Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London.
Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia.
Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama.
Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen.
Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati.
Aku sengaja menggoda lelaki yang memang pernah menyatakan cinta padaku meski tahu dia sudah beristri. Ternyata dia tidak berubah, masih jatuh cinta mati.
Ferdila bahkan sering mencuri waktu untuk menemuiku atau beralasan ke luar kota padahal bermalam di apartemen milikku. Dia memang lelaki yang penurut.
Memang awalnya kami biasa saja saat berduaan, tetapi suatu malam saat Ferdila dalam keadaan mabuk, aku mencampur sesuatu dalam minumannya hingga terjadilah hal yang tidak diinginkan.
Memang bukan kali pertama aku melakukannya, tetapi rasanya benar berbeda. Ya, ini kali ke dua karena keperawananku direnggut oleh Falen–pacar saat kuliah hingga sekarang.
“Aku ingin melakukannya lagi bersamamu. Jika kamu hamil, aku janji akan bertanggung jawab,” ucap Ferdila pada malam selanjutnya.
“Apa yang menjamin kamu bertanggung jawab?”
“Kamu perempuan yang pintar, Vidia. Kamu tahu aku takluk di hadapanmu. Ayolah!”
Aku menyeringai, kemudian memberi anggukan. Itulah awal kebersamaan kami hingga Ferdila membawaku menemui Ardina–istrinya yang dikata mandul.
Sebenarnya sebelum bertemu Ferdila, aku punya pacar bahkan tidak pernah terucap kata putus hingga aku menjadi seorang istri. Ferdila yang malang, dia seperti masuk dalam kandang singa.
Ya, aku berencana mengambil semua hartanya. Untuk apa hidup lama bersama lelaki yang sudah memiliki istri.
Ferdila sering cerita kalau Ardina sangat mudah ditipu. Awalnya aku tidak percaya, tetapi saat melihat langsung. Haha, dia lebih dari kata bego.
Dikatai anj*ng saja dia tidak membalas, bahkan saat suaminya menikah malah hadir dan memberiku berlian. Perempuan aneh! Seharusnya ada acara jambak rambut.
Meski di hari pernikahanku dia merusak segalanya, tidak mengapa karena ada berlian yang jauh lebih berharga dari harga diri. Perempuan itu bodoh! Aku bahkan tidak usah bersusah payah untuk merebut Ferdila.
“Vidia!”
Aku yang sedang menikmati rokok menoleh. Rupanya Ferdila sudah rapi. Dia memang ada janji dengan Genta.
“Jangan banyak merokok apalagi kamu itu sedang hamil muda!”
“Memangnya kenapa? Lagian bisa buat lagi, kan? Rokok itu sesuatu yang istimewa, bisa menenangkan pikiran,” jawabku sambil mengangkat salah satu sudut bibir.
“Kamu tidak mau mendengarkanku?”
“Oke, oke! Aku berhenti merokok, tapi dengan satu syarat!” Aku berdiri, melangkah mendekat pada Ferdila.
“Apa?”
“Jangan pernah bercinta dengan Ardina.”
“Kalau kamu sedang libur?”
“Lebih baik on*ni.” Aku tersenyum kemudian mengedipkan mata.
Ferdila tersenyum sekilas, kemudian menatap pada Ardina yang sedang menyapu. Sekali lagi perempuan itu benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak bisa melarang aku untuk menghasut suami kami.
“Ya sudah, aku pergi. Kalian baik-baik di sini.”
***
Setelah makan siang, aku membiarkan Ardina mencuci piring. Dia memang sudah terlihat seperti pembantu hanya saja tidak pakai daster kumuh.
“Kenapa kamu tidak mengalah saja?”
“Maksud kamu?”
“Kamu lihat sendiri, Ferdila sangat mencintaiku. Memang tadi malam dia tidur denganmu, tetapi percayalah dia membayangkan wajahku.”
Ardina terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Toh, kamu juga istrinya. Apalagi masih pengantin baru, sangat wajar untuk dimanja.”
