Share

Bab 4 - Mantan Kekasih

"Pagi, Maxime," setelah beberapa saat terdiam di depan sebuah coffe shop, Elia akhirnya memberanikan diri masuk dan menyapa seorang barista sekaligus pemilik kedai tersebut. Pria itu adalah Maxime Millian, kekasihnya.

"Elia?" Maxime seketika langsung sumringah, ia lekas melepas apron dan topi untuk menghampiri kekasihnya yang telah lama dirindukan, "Ah, aku khawatir sekali setelah kau tak menghubungiku berhari-hari."

Gadis itu sontak menudukkan kepala sendu, merasa bersalah karena seolah menghilang dari kehidupan Maxime setelah tahu akan dijodohkan dengan orang lain, "Maaf... aku bingung."

"Kenapa? ada masalah apa?" Max menarik Elia duduk di bangku tepian, cukup jauh dari pelanggan lain. Ia sepenuhnya memberikan perhatian pada Elia, mengabaikan dua orang pegawai yang terlihat cukup kerepotan karena kedatangan pembeli berturut-turut.

Elia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah dua minggu lagi."

Sontak keheningan datang diantara keduanya. Elia tertunduk menyesal setelah berat hati harus mengatakan kalimat itu, sementara Max terdiam mencerna, ia tak yakin mendengar hal itu dari kekasihnya yang selalu dimabuk asmara ketika mereka bertemu. Elia yang ada di hadapannya, seperti bukan Elia yang dikenal.

Cukup sulit bagi keduanya yang sudah saling berkomitmen dalam hubungan selama lebih dari tiga tahun. Elia dan Maxime pertama kali bertemu di kegiatan orientasi kampus sebagai kenalan biasa yang sama sekali tidak akrab. Hingga akhirnya beberapa bulan kemudian mereka kembali bertemu dalam sebuah komunitas wirausaha di kampus yang sama, keduanya berakhir semakin dekat dan nyaman, sampai Max memberikan buket bunga pertama kepada gadis yang disukainya yaitu Elia. Mereka menjalani hubungan cukup serius sejak saat itu, bahkan tak jarang membicarakan soal pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang akan semakin menyenangkan jika dibayangkan.

Tidak disangka kalau kisah asmara keduanya akan berakhir tragis tanpa bisa bersatu. Baik Max maupun Elia sama-sama menjadi cinta pertama bagi satu sama lain, mereka cocok dan kompak dalam berbagai hal, bahkan selama tiga tahun menjalin hubungan, sangat jarang sekali terjadi percekcokan. Elia selalu memaklumi bagaimana sosok Maxime dan apapun hal yang dilakukan, sementara Max juga tidak pernah mengabaikan Elia sesibuk apapun dirinya dalam menjalani sesuatu.

"Tapi kenapa? bukankah kau berjanji mau menungguku sebentar lagi?" Max menunjukkan wajah memohon, "Cuma sampai aku lulus kuliah, sebentar lagi saja. Aku juga sudah mapan dan punya penghasilan lebih dari cukup untuk kita dari coffe shop ini."

Elia menggeleng, "Ayahku sudah mengatur perjodohan dengan pria pilihannya, aku tak bisa berbuat apapun."

Max menaruh telapaknya diatas kedua tangan Elia yang saling bertaut, "Baiklah kalau begitu malam ini juga aku akan datang ke rumahmu, kita bicara baik-baik dengan ayahmu."

"Tidak bisa, aku sudah mencoba berkali-kali," balas gadis itu pesimis. Selain itu, jika Maxime sampai datang ke rumah, Davine bisa saja langsung mengoyak tubuh dan menggerogoti habis jantung Max karena keberaniannya datang langsung ke kandang singa.

Namun tampaknya Max tidak peduli meski dirinya juga sudah tahu sebetapa mengerikan seorang Liam Carter, walau hanya lewat tatapan mata, "Maka kini giliranku sendiri yang bicara."

"Jangan, keputusan Ayah sudah mutlak, kau akan celaka kalau menentangnya," cegah Elia semakin khawatir kalau Max memang akan bertindak sungguhan.

"Tapi Elia ini bukan hanya tentang perasaan..."

Saat itu pintu depan coffe shop yang memiliki lonceng berbunyi, seseorang yang sama sekali tidak asing menarik pandangan Elia dari pembicaraannya dengan Maxime.

"Lawrence?"

Gadis itu sontak berdiri dari tempatnya dengan bola mata bergetar panik, seolah tertangkap basah telah melakukan sesuatu yang buruk.

Lawrence dengan senyum ramah menghampirinya dengan senyum lebar, "Elia, kebetulan yang sangat luar biasa kita bertemu di sini tanpa janji, tapi siapa... pria ini?" ekspresinya berubah sedikit maam setelah tahu ada 'sosok' lain yang menemani calon pengantinnya, terlebih itu seorang pria.

"Dia teman—"

Ucapannya dengan cepat dipotong oleh Maxime, ketika dia tampak menyadari kegugupan Elia, "Aku kekasihnya."

Law yang semula fokus pada Elia, memutar pandangan ke arah Maxime, "Aku tak percaya ini, tapi aku calon suami kekasihmu."

Maxime tersenyum miring, "Jadi dia orangnya, Elia?"

"Cukup, maafkan aku Maxime, kita harus mengakhirinya sekarang juga, aku tak mau urusannya jadi semakin panjang." Elia yang semula hanya diam akhirnya angkat bicara menjawab pertanyaan keduanya, "Lawrence calon suamiku dan kami akan menikah tak lama lagi, maaf tapi semoga kau bisa dapat wanita yang jauh lebih baik dariku."

Elia lantas pergi begitu saja sembari menarik Lawrence keluar dari coffe shop milik Maxime.

"Kenapa kau bisa ada di sini tiba-tiba? kau menguntitku?"

Law mengelak, "Ini tempat umum, semua orang juga tahu di sini coffe shop paling enak."

"Tidak mungkin, kau pasti mengikutiku dan memata-matai seluruh kegiatanku."

"Aku tidak segila itu, Elia." Lawrence mengubah pandangannya jadi sedikit lebih santai, tak mau terlihat mengerikan dihadapan calon pengantinnya, "Lagipula jujur saja tidak masalah, kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan pria barista itu, dan kita akan menikah sebentar lagi. Apa yang perlu ku takutkan jika pada akhirnya aku yang menang?"

Elia menghela napas kesal, melangkah menjauhi Lawrence.

Hanya saja tampaknya tidak akan semudah itu untuk pergi karena pria itu segera menarik pergelangan tangannya, "Akan ku antar."

Gadis itu hanya terdiam pasrah dan mengikuti kemanapun dirinya dibawa pergi.

To be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status