"Aku sudah menikah, Maxime," ungkap Elia begitu sampai di hadapan Max. Keduanya bertemu di taman kota, tidak jauh dari coffe shop. Dahulu tempat itu juga sering didatangi keduanya, dalam kondisi perasaan yang masih indah tentunya, bukan konflik seperti saat ini. Pria itu sontak tertawa, "Aku tahu, tapi jika kau setia pada suamimu harusnya tidak perlu datang 'kan?" "Iya, tapi kedatanganku bertujuan untuk menegaskan padamu kalau aku sudah menikah, jadi ini mungkin kali terakhir kita bertemu diam-diam begini." Elia menggelengkan kepala dengan wajah memohon, sungguh hal ini juga berat baginya, "Jangan menggangguku lagi." Max menghentikan tawanya, sembari melirik sinis, "Aku tidak percaya kau akan mengatakan hal itu padaku, padahal dulu kita romantis sekali." Elia berdecak, tidak suka membahas masa-masa indah yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, karena itu hanya menyisakan memori menyakitkan yang sebenarnya tidak ingin dilupakan, "Langsung saja, apa yang mau kau jelaskan?" Sebe
"Selamat pagi, Maxime Millian, owner Max's Coffe Shop," pria itu, Max, mengulurkan tangannya sesaat setelah direktur perusahaan datang—yang tak lain ialah suami dari mantan kekasihnya sendiri. "Lawrence," balasnya singkat, tanpa berniat membalas jabatan tangan, "Mungkin diantara kita terselimuti rasa benci satu sama lain, tapi ku harap profesionalisme terus berjalan bagaimana semestinypa. Anda mengerti 'kan maksudku?" Max tersenyum miring sembari mengangkat tangan yang mendapati penolakan, "Tentu saja, aku tak ingin melibatkan perihal asmara ke dalam bisnis." Namun Ann menggantikan posisi Law sengan segera memabalas jabatan tangan Max dengan sopan sebagaimana pekerjaannya berlaku, "Annete, anda bisa hubungi saya jika ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut." "Aku ingin re-branding ini berjalan secepatnya," ungkap Max, mengangkat kaki ke atas meja pertemuan tanpa merasa harus bersikap sopan. "Baik, anda bisa segera kirimkan daftar target dan latar belakang Max's Coffe Shop agar ti
"Bunuh Maxime," ucap Liam telak. "Tunggu sebentar, jadi Maxime menyewa lima pembunuh bayaran langsung dari Narcist untuk mencelakai Lawrence?" Davine sontak menggebrak meja, tidak cukup percaya untuk mencerna informasi yang baru diterima, "Jadi dia sungguh melakukan itu untuk Elia?" "Ku rasa begitu." Liam meneguk alkohol dalam gelas kecil yang dituangkan oleh seorang bartender. Meski berada di bar yang ramai akan pengunjung, tidak ada kekhawatiran sedikitpun antara pembicaraan keduanya, para manusia bar selalu sibuk dengan diri sendiri tanpa mau mencampuri urusan orang lain, "Aku tak mau Lawrence mati, maka bunuh Maxime secepatnya agar permintaan ini tidak bisa diproses. Bagaimanapun aku tak mungkin menolak, karena masih ada yang berkuasa di atasku. Direktur Narcist tidak akan diam saja jika tahu aku abai terhadap tawaran ini, bisa-bisa jabatanku kembali turun." "Orang itu benar-benar tidak waras, dia tidak tahu saja siapa yang jadi lawan mainnya kali ini." Davine berdecak, masih ta
"Aku harus pergi ke Narcist, jadi selesaikan tugasmu sendiri. Target orang biasa, pasti mudah untukmu melakukannya." Liam menurunkan salah seorang anak buah dari Narcist yang amat ia percayai tak jauh dari kediaman Maxime, orang itu juga menjadi bagian dari para pemberontak yang tergabung dan berpihak padanya. Pria bertudung itu mengangguk, lantas mulai menjalankan aksi usai kepergian Liam. Sementara itu, tidak jauh dari keberadaan dua pria itu, Will dan beberapa orang telah bersiaga di dalam mobil, menanti momennya tiba. Will memeriksa kondisi sekitar, "Liam sudah pergi, kalian segeralah bersiap pada posisi." Empat orang lain yang diutus Will kemudian keluar, mulai pergi ke posisi masing-masing, tepatnya mengelilingi tiap sudut rumah Max. Sedangkan William berjalan santai menuju pria suruhan Liam yang tengah berusaha membobol jendela. Saat Will menepuk pundak, pria itu seketika melotot terkejut, "Tn. Will!" "Bukankah kita seharusnya ada pertemuan, mengapa kau berada di tempat in