“Aku bahkan ingin menjadi temanmu,” tambahnya setelah melap tangan karena piring sudah bersih semua.
“Untuk menjadi temanku ada satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kamu yakin akan melakukannya?”
“Iya, asal kamu menjadi temanku. Aku yakin kamu orang baik, Vid. Bahkan sangat pantas menjadi istri Ferdila.”
Aku terbahak sesaat. “Oke, oke. Sepertinya kamu nge-fans banget sama aku. Syaratnya mudah saja, jangan pernah melayani Ferdila meski dia meminta karena tugas itu hanya bisa dilakukan olehku. Kamu mengerti?”
“Baiklah, aku terima persyaratan itu. Sekarang apa kita bisa menjadi teman?”
“Tentu.” Aku menjawab singkat sambil terus tertawa. Ardina ini entah bodoh atau gila, dia sangat mudah dikalahkan.
Ah, bahkan jika ada seratus Ardina yang lain, maka aku siap melawannya. Bodoh, jelek, pendek!
“Kamu terlihat bahagia, Vid. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kamu terlalu cantik.”
'Cantik untuk dibuang ke laut.' lanjutku dalam hati.
“Terimakasih, Vid. Namun, kamu lebih cantik bahkan sangat cantik. Pantas saja Ferdila jatuh cinta mati. Aku iri padamu.”
“Oh iya kah? Hahaha.”
Ardina mengangguk.
“Ya sudah, aku ke kamar dulu. Kamu sekalian cuci pakaianku yang di keranjang kotor warna merah itu, ya!”
“Siap.”
Dalam kamar, aku meraih ponsel dan mencari nomor Shella untuk mengirim sms padanya.
Aku : Shel, sepertinya kamu tidak perlu susah payah menakut-nakuti Ardina, deh. Dia itu bego banget.
Shella : Are you sure?
Aku : Yes, i am sure! Bahkan tadi dia ngajakin aku berteman, diam ketika aku memerdayakan Ferdila dan rela mencuci baju yang sudah seminggu dalam keranjang.
Shella : Gobl*k emang. Kalau gitu aku tidak usah habiskan tenaga. Sekarang, lanjutkan misi kamu. Aku siap menjaga dari belakang.
Aku : Thank you so much, my cousin.
Shella : Haha, your welcome!
Hanya beberapa saat lagi dia akan pergi dari sini. Mudah saja jika aku ingin lebih cepat, tetapi sayang karena tidak ada pembantu gratis sepertinya.
Daripada mengeluarkan uang, lebih baik meminta Ardina untuk tetap tinggal. Meski dia mencoba untuk mendapatkan hati Ferdila kembali, tidak akan berhasil karena aku ada senjata.
“Semua ada dalam genggamanku dan tidak ada yang bisa merebutnya. Sekali saja Ferdila berkhianat dengan perempuan lain, maka statusnya akan langsung berubah jadi gelandangan!” monologku.
Aku mencari-cari nomor telepon Ferdila. Panggilan tersambung selang dua menit.
“Halo, Vid. Ada apa?”
“Aku ... a-aku butuh kamu, Fer.”
“Kamu nangis? Kenapa?”
“Ardina tidak mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, dia malah asik main hp sambil ketawa.” Aku menjawab lirih.
“Durhaka memang si Dina itu. Oke, nanti kalau aku pulang bakal marahin dia. Kamu tenang, ya, masuk kamar sekarang.”
“I-iya ... aw!” pekikku, lalu memutus sambungan telepon.
Terimakasih bagi kalian yang berkenan membaca cerita saya. Meski tentang pelakor, tapi yakinlah kalau nanti akan ada sesuatu yang bisa dipetik. Tentu hal bermanfaat.
