"Apa! Kau mandul?" teriak Selina di atas keterkejutannya ketika membaca laporan hasil pemeriksaan kesuburan.
Selina menggerakkan bola matanya ke arah Asha yang kini tengah menunduk dalam. Rasa panas perlahan menaik diselingi dengan kerutan tebal di dahi ketika tahu bahwa apa yang baru saja dibaca olehnya memanglah benar."Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di dalam keluarga Watson? Seorang menantunya bisa mengalami kemandulan," ujar Selina setelah melemparkan kertas yang telah ia remuk ke sembarang arah.Napasnya menderu hebat, panik memikirkan masalah besar yang baru saja menghampiri. Sedang Asha tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, lidahnya terlalu keluh walau sekedar mengatakan maaf.Belum juga bisa menemukan solusi, Selina mendesah kasar kemudian melemparkan bokongnya ke sofa. Wajahnya masih menyirat kepanikan dan kekhawatiran akan ancaman keluarga Watson yang tidak bisa melahirkan penerus.Beberapa saat kalut dalaSaat para lelaki mau berbini dua dan tdk dpt izin istri. Eh, Luke yang malah dpt tawaran lngsung dr istrinya, gak mau. Idaman bngt ga tuh? Hihi... Komen yah dan jgn lupa kasih vote sbnyk²nya. Ig: nurmala_author010
Kelopak mata yang masih tertutup itu terus berkedut lantaran cahaya memenuhi sekitaran mata. Perlahan kelopak itu naik hingga wajah yang masih tertidur pulas memenuhi netranya. Lelaki itu mengulas senyum saat matanya telah terbuka sempurna. Luke menggerakkan tangannya untuk memainkan rambut wanitanya dengan mata terus memandang lekat wajah itu. "Kau masih saja terlihat cantik meski tertidur," ucapnya pelan. Namun, siapa sangka. Kalimat itu malah membuat pipi sang wanita spontan memerah. Membuat lelaki itu menyatukan alis, belum sampai tiga detik, lelaki itu kembali mengangkat sudut bibirnya dengan alis telah terpisah. "Kenapa pipi istriku ini tiba-tiba memerah? Apa dia baru saja menguping pembicaraanku dan sedikit malu untuk membuka mata?" gumam Luke yang sebenarnya sedang menguji si wanita. Tidak bisa lagi menahan kepura-puraan, wanita itu menggeliat lalu membenamkan wajahnya ke dalam dada sang suami. Tentu saja mengundang tawa pelan
"Luke, bisa kita pergi sekarang?" Dua sejoli yang masih bergeming saling tatap itu pun mengerjap. Namun, Luke masih belum merubah posisinya. Asha melihat ke arah Ilona di belakang Luke dengan senyum kaku. Kernyitan tercipta di dahi Asha ketika Luke masih belum beranjak dan malah terus memandangnya. "Luke, kenapa kau masih terus mengurungku di sini? Kita harus segera pergi, bukan?" tanyanya. Untuk sesaat Luke masih bergeming dengan tatapan lembutnya. Setelah berusaha mengajak hatinya untuk kerja sama, akhirnya kepala itu mengangguk dengan berat. "Baiklah." Luke melepaskan tangannya dari mengunci tubuh istrinya. Kemudian Asha langsung beranjak ke pintu belakang dan membiarkan Ilona duduk di bangku depan. Namun, sebelum hal itu terjadi, suara bass si lelaki menghentikan setiap langkah dua wanita itu. "Asha, kau mau ke mana?" tanya Luke setelah membuka pintu depan sebelah pengemudi. "Tentu saja masuk ke mobil," jawabnya seraya telu
Asha mengalihkan perhatiannya ke deretan gaun di hadapannya setelah memastikan jika Ilona telah masuk ke ruangan ganti. Bibirnya terus melengkung tinggi saat ia mengamati satu per satu gaun yang dirancang dengan luar biasa. "Melihat semua gaun-gaun ini membuatku jadi teringat saat kita menikah dulu," ucap Asha dengan memori berputar saat tiga tahun yang lalu. Di mana sebuah gaun putih berkilauan terbalut di tubuhnya, berjalan anggun menuju altar. Seolah hari itu ia adalah ratu dari segala ratu, sungguh momen yang tidak akan pernah terlupakan. "Lihat, Luke. Bukankah gaun-gaun di sini begitu cantik. Rasanya aku ingin mencoba semua gaun ini," lanjutnya lagi dengan kekehan kecil. Saat keheningan masih menyapa, spontan kedua alisnya menyatu heran. "Luke, kau mendengarku. Akhh-" serunya meringis sembari mengelus dahi tepat saat tubuhnya berbalik. Netranya beranjak ke atas, terlihat sang pelaku memasang wajah tanpa dosa. Seakan perlakuannya tadi adalah hukum
