Kamu–”

“Sudah! Jelas sekali kamu lelaki pezina! Tidak mungkin pacar kamu hamil tanpa berzina denganmu!”

“Iya, sudah berulang kali Ferdila tidur denganku.”

“Pel*cur!” hardikku padanya.

Vidia menjambak rambutku kasar, tentu aku balas menjambaknya. Hanya saja kalah karena dia lebih kuat. “Jika aku pel*cur yang dibayar sama laki-laki yang tidur denganku, maka kamu adalah perempuan gratisan!”

“Anj*ng!” teriak Vidia. Dia merogoh tas, lalu mengeluarkan rokok yang langsung dihisap setelah dibakar ujungnya. 

Dia mengepulkan asap di wajahku. Ferdila hanya bisa diam. Lelaki itu lemah di hadapan Vidia. Ingin menampar lelaki itu, tetapi percuma.

***

Pagi ini aku sudah selesai memasak. Entah bagaimana rasa masakan karena perasaan tidak sedang bersahabat. Tadi malam mereka tidur dalam satu kamar yang sama, sedangkan aku di kamar tamu.

Bukan tidak marah, sudah berulang kali aku meronta karena tidak terima tetap saja gagal. Percuma karena Ferdila lebih memilih Vidia.

Mereka keluar kamar bersamaan. Aku yakin mereka sering melakukan banyak hal bersama layaknya suami istri. Kemeja Vidia sedikit terbuka di bagian dada. Wajahnya terlihat segar, begitu pun dengan Ferdila.

Mereka langsung duduk di meja makan. Belum saja menjadi istri, sudah bertingkah layaknya ratu. Aku tidak ingin berakhir tragis. Jika pun harus berpisah, semoga saja Ferdi yang kalah.

Mereka menyantap nasi goreng itu, dikunyah sesaat kemudian disemburkan. “Ardina!”

“Masakan kamu kenapa asin begini? Kamu gak bisa menakar garam, hah?!” bentak Ferdila, kemudian membanting kasar piring ke lantai.

“Pantas saja Ferdi nyari istri kedua, ternyata kamu gak becus! Mau dijadikan pembantu pun gak pantas!” tambah Vidia.

“Kalau kamu gak mau masak, bilang! Jangan beri kami makanan kucing. Kamu itu sudah enak numpang di sini, makan gratis tanpa harus kerja. Harusnya berterimakasih!” bentak Ferdila lagi.

“Cukup! Kamu pikir aku pembantu? Aku ini masih istri sah kamu, Fer. Aku berhak mendapatkan itu semua karena tugas kamu memberi nafkah. Lantas kenapa kamu malah merendahkanku? Di depan Vidia lagi,” balasku berapi-api, kemudian menatap Vidia. “Kamu juga! Belum jadi istri saja sudah belagu gitu!”

“Aku memang belum jadi istri sah Ferdila, tapi kamu tahu sendiri kalau suami kamu perlakukanku seperti seorang istri, kan?”

“Da–”

“Sudah!” potong Ferdila.

“Vidia Sayang. Ayo, kita berangkat sekarang!” ucap Ferdila lagi. 

Mereka berlalu begitu saja. Sekarang aku kembali diberi tugas membersihkan nasi yang jatuh ke lantai. Perempuan mana yang bisa masak dengan baik sementara hatinya kacau karena hadirnya perempuan kedua?

Aku mengambil piring kosong dan melempar kasar. Rumah berserakan seperti kapal pecah. Mereka harus membayar atas luka yang ditorehkan dalam hatiku.

“Perlahan, tapi pasti aku akan bangkit untuk menjatuhkan kalian dengan cara yang tidak terduga. Berbuatlah sesukamu, meski Ferdi mengemis untuk kembali, aku tidak akan mau.”

“Memang aku tidak pandai urusan agama, tetapi tetap saja tidak ingin membangun rumah tangga dengan lelaki pezina.” Aku terus bermonolog.

Ponsel berdering, aku merogoh kantong daster dan melihat ada panggilan dari nomor tidak dikenal. 

“Halo?” sapaku.

“Ardina, aku akan membunuhmu perlahan,” bisik seseorang di balik telepon.

“Membunuhku?”

Sebenarnya aku gemetar, hanya saja jika lemah meski lewat telepon akan terkesan kalah begitu mudah. Jika di dengar dari suara, bukan milik Vidia.

“Kamu siapa?” tanyaku lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cerita sampah dan g masuk akal. klu bikin cerita bikin yg sedikit berbobot. cerita apa yg dihasilkan otak dangkal dg istri sah yg g berguna dan kebanyakan drama. menyesal membacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status