"Bulan madu?" Elia sontak membelalak. Law membalikkan tubuh sang istri sampai telentang, lantas menempatkan diri diatasnya dengan posisi yang sangat amat intim, "Aku juga minta maaf lagi karena sejauh ini belum berani menyentuhmu, karena dulu aku berusaha memastikan kita berdua dalam kondisi yang saling menyukai dan sama-sama menginginkan, tapi sepertinya sekarang tidak lagi, bagaimanapun kita tetaplah pasangan sah." "Aku sejujurnya juga belum siap," sembari beringsut menjauh, Elia mencoba melepaskan diri dari kungkungan Law yang terlalu dekat, bahkan tubuh mereka saling menempel dan bisa merasakan bentuk eksotis dibalik pakaian masing-masing, "Aku masih takut." "Tidak apa-apa, nyamankan dirimu saja lebih dulu." Law tampak enggan beranjak dari tempatnya. Ia justru mencekal rahang Elia, "Cium aku." Elia tidak membalas, namun juga tidak berontak lagi sampai akhirnya Law yang lebih dulu mendaratkan bibirnya. Semula hanya kecupan ringan, namun semakin lama menjadi lumatan lebih intens
"Pria di depan." Max menahan pintu saat Law akan masuk ke kursi belakang bersama istrinya. Jelas, dia tidak akan sanggup melihat hal itu di depan mata. Law mencemooh, "Apakah ada aturan seperti itu saat naik mobil?" "Ini mobilku, sesuai keputusanku," ungkapnya kesal, "Lagipula perjalanannya jauh, kita harus bergantian menyetir." "Biar aku saja yang menyetir kalau begitu." Law mengalah seraya membanting pintu, "Pria sejati tidak memerlukan bantuan selagi bisa melakukannya" Dari pusat kota menuju lereng gunung memakan waktu dua jam lamanya, sehingga mereka sepakat berkendara bersama, sementara para pegawai memakai mobil travel besar untuk memudahkan perjalanan. Awalnya Max sendiri yang merekomendasikan hal itu, namun ia mulai menyesal karena harus mendengarkan kalimat-kalimat menyebalkan dari bibir Law, belum lagi ketika pria itu mulai menggoda. Dalam satu mobil tersebut—Lawrence, Maxime, Elia, dan Ann, terutama Max dan Ann hanya bisa pasrah mendengar percakapan Law yang seolah-ola
"Ada puluhan hektar kebun kopi di sini, namun berbeda-beda jenisnya. Semua kopi memang bagus, tapi anda harus percaya kalau jenis kopi milikku adalah unggulannya. Memang kalau soal harga sedikit lebih mahal, tapi itu sepadan dengan rasa dan kualitas yang didapatkan penikmatnya," seorang pria baya pemilik kebun kopi yang mereka tuju menjelaskan sejarah-sejarah singkat tentang kebunnya, dan jenis kopi yang dia tanam, secara detail. Pria itu tampak sudah akrab dengan Max, terlihat ketika dia merangkul bahunya dengan sangat bersahabat, "Aku juga tidak sembarang mengambil partner produsen, salah satunya Tn. Millian ini, mencakup keseluruhan latar belakangnya pun aku sudah tahu, jadi tidak khawatir dengan hasil produksinya nanti, sudah jelas akan berkualitas tinggi." "Tn. Danne ini sudah pakar soal kopi, aku banyak belajar darinya," ujar Max balas memuji. Ia kemudian memetik sebiji kopi untuk diberikan pada Ann—selaku orang yang mengamati sekaligus mencatat tiap detail informasi yang diteri
"Dimana Elia?" Law memutar kepala ke segala arah, mencari-cari keberadaan sang istri yang tak kunjung terlihat sejak beberapa saat lalu ia meninggalkannya bersama pegawai lain, "Mengapa dia tiba-tiba menghilang?" "Aku tadi melihatnya," sahut En yang baru datang ke perkemahan atas panggilan Law tentunya. Mereka sudah bersiaga dari ancaman Max sehingga ia mulai mendatangkan orang-orang pilihan yang menyamar sebagai tamu biasa, "Duduk saja, nanti juga kembali." En ikut megambil jatah makan malam para pegawai. Law menggerutu, "Biasanya tidak pernah menghilang selama ini." "Mau kemana?" tanya En sesaat setelah Law akhirnya memilih meninggalkan tempat. "Mencari Elia." En menggeleng maklum, mereka berdua tidak saling mencintai, tapi selalu butuh satu sama lain. Law lantas pergi ke kamar pribadinya, hanya saja Elia tidak ada di sana, hanya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Law tidak curiga karena Elia seringkali menaruh benda itu sembarangan seolah menunjukkan jika dia tida