Share

Bab 5 - Gaun & Tiara

"Pernikahan paling ku hindari akhirnya tiba tak lama lagi."

Satu bulan yang dihindari terasa amat singkat, entah bagaimana Elia bisa hadir di butik khusus untuk untuk merancang busana pengantin ketika semalam ia menangis habis-habisan memikirkan masa depan yang amat mengerikan.

"Ibu, kalau boleh jujur aku tidak ingin hidup, aku benci dilahirkan sebagai keluarga ini, maafkan aku bu."

Elia hampir menangis lagi saat melihat tubuhnya dari pantulan cermin—mengenakan gaun putih tulang lengkap aksesoris sederhana seperti tiara perak.

Di belakangnya, Lawrence tersenyum melihat pantulan tubuhnya sendiri yang dibalut tuxedo putih berpadu celana bahan warna senada. Elia sedikit heran, pria itu terlihat lebih mengagumi dan memperhatikan diri sendiri ketimbang calon pengantinnya—meski Elia tak berharap hal itu terjadi pula. Hanya saja sikap Law sedikit aneh.

Kebanyakan pria tak akan berhenti memuji, mengagumi, dan merayu pasangannya ketika sedang berpenampilan bak bidadari. Lawrence benar-benar tidak terduga.

"Oh, siapa peri yang berdiri di sini, aku tak menyadarinya sejak tadi."

Elia mendadak tegang ketika dihampiri, padahal ia tadi sudah seperti wanita gila yang minta diperhatikan. Lawrence ternyata memujinya, malu sekali karena sudah salah paham.

"Kau suka gaunnya?"

"Su-suka," suaranya bergetar gugup.

"Kalau begitu kita ambil ini saja, atau mau mencoba yang lain dulu?"

Elia spontan menggeleng, "Tidak perlu, ini saja sudah bagus."

"Aneh sekali, biasanya perempuan antusias jika diajak membeli pakaian dan heboh ketika memilihnya."

"Aku cuma... sudah suka yang ini."

Lawrence mengangguk, tak mau memperpanjang masalah karena tahu gadis itu sedang tidak baik-baik saja, "Baiklah, kita ambil gaun itu. Setelah ini mau pergi kemana?"

"Pulang."

"Pulang?" tanyanya kebingungan.

"Aku lelah."

Lawrence tanpa membantah, menyangkal, atau menahan, langsung menyetujuinya, "Oke, kita pulang."

•••

Usai mengunjungi butik, mereka sampai di rumah pukul delapan malam. Masih terlalu awal untuk ukuran pasangan yang sedang menghabiskan waktu bersama. Namun Elia tak peduli, dipasangnya selimut rapat-rapat ke sekujur tubuh hingga menutupi kepala.

Di dalam kegelapan ruang kamar tanpa cahaya, ditambah tertutup selimut tebal. Ia mulai merasakan jantungnya berdegup kencang—perlahan rasa sakit seperti ditusuk muncul. Reaksi berlebihan yang tubuhnya rasakan ketika merasa sedih dan gelisah.

Elia meremat telapak tangannya ketika rasa sakit mulai menjalar kemana-mana, bahkan salah satu lengan sampai tak dapat digerakkan karena terlalu nyeri.

Entah penyakit seperti apa yang diderita, tapi tubuh Elia selalu merasakan hal yang sama apabila perasaannya tengah kacau.

Gadis itu menumpahkan tangisnya dalam diam, meratapi bayang-bayang potongan kejadian menyedihkan yang tidak diharapkan, namun terus terlintas di kepala.

Kenapa ia harus lahir di keluarga tak normal? Mengapa keluarganya justru memperlakukannya seperti boneka yang hidup diatur sesuka hati? dan mengapa seluruh kegiatan penting dalam hidupnya seakan cuma permainan semata, seperti pernikahan kali ini...

Liam benar-benar memanfaatkan keberadaan anak perempuannya, dengan sangat berguna membantu mewujudkan pencapaian.

Apalagi anak perempuan itu cenderung penurut dan mudah ditaklukan atau ditakut-takuti. Satu-satunya senjata yang biasa digunakan Liam adalah ancaman. Sehingga tanpa sadar ia harus merusak mental Elia terlebih dahulu.

Liam sama sekali tidak tahu masalah mental putrinya. Walau Elia pun tidak berusaha menutup rapat.

Pria itu hanya menganggap pencari perhatian belaka untuk mendapat perhatian dan rasa kasihan.

"Berhenti menangis dan temani Law di luar," selimutnya ditarik, lampu pun menyala terang, memperlihatkan wajah Elia yang sembab, memerah, dan membengkak.

Tanpa bantahan, gadis itu beranjak berdiri sembari mengusap wajah. Ia hampir lupa kalau Lawrence masih ada di sini, dan tentunya tidak akan segera pergi sebelum mendapat obrolan dengan dirinya terlebih dulu.

Liam memandang datar pada bagian tubuh belakang putrinya yang berbalut gaun tanpa lengan dan lingkar dada rendah, di sana banyak memar dan bekas luka yang masih basah ataupun sudah kering. Ia ingat sekali beberapa hari lalu gadis itu jadi pelampiasan kemarahan Davine—ketika dia berusaha keras menolak pernikahannya dengan Lawrence.

Kondisi tubuhnya amat memprihatinkan.

Liam pun melempar jubahnya, mengenai kepala Elia—gadis itu langsung mengenakannya tanpa banyak bicara dan segera turun ke ruang tamu, setelah membasuh wajah untuk menghapus raut menyedihkannya.

