Beranda / Romansa / Maduku Sayang / 7. Aku Vidia Maida

Share

7. Aku Vidia Maida

Penulis: Bintu Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-30 17:56:06

Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London.

Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia.

Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama.

Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen.

Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati.

Aku sengaja menggoda lelaki yang memang pernah menyatakan cinta padaku meski tahu dia sudah beristri. Ternyata dia tidak berubah, masih jatuh cinta mati. 

Ferdila bahkan sering mencuri waktu untuk menemuiku atau beralasan ke luar kota padahal bermalam di apartemen milikku. Dia memang lelaki yang penurut.

Memang awalnya kami biasa saja saat berduaan, tetapi suatu malam saat Ferdila dalam keadaan mabuk, aku mencampur sesuatu dalam minumannya hingga terjadilah hal yang tidak diinginkan.

Memang bukan kali pertama aku melakukannya, tetapi rasanya benar berbeda. Ya, ini kali ke dua karena keperawananku direnggut oleh Falen–pacar saat kuliah hingga sekarang.

“Aku ingin melakukannya lagi bersamamu. Jika kamu hamil, aku janji akan bertanggung jawab,” ucap Ferdila pada malam selanjutnya.

“Apa yang menjamin kamu bertanggung jawab?”

“Kamu perempuan yang pintar, Vidia. Kamu tahu aku takluk di hadapanmu. Ayolah!”

Aku menyeringai, kemudian memberi anggukan. Itulah awal kebersamaan kami hingga Ferdila membawaku menemui Ardina–istrinya yang dikata mandul.

Sebenarnya sebelum bertemu Ferdila, aku punya pacar bahkan tidak pernah terucap kata putus hingga aku menjadi seorang istri. Ferdila yang malang, dia seperti masuk dalam kandang singa.

Ya, aku berencana mengambil semua hartanya. Untuk apa hidup lama bersama lelaki yang sudah memiliki istri.

Ferdila sering cerita kalau Ardina sangat mudah ditipu. Awalnya aku tidak percaya, tetapi saat melihat langsung. Haha, dia lebih dari kata bego.

Dikatai anj*ng saja dia tidak membalas, bahkan saat suaminya menikah malah hadir dan memberiku berlian. Perempuan aneh! Seharusnya ada acara jambak rambut.

Meski di hari pernikahanku dia merusak segalanya, tidak mengapa karena ada berlian yang jauh lebih berharga dari harga diri. Perempuan itu bodoh! Aku bahkan tidak usah bersusah payah untuk merebut Ferdila.

“Vidia!”

Aku yang sedang menikmati rokok menoleh. Rupanya Ferdila sudah rapi. Dia memang ada janji dengan Genta.

“Jangan banyak merokok apalagi kamu itu sedang hamil muda!”

“Memangnya kenapa? Lagian bisa buat lagi, kan? Rokok itu sesuatu yang istimewa, bisa menenangkan pikiran,” jawabku sambil mengangkat salah satu sudut bibir.

“Kamu tidak mau mendengarkanku?”

“Oke, oke! Aku berhenti merokok, tapi dengan satu syarat!” Aku berdiri, melangkah mendekat pada Ferdila.

“Apa?”

“Jangan pernah bercinta dengan Ardina.” 

“Kalau kamu sedang libur?”

“Lebih baik on*ni.” Aku tersenyum kemudian mengedipkan mata.

Ferdila tersenyum sekilas, kemudian menatap pada Ardina yang sedang menyapu. Sekali lagi perempuan itu benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak bisa melarang aku untuk menghasut suami kami.

“Ya sudah, aku pergi. Kalian baik-baik di sini.”

***

Setelah makan siang, aku membiarkan Ardina mencuci piring. Dia memang sudah terlihat seperti pembantu hanya saja tidak pakai daster kumuh. 

“Kenapa kamu tidak mengalah saja?”

“Maksud kamu?”

“Kamu lihat sendiri, Ferdila sangat mencintaiku. Memang tadi malam dia tidur denganmu, tetapi percayalah dia membayangkan wajahku.”

Ardina terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Toh, kamu juga istrinya. Apalagi masih pengantin baru, sangat wajar untuk dimanja.”

“Aku bahkan ingin menjadi temanmu,” tambahnya setelah melap tangan karena piring sudah bersih semua.

“Untuk menjadi temanku ada satu syarat.”

“Apa itu?”