Seorang lelaki berjas putih, berkali-kali memeriksa dengan teliti kaki di hadapannya. Tetapi, berkali-kali juga alisnya menyatu. Setelah menghembus napas panjang, lelaki itu mendesah dan menegakkan netranya ke arah pasien yang mengaku sakit kaki. "Nona, saya lihat, kaki Anda baik-baik saja. Tidak ada gejala memar ataupun terkilir. Lalu kenapa Anda menampakkan wajah kesakitan?" Tahu bahwa ia tidak akan bisa membohongi seorang dokter, Ilona akhirnya merubah wajah sejujurnya. "Benar, kaki saya memang tidak sakit." Spontan sang dokter langsung membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut. Selang beberapa saat ia kembali mengendurkan garis wajah dan menyingkirkan tangannya dari kaki tersebut. "Kenapa Anda berbohong, Nona? Saya yakin, orang seperti Anda tidak akan mungkin melakukan hal sia-sia seperti ini. Bukankah itu hanya membuang waktu?" Tampak Ilona berdecak samar seraya memutar bola matanya. Ia mengeluarkan oksigen dari paru
Selang beberapa saat berada di lift, kini ia telah menginjak lantai hotel yang ditujuinya. Namun, baru beberapa langkah kakinya mengayun. Tiba-tiba ia berhenti saat otaknya mengingat sesuatu, mulutnya terbuka lebar seraya menepuk jidatnya karena menyadari kelalaiannya. "Ah, ya ampun. Kenapa aku bisa lupa memberitahu Luke." Tanpa pikir panjang, ia langsung merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Namun kemalangan kembali menghampirinya ketika layar dihadapannya mendadak redup dan dalam hitungan detik layar itu benar-benar telah menghitam. Suara desahan spontan berembus dari mulutnya. "Akkhh, kenapa malah mati di waktu yang tidak tepat," ringisnya seraya menggigit bibir. Sejenak berpikir. Ia akhirnya menarik napas dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri. "Luke pasti mengerti. Aku pergi untuk membantu Kak Ilona. Jika ia masih marah, terpaksa aku harus mengeluarkan jurus andalanku," gumamnya dengan senyum tipis di bibir. Setelah itu ia kemba
"Luke?" seru Asha dengan mata melebar. Sang suami tidak menyahut dan hanya melemparkan tatapan tajam ke arah lelaki kurang ajar yang berani mendekati istrinya. Sama halnya dengan Asha, lelaki itu sempat terkejut. Lalu menarik kembali wajahnya agar berdiri dengan tegap. "Istrimu? Kalian sudah menikah?" tanya si lelaki yang akhirnya berhasil mengeluarkan pita suara yang sempat tercekat di dalam tenggorokan. Ada nada sedih terselip di sana, mengharapkan penyangkalan dari pertanyaannya. "Menurutmu? Apa ada lelaki yang suka jika melihat istrinya dekat dengan lelaki lain?" Luke semakin mempertajam tatapannya. Asha tersentak ketika sang suami menarik tubuhnya lebih dekat. Dengan wajah beku menahan napas, ia mendongak. Terlihat rahang di hadapannya mengeras. Tahu bahwa kemarahan akan meningkat. Asha mencoba mengurai garis wajahnya yang kaku dan mengulas senyum manis seraya mengalungkan tangannya di lengan sang suami. "Benar, kami sudah m
Selang beberapa saat menampilkan raut sedih, berharap sang suami hendak membujuk. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Asha menarik bola matanya ke atas, mengintip dari celah pelupuk. Terlihat Luke memalingkan wajahnya dengan tampang datar. "Eohh, bukankah itu hanya masalah kecil. Kenapa kau terus marah padaku? Bukankah aku sudah meminta maaf dan mengakui kesalahan?" Asha menarik wajah Luke agar menatap matanya. "Kau bilang masalah kecil? Melihat istrinya jalan dan begitu dekat dengan pria lain dikatakan masalah kecil. Dan bahkan istrinya tak segan-segan memuji ketampanan pria lain," sungut Luke seraya melepaskan tangan Asha dari wajahnya lalu kembali berpaling. Tahu ternyata suaminya marah karena cemburu. Asha diam-diam melengkungkan bibir, bahkan ia tidak bisa menahan tawa ketika sang suami semakin menambah garis kesal di wajahnya. "Kenapa kau tertawa? Asha, kau mengerti atau tidak jika suamimu ini sedang marah."
"Jadi, kau benar-benar akan menikah dengan Luke. Luke Watson, teman kuliah kita?" tanya Julian yang masih belum mempercayai cerita Ilona yang kini terlihat begitu santai dengan sesekali meneguk bir di tangannya. Wanita itu hanya mengangguk singkat seraya memutar-mutar gelas di tangannya. Namun, belum membuat si empu mengurai kerutan. "Ilona, Asha adalah adikmu sendiri. Kau tega ingin merebut Luke darinya?" Kalimat itu menghentikan pergerakan pada tangan Ilona. Sejenak bergeming, kemudian ia meletakkan gelas itu ke meja kaca sedikit kasar. "Perhatikan ucapanmu itu! Aku tidak pernah merebut siapapun dari siapapun. Dialah merebutnya dariku, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintai Luke. Jika dia tidak ada, mungkin saja sekarang kami telah bersama dengan bahagia," ketus Ilona dengan mata yang mulai memerah. Napasnya mulai memburu bersamaan dengan gejolak dalam dada yang semakin meningkat. "Tidak ada yang namanya mungkin, Il. Ini semua su