Share

8. Madu Bar-Bar

Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.

Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.

“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.

“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”

“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”

“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”

“Istirahatlah.”

Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.

Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.

“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status