Share

2. Pahit

Aku meraih ponsel dan mengirim pesan untuk Yuni. Untung saja hari ini libur sehingga tidak harus menunggunya pulang dari kantor. Dia memang tergolong dewasa dan pandai mengambil sikap terlebih saat dalam urusan percintaan.

Tersakiti berulang kali menjadikannya sangat berpengalaman. Yuni juga teman SMA Ferdila dan Vidia dulu. Mungkin dia tahu kelemahan mereka atau salah satunya saja.

Satu jam berlalu, dia sudah sampai. Aku harus menghilangkan pikiran tentang kemesraan Ferdila dahulu. Kami duduk saling berhadapan.

“Ada masalah apa, Din? Tumben banget kamu memintaku datang hari libur. Biasanya jalan-jalan sama Ferdi.”

“Itu dulu, Yun. Ferdi sudah punya perempuan lain. Kamu pasti gak nyangka siapa perempuan itu.” Aku menjawab setelah menarik napas panjang berulang kali.

“What?!”

“Iya, perempuan itu bernama Vidia.”

“Vidia Maida?!” Yuni terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya.

“Terus kamu diam aja gitu, gak ngelakuin apa-apa? Gak ada acara jambak-jambakan atau apa gitu, Din?”

“Tadi aku nampar Vidia, tapi Ferdila malah nampar balik dua kali pula. Harga diriku jatuh di depan pacarnya itu. Kamu tahu sendiri aku ini lemah apalagi soal perasaan. Aku juga mengira akan bisa sekuat perempuan lain, nyatanya tidak.”

“Jangan mau kalah, Din. Kalau Vidia bisa, kamu lebih bisa. Dia itu cuma perusak rumah tangga yang belum jadi istri.” Yuni memutar bola mata.

“Aku gak ada nyali berhadapan sama Vidia. Dia terlampau cantik bahkan nyaris sempurna. Lihat saja dia, kayak bule gitu.”

“Wajah cantik, postur tubuh indah, aroma tubuh yang harum,” tambahku merasa marah pada takdir.

“Dia bukan kayak bule, tapi emang bule. Orangtuanya masih asli Inggris, hanya saja mereka sudah lama di sini. Bahkan Vidia lahir dan besar di Indonesia. Namun, ada sesuatu yang mungkin bisa mencegah pernikahan mereka, Din.”

“Apa itu?” tanyaku penasaran. Yuni tersenyum seakan yakin pada jawabannya. Jantung berdegup cepat menantikan kalimat apa yang akan dihaturkan.

Jika cara yang Yuni berikan berhasil, aku akan melakukan sujud syukur pada Tuhan. Cinta pada Ferdila terlalu besar sampai aku rela melepas pekerjaan yang paling aku idamkan.

Kerja di salon besar dengan gaji yang lumayan. Memang penampilan sekarang dengan saat kerja dulu berbeda karena Ferdila jarang memberi jatah untuk shoping dan skincare, sedangkan dulu aku bisa beli apa saja untuk merawat diri.

“Kamu gak tahu karena gak satu SMA dengan Vidia. Ferdila juga gak tahu karena gak sekelas.”

“Iya, tapi apa?”

“Vidia itu non muslim, Din. Ayahnya juga mantan mafia. Aku yakin Ferdila gak akan mau sama Vidia.”

“Benarkah?”

“Iya, Din. Vidia dulu nolak suami kamu karena keyakinan mereka beda. Kamu tahu gak, Vidia itu ngerokok.”

Aku memutar otak. Pikiran menerawang jauh hingga teringat pada foto perempuan di ponsel Ferdi mengenakan mukenah, tetapi dia menutup wajah dengan al-qur'an. Jika itu bukan Vidia, lantas siapa?

“Nanti malam kalau Ferdi pulang dan kalian sudah ada di kamar, bicarakan ini baik-baik. Kalau tidak berhasil, aku akan membantumu mencari cara lain.”

“Makasih, ya. Aku percaya padamu, Yun.”

“Sama-sama. Aku doa supaya kamu kuat.”

Deru mobil terdengar jelas. Aku beranjak dari kursi dan mengintip di balik tirai jendela. Ferdila keluar bersama Vidia. Perempuan itu bergelayut manja di lengan suamiku.

“Ardina!” panggil Ferdila dengan sedikit berteriak.

“Gak usah teriak-teriak, Fer. Malu didengar Yuni.”

“Oh, ada Yuni. Pas banget bisa ngobrol bareng Vidia. Aku mau mandi dulu, gerah.”