“Kamu yakin akan melakukannya?”

“Iya, asal kamu menjadi temanku. Aku yakin kamu orang baik, Vid. Bahkan sangat pantas menjadi istri Ferdila.”

Aku terbahak sesaat. “Oke, oke. Sepertinya kamu nge-fans banget sama aku. Syaratnya mudah saja, jangan pernah melayani Ferdila meski dia meminta karena tugas itu hanya bisa dilakukan olehku. Kamu mengerti?”

“Baiklah, aku terima persyaratan itu. Sekarang apa kita bisa menjadi teman?”

“Tentu.” Aku menjawab singkat sambil terus tertawa. Ardina ini entah bodoh atau gila, dia sangat mudah dikalahkan.

Ah, bahkan jika ada seratus Ardina yang lain, maka aku siap melawannya. Bodoh, jelek, pendek!

“Kamu terlihat bahagia, Vid. Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kamu terlalu cantik.”

'Cantik untuk dibuang ke laut.' lanjutku dalam hati.

“Terimakasih, Vid. Namun, kamu lebih cantik bahkan sangat cantik. Pantas saja Ferdila jatuh cinta mati. Aku iri padamu.”

“Oh iya kah? Hahaha.”

Ardina mengangguk.

“Ya sudah, aku ke kamar dulu. Kamu sekalian cuci pakaianku yang di keranjang kotor warna merah itu, ya!”

“Siap.”

Dalam kamar, aku meraih ponsel dan mencari nomor Shella untuk mengirim sms padanya.

Aku : Shel, sepertinya kamu tidak perlu susah payah menakut-nakuti Ardina, deh. Dia itu bego banget. 

Shella : Are you sure?

Aku : Yes, i am sure! Bahkan tadi dia ngajakin aku berteman, diam ketika aku memerdayakan Ferdila dan rela mencuci baju yang sudah seminggu dalam keranjang.

Shella : Gobl*k emang. Kalau gitu aku tidak usah habiskan tenaga. Sekarang, lanjutkan misi kamu. Aku siap menjaga dari belakang.

Aku : Thank you so much, my cousin.

Shella : Haha, your welcome!

Hanya beberapa saat lagi dia akan pergi dari sini. Mudah saja jika aku ingin lebih cepat, tetapi sayang karena tidak ada pembantu gratis sepertinya.

Daripada mengeluarkan uang, lebih baik meminta Ardina untuk tetap tinggal. Meski dia mencoba untuk mendapatkan hati Ferdila kembali, tidak akan berhasil karena aku ada senjata.

“Semua ada dalam genggamanku dan tidak ada yang bisa merebutnya. Sekali saja Ferdila berkhianat dengan perempuan lain, maka statusnya akan langsung berubah jadi gelandangan!” monologku.

Aku mencari-cari nomor telepon Ferdila. Panggilan tersambung selang dua menit.

“Halo, Vid. Ada apa?”

“Aku ... a-aku butuh kamu, Fer.”

“Kamu nangis? Kenapa?”

“Ardina tidak mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, dia malah asik main hp sambil ketawa.” Aku menjawab lirih.

“Durhaka memang si Dina itu. Oke, nanti kalau aku pulang bakal marahin dia. Kamu tenang, ya, masuk kamar sekarang.”

“I-iya ... aw!” pekikku, lalu memutus sambungan telepon.

Bintu Hasan

Terimakasih bagi kalian yang berkenan membaca cerita saya. Meski tentang pelakor, tapi yakinlah kalau nanti akan ada sesuatu yang bisa dipetik. Tentu hal bermanfaat.

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tuty Tumanggor
nggak enak banget baca kalimat, kami non muslim, nggak masalah bagi kami untuk memakai rok mini. Author nampak kali kurang pemahamaannya ttg non muslim. Dalam non muslim, ada perintah, tubuhmu adalah bait Allah, jadi jagalah kekudusannya. Jangan benturkan agama dong. Jadi Neg bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Maduku Sayang   144. Kasih Untuk Kekasih

    POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya

  • Maduku Sayang   143. Terungkap Semua

    POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D

  • Maduku Sayang   142. Wajah Baru

    POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V

  • Maduku Sayang   141. Rumah Sakit

    "Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se

  • Maduku Sayang   140. Mulut yang Robek

    Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo

  • Maduku Sayang   139. Klinik Aborsi

    "Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status