Pria bertopeng masuk ke kamarnya dengan memanjat tembok balkon kamar, ia lalu masuk melalui jendela kamar. Pria bertopeng itu mengubah penampilannya menjadi orang yang lemah dan begitu menyedihkan. Ia duduk di kursi roda dan wajah monsternya memasang sebuah wajah yang penuh kesedihan. "Tuan anda sudah kembali?" tanya Jonathan, yang selama ini menjadi orang kepercayaannya. "Hmm ...," jawab singkat pria bertopeng yang ternyata ia adalah Gilbert. Gilbert pria lumpuh berwajah monster, ia kini sedang berpura-pura menjadi orang yang lemah demi mengelabuhi orang yang selalu menginginkan kematiannya. "Apa Paman Alfredo sudah datang?" tanya Gilbert. "Belum Tuan, mungkin sebentar lagi," jawab Jonathan sopan. "Bantu aku ke balkon," pinta Gilbert pada Jonathan. Jonathan mendorong kursi roda milik Gilbert ke balkon, ia kemudian mengunci kursi roda itu. Gilbert melihat ke luar dengan mengedarkan pandangannya, motor yang ia gunakan sudah tidak terparkir di halaman. Pintu depan gerbang terb
Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Alfredo keluar dari ruang kerjanya, senyumannya terus terukir di bibirnya. Ia berjalan menaiki tangga satu demi satu, langkahnya begitu ringan. Beban yang selama ini akhirnya terlepas juga.Kematian Gilbert adalah kebahagian terbesarnya setelah ia menunggu sekian lama, Alfredo menyenandungkan lagu sebagai ungkapan kebahagiaannya."Selamat jalan keponakan tersayangku, akhirnya kamu menyusul kedua orang tuamu ke neraka," gumam Alfredo."Akhirnya aku bisa menikmati semua ini dengan tenang, kamu pasti merindukan kakak tiriku alias Ayahmu dan ingin segera berkumpul dengan mereka, tenang saja aku akan mengurus pemakan termegah yang pernah ada," ucap Alfredo sambil tersenyum.Ia memasuk kamar tidurnya, sudah lama ia tidak pernah menikmati tidur di ranjang empuk bersama istri sexynya. Ia mengganti bajunya dan mulai merangkak naik ke atas ranjang. Ia mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan baju tidur yang tipis menerawang.Ia mulai meraba, menggerayangi tubuh istrinya yang sudah sejak la
Alfredo tampak panik, wajahnya pucat. Darimana para direksi itu mendapatkan berita kematian Gilbert sang pewaris tunggal kerajaan bisnis milik ayahnya yang kini dipegang oleh Alfredo sebagai wali sahnya. Alfredo berdiri dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang sudah terhidang. Sisca mengikuti langkah suaminya dari belakang, ia mensejajarkan dirinya dengan Abraham. Sisca membisikkan sesuatu ke telinga Abraham yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Abraham. "Kita ke kantor sekarang!" perintah Alfredo tidak senang. Baru saja semalam ia tertawa bahagia karena penghalang terbesarnya selama ini sudah meninggal, tapi dipagi buta begini ia menerima berita yang membuat perutnya mual dan ingin muntah akibat kesal. Baginya jam 08.00 pagi masih pagi buta, ia bergegas masuk ke dalam mobil mewahnya. Semua fasilitas mewah yang ia miliki adalah milik Gilbert, keponakannya. "Katakan pada Siren untuk menyiapkan semuanya!" perintah Alfredo pada