“Fer! Aku mau bicara!”

“Oke, di kamar, ya,” jawab Ferdila sambil mencolek daguku.

Kami melangkah beriringan. Setibanya dalam kamar, Ferdila menutup rapat pintu dan menguncinya dua kali. 

“Ada apa, Sayang? Sepertinya kamu serius?”

Aku tidak bisa mengikuti saran Yuni untuk membicarakan nanti malam. Tidak ada yang bisa memastikan dia akan pulang malam ini. 

“Kamu yakin mau menikah dengan Vidia?” Pertanyaanku barusan melukai hati sendiri.

“Kamu cemburu?”

“Ya jelas aku cemburu. Aku ini masih istri kamu, Fer. Kamu gak nganggapku lagi apa?!”

“Tenang, Sayang.” Ferdila memegang kedua bahuku. Tatapannya berubah hangat. “Aku melakukan ini sebenarnya karena satu alasan.”

“Satu alasan?”

“Vidia itu orang kaya, tentu bisa membantu perekonomian kita. Dia juga ... dia juga mungkin bisa menjadi pelengkap bahagia keluarga kita.”

“Maksud kamu? Memangnya kita miskin melarat? Memangnya kita tidak bahagia?”

“Aku mau hidup mewah bergelimang harta. Bukan seperti ini. Kamu juga mandul, gak bisa beriku anak!”

Perempuan mana yang tidak merasa sakit hati dengan sikap suami yang seperti Ferdila? Aku tidak tahu melakukan dosa apa di masa lalu sehingga mendapat hukuman seperti ini.

Air mata tidak mampu dibendung. Dia jatuh membasahi pipi begitu deras. Ferdila tersenyum. Kedua tangannya menghapus air mataku. “Aku sayang sama kamu, Din.”

“Kamu sayang sama aku?”

“Iya.”

“Kamu sadar gak, sih, Fer. Kalimat kamu barusan itu melukai hatiku. Tidak, bahkan sejak pertama kamu mempertemukan aku dengan Vidia. Hati ini sudah hancur!”

“Vidia itu non muslim. Kamu gak mungkin menikahinya, 'kan?”

“Memangnya kenapa kalau dia non muslim? Yang penting bisa ngasih anak dan harta, kan?”

“Fer! Kamu yakin Vidia bisa ngasih kamu anak?”

“Iya, sangat yakin!”

“Kenapa?” Aku bertanya seperti ini untuk menghilangkan pikiran negatif yang terus merajai hati. 

Ferdila mengembus napas kasar. “Bersihkan pecahan kaca ini.”

Lelaki itu membuka pintu, lalu melangkah ke luar. Dia meraih tangan Vidia lembut dan membawanya pergi. Benar, hati Ferdi sudah dia kuasai sepenuhnya.

Baru saja kaki ini ingin mengejar mobil itu, Yuni gegas mencegah dengan memelukku dari belakang. Air mata semakin deras. Kenapa harus aku yang ditakdirkan seperti ini?

“Din, aku akan bantu kamu sampai semuanya selesai.”

“Kamu yakin?”

“Aku akan melakukan apa saja, Din,” jawab Yuni melepas pelukannya, kemudian melangkah pelan hingga kami berhadapan.

Mata perempuan itu merah. “Tadi aku sudah bicara dengan Vidia. Dia nanya alasan aku ke sini. Kami cerita sedikit hingga berhasil tukaran nomor telepon.”

“Kamu cerita sama dia?”

“Enggak, aku cari alasan lain.”

“Kamu yang minta nomor telepon Vidia?”

“Panjang ceritanya. Serahkan semua padaku, Din. Kalau kamu gak percaya, boleh saja.”

Aku mengusap wajah gusar. “Baiklah, aku percaya padamu. Semoga saja ada cara lain yang kamu temukan. Ferdila mungkin malam ini gak kembali, makanya tadi aku bahas tentang keyakinan Vidia yang berbeda. Namun, nihil.”

“Vidia memang bermental kuat. Kamu harus bisa mengalahkannya. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Jika saja cinta Ferdi tulus, maka bisa jadi Vidia yang berpura-pura.”

“Berpura-pura?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tau banyak kekurangan dan dianggap sampah tetap aja bertahan. punya pekerjaan tapi memilih jd irt demi cinta. apa yg bisa kau banggakan, g ada!! jelek,miskin,dungu,bucin dan g terawat. sempurna buat jd jongos
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status