"Law, maaf. Aku terlalu lelah sampai ketiduran saat ganti baju."

"Tidak apa-apa, Elia. Kalau lelah kembalilah tidur, aku masih di sini untuk mengobrol dengan ayahmu."

Elia memandang sekeliling sejenak, sebelum menarik Lawrence pergi menuju halaman belakang rumah. Tak banyak benda di sana, hanya ada padang rumput dikelilingi tanaman hias dan satu bangku taman menghadap ke kolam ikan dengan air mancur kecil. Dari tempat ini, Elia bisa melihat Liam mengawasi di lantai atas.

Ia berusaha abai dan lebih memperhatikan Law yang mengajaknya bicara.

"Kira-kira apa harapanmu kalau kita sudah menikah?"

"Hidup bahagia dan tidak banyak masalah. Ku harap kita bisa saling membantu apapun yang terjadi," balasnya spontan.

Lawrence tertawa, "Suka duka bersama, ya..."

Gadis itu sontak membalasnya ketus, "Maaf kalau aku bicara begini, tapi sepertinya kau bukan tipe orang yang bisa mengabulkan harapanku. Apa tebakanku benar?"

"Bicara apa kau ini, susah ataupun mudah, aku akan berusaha ikut mewujudkannya untukmu."

Elia makin memancing, "Bagaimana kalau suatu saat ada masalah di atara kita. Apa yang akan kau lakukan?"

Law tak langsung menjawab, dia justru balik bertanya, "Kau sendiri, bagaimana jawabanmu?"

"Aku... akan mencoba berdamai denganmu," nada bicara Elia terdengar tak meyakinkan.

"Kalau begitu jawabanku sama."

"Bagaimana jika masalahnya amat besar, sampai membuatmu kecewa berat padaku?"

"Aku akan tetap mencintaimu," pria itu mengalihkan pandangannya, tepat ke arah pandangan mata gadis yang berada tepat disampingnya. Pertemuan dua ikatan mata yang saling bertentangan, di mana si pria memiliki ambisi dan keinginan besar, sementara si wanita hanya menunjukkan harapan dan satu persen permintaan pertolongan.

Omong kosong, mustahil, keberadaannya di sini sebagai penghancur tak terdeteksi di kehidupan normal Lawrence. Sudah dapat dipastikan, jika semua keinginan Liam terencana, Elia akan jadi korban paling menyedihkan. Ia tidak akan diterima lagi oleh Law, lantas menyandang status janda muda setelah itu. Masa depannya yang dibayangkan indah, telah hancur dalam sesaat.

Elia tidak bisa membayangkan apakah Maxime masih bisa menjadi harapan jika kehidupannya saja terekspos kacau.

Tidak, Maxime orang baik yang juga pantas mendapat wanita baik pula.

"Tidak akan meninggalkanku?" gadis tu mengulang lagi ucapan Law.

"Tentu tidak, tapi kita akan sedikit memberi ruang pada masing-masing seiring masalahnya terselesaikan. Mana mungkin langsung berpisah 'kan, kita harus berpikir kedepannya karena barangkali ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan seperti anak misalnya."

Elia seketika menunduk, matanya terpejam. Seluruh kalimat itu terdengar amat tulus dan bijaksana, membuatnya merasa sangat bersalah karena orang sebaik Lawrence harus jadi korban jebakan Liam. Ia melirik pria itu dari ujung mata, rasa iba mendadak muncul menguasa pikiran dan perasaan, 'Aku takut terlalu percaya padamu, Law. Aku takut kalau akan jatuh cinta sungguhan padamu. Karena akhirnya kau pasti tetap membenciku.'

"Aku mengerti, pernikahan kita ini sebenarnya tidak murni saling suka. Di matamu ini pasti serupa perjodohan," ungkap Lawrence—dia sepertinya menyadari keterpaksaan yang di alami Elia, dan tak perlu di tebak pun gadis itu sudah menunjukkan secara terang-terangan, "Tapi aku berjanji akan membuatmu seperti ratu, kebahagiaanmu selalu terjamin."

Elia segera menggeleng, "Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu, aku juga mencintaimu, aku sama sekali tidak terbebani atapun terpaksa."

Pria itu justru tertawa, "Apa itu sungguhan?"

"Iya."

"Aku tidak melihat senyum ketulusan sama sekali." Lawrence menuding pipinya," kalau begitu beri aku hadiah kecil."

"Ti-tidak di sini!" Elia mendadak panik setelah beberapa saat dibuat kebingungan oleh 'kode' aneh itu.

"Kenapa? sedang sepi, tidak ada orang sama sekali." Lawrence memperlihatkannya pada sekeliling. Sosok Liam pun sudah tidak berdiri di depan jendela lantai atas.

"Nanti saja."

"Ayolah, hanya satu detik, setelah itu aku akan pergi," rayu Law.

"Belum saatnya."

Belum menyerah, pria itu malah mencondongkan tubuhnya, "Kalau begitu haruskah aku yang men—"

Elia yang panik sontak menangkup kedua sisi wajah Law, seperti kecepatan kilat ia memberi sentuhan bibir tepat ke permukaan kulit pipinya. Hanya berlangsung kurang dari satu detik, mungkin.

"Su-sudah, pu-pulang sana," pipinya mulai bersemu kemerahan, tanpa pikir panjang Elia segera berlari pergi meninggalkan Lawrence yang tersenyum puas.

"Mencoba menjebakku, tapi kau juga perlahan berjalan menuju jurang, sayang..."

To Be Continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status