Alfredo dan Abraham keluar dari ruangan tempat Alfredo bekerja, mereka menyusuri lorong dan melewati beberapa ruangan. Siren berjalan dibelakangnya mereka, ia berjalan tanpa ekspresi. Sorot mata yang tajam dan kejam terpancar, ia tidak terlihat seperti seorang sekertaris melainkan lebih terlihat seperti pembunuh yang kejam. Alfredo memasuki sebuah ruangan di sana sudah menunggu para dewan direksi dan pemegang saham, mereka menunggu dengan raut wajah cemas. Berita kematian Gilbert menyebabkan harga saham perusahaan turun secara drastis, itu sungguh membuat takut para pemegang saham. "Selamat pagi semuanya," sapa Alfredo pada semua orang yang hadir di sana. "Pagi," jawab mereka hambir serentak. Alfredo langsung duduk di kursi kebanggannya, sudah 20 tahun ia menikmati kedudukan sebagai CEO sekaligus wali dari pemegang saham terbesar milik Gilbert. "Rapat pemegang saham dan direksi kita mulai," ucap Alfredo serius. Siren maju kedepan dan ia membagikan sebuah kertas yang berisi lapo
Abraham terpanah melihat sorot tajam mata Siren yang tidak seperti biasanya, Abraham tidak percaya pada penglihatannya. Ia memalingkan wajahnya karena merasa ngeri saat menatap sorot mata tajam Siren bak sebuah tatapan yang siap menerkam musuhnya dan menghujaninya dengan ribuan anak panah yang siap menancap di sekujur tubuhnya. Membayangkan itu semua Abraham sampai bergidik, ia tidak pernah menyangka jika Siren mampu menampilkan sorot mata yang semengerikan itu. Namun begitu Abraham kembali menatap mata Siren, sorot mata tajam itu telah sirna. Kini mata Siren menampakan sebuah tatapan yang menenangkan dan begitu teduh seperti biasanya. Abraham sampai terheran-heran dengan perubahan yang begitu cepat itu. "Apa aku salah lihat?" batin Abraham. "Tapi mana mungkin. aku melihatnya dengan begitu jelas. Bahkan sangat jelas, tapi perubahan itu terjadi hanya dalam hitungan detik saja. Kemampuan macam apa yang ia miliki?" kembali Abraham membatin. "Sudahlah! Mungkin aku yang benar-benar sa
Siren menyimpan disck itu di dalam tasnya, kemudian ia pun kembali bekerja lagi. Siren menyelesaikan tugas membuat laporan bulanan kinerja para direksi dan staffnya. Setiap bulan kinerja mereka akan diriview oleh perusahaan dan akan ada bonus untuk yang kinerjanya bagus. Saat Siren fokus mengetik, suara handphonenya berdering, ia pun merogoh tasnya. Siren melihat kontak Abraham yang terpampang di sana, ia pun menggulirnya ke atas. "Halo!" sapa Siren. "Apa yang terjadi ha! Kenapa harga saham perusahaan anjlok begitu drastis? Aku memintamu untuk mengawasi pergerakan saham dan melaporkannya padaku setiap menitnya bahkan jika mungkin setiap detiknya." sentak Abraham marah pada Siren. Siren tersenyum licik, tapi sejurus kemudian ia merubah mimik wajahnya menjadi sendu, ia mengubah nada bicaranya menjadi sangat menyedihkan. "Maafkan aku Pak, aku tidak bisa melakukan semua pekerjaan secara bersamaan, tanganku hanya ada dua, mata dan telingaku pun sama. Jika Bapak terus menuntutku untuk b
Siren menyusuri gang sempit sejurus kemudian menghilang, ia pergi menyelinap dengan kemampuannya. Ia kini sudah berada dalam sebuah mobil van.Siren merogoh tasnya, kemudian ia menyerahkan disk pada orang yang ada di sampingnya."Ini data perusahaan itu," ucap Siren sambil menyodorkan disk itu."Bagus! Kinerjamu sungguh luar biasa, pantas Tuanku begitu mempercayaimu dan begitu mengandalkanmu," ucap orang itu.Siren tak menanggapi ucapan laki-laki yang ada disampingnya itu, ia kini sibuk membuka semua atribut yang ada pada dirinya.Siren membuka wignya, lalu kontak lensa di matanya. Kini mata coklat madu itu nampak jelas, lalu ia merobek kulit wajahnya dan terpampanglah wajah La Rossa. ia membuka gigi palsunya dan menghapus lipstik di bibirnya.La Rossa membersihkan wajahnya dengan tissue, ia kemudian menoleh ke samping. Ada Jonathan sang asisten Gilbert."Berikan sisa pembayarannya," pinta La Rossa tegas."Katakan apa yan