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S
“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.“Kenapa?”“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.“Kamu menganc
“Genta, boleh minta nomor telepon kamu gak?”Lelaki yang baru saja menutup pintu kamar itu menoleh. “Boleh.”Dia pun menyebut sepuluh angka, kemudian tersenyum dan melangkah ke luar. Hari ini mereka bertiga harus ke kantor. Oke, aku memang seperti pembantu yang tinggal di rumah.Panggilan masuk dari Yuni.“Kamu ada rencana apa hari ini?”“Gak ada, bingung juga. Ada, sih, ngajakin Genta selingkuh.”“Ngajakin Genta selingkuh?”“Kamu kerja di perusahaan papa kamu, 'kan? Boloslah sehari. Bete, nih!”“Kamu pikir aku bisa bebas bolos? Tapi, yaudah, aku ke sana!”Hanya butuh waktu satu jam lebih, Yuni sudah ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia, seperti ada ide baru dalam pikirannya.“Kenapa senyum mulu? Kayak orang gila tau gak?”Bukannya berhenti, Yuni malah terbahak. Aku semakin kesal hingga terpaksa memutar bola ma
“Kamu memang berparas cantik juga seksi, tetapi aku sama sekali tidak tertarik padamu!” Genta menjawab tegas.Perempuan berambut pirang itu mengembuskan napas kasar berulang kali, kemudian berteriak. Dia seperti orang gila dan untuk menghindari kekacauan, aku melangkah masuk kamar dan mengunci pintu rapat.Ada sms dari Yuni yang menanyakan kejutan, aku membalas singkat sekaligus mengucapkan terimakasih. Air mata kembali berderai mengingat saat sebelum perempuan itu hadir.Hanya ada canda dan tawa di rumah ini. Ketenangan dan kedamaian menjadikannya seperti surga.Aku mengirim sms pada Genta agar dia tahu nomorku.Genta : Oke, aku save nomor kamu. Malam ini boleh kita bertemu diam-diam? Ada satu hal yang harus kita bicarakan.Aku : Boleh saja. Pukul 12 nanti, kita ketemu di belakang rumah.Tidak ada balasan lain, sekarang aku hanya harus mandi dan memakai wewangian agar lelaki itu terpesona dan berminat ikut dalam permainan
“Siapa di sana?” teriakku.Suara panci saling bersahutan. Aku melangkah dengan ragu-ragu, tidak lupa mengirim sms pada Genta untuk ikut membuka pintu.Genta : Tidak ada apa-apa di luar kamar.Sms balasan itu malah membuatku semakin penasaran. Aku membuka pintu lebar dan benar tidak ada orang atau panci yang tergeletak.Genta memberi isyarat untuk masuk kembali karena malam sudah semakin larut. Aku menurut saja. Pintu tertutup rapat. Seseorang tiba-tiba menyeretku kasar.Dia memakai pakaian serba hitam dengan wajah yang ditutupi topi. Kamar dalam keadaan gelap hanya ada bantuan sinar rembulan melalui cela ventilasi sehingga sulit mengenalinya.Dia membekap mulutku, kemudian membaringkan tubuh ini di tempat tidur. Kedua tanganku diikat paksa di kepala ranjang, kemudian entahlah.***Sinar mentari menembus masuk kamar. Aku menggeliat beberapa saat kemudian membuka mata. Kepala sedikit sakit, tetapi rasanya hilang
“Aku tidak yakin dia Shella atau bukan. Dia hanya mengerjaimu, jangan percaya padanya.”“Dia ingin menjebak kita?”Genta mengangguk. Hati sedikit panas mengetahui fakta ini. Untung saja Vidia tidak tahu aku bekerja sama dengan Genta sehingga dia tidak berhati-hati.Ceroboh! Dia menjatuhkan diri dalam kandang penuh singa lapar.Jam sudah menunjuk angka sepuluh, aku berniat menelepon Ferdila sesuai rencana Genta. Menurutnya tidak usah mengulur waktu sampai sepekan, semakin cepat semakin baik.Sementara aku menelepon Ferdila, Genta dengan sigap membakar habis sertifikat rumah dan tanah atas nama Vidia. Entah kapan Ferdila membuat sertifikat itu.“Tidak usah takut di rumah, ada Genta juga,” sahut Ferdila dari seberang telepon.“Justru karena ada Genta aku jadi takut, Fer.”“Aku percaya sama Genta, dia gak akan ganggu atau apa-apain kamu.”“Kalau aku diap