"Pagi, Maxime," setelah beberapa saat terdiam di depan sebuah coffe shop, Elia akhirnya memberanikan diri masuk dan menyapa seorang barista sekaligus pemilik kedai tersebut. Pria itu adalah Maxime Millian, kekasihnya.
"Elia?" Maxime seketika langsung sumringah, ia lekas melepas apron dan topi untuk menghampiri kekasihnya yang telah lama dirindukan, "Ah, aku khawatir sekali setelah kau tak menghubungiku berhari-hari."
Gadis itu sontak menudukkan kepala sendu, merasa bersalah karena seolah menghilang dari kehidupan Maxime setelah tahu akan dijodohkan dengan orang lain, "Maaf... aku bingung."
"Kenapa? ada masalah apa?" Max menarik Elia duduk di bangku tepian, cukup jauh dari pelanggan lain. Ia sepenuhnya memberikan perhatian pada Elia, mengabaikan dua orang pegawai yang terlihat cukup kerepotan karena kedatangan pembeli berturut-turut.
Elia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah dua minggu lagi."
Sontak keheningan datang diantara keduanya. Elia tertunduk menyesal setelah berat hati harus mengatakan kalimat itu, sementara Max terdiam mencerna, ia tak yakin mendengar hal itu dari kekasihnya yang selalu dimabuk asmara ketika mereka bertemu. Elia yang ada di hadapannya, seperti bukan Elia yang dikenal.
Cukup sulit bagi keduanya yang sudah saling berkomitmen dalam hubungan selama lebih dari tiga tahun. Elia dan Maxime pertama kali bertemu di kegiatan orientasi kampus sebagai kenalan biasa yang sama sekali tidak akrab. Hingga akhirnya beberapa bulan kemudian mereka kembali bertemu dalam sebuah komunitas wirausaha di kampus yang sama, keduanya berakhir semakin dekat dan nyaman, sampai Max memberikan buket bunga pertama kepada gadis yang disukainya yaitu Elia. Mereka menjalani hubungan cukup serius sejak saat itu, bahkan tak jarang membicarakan soal pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang akan semakin menyenangkan jika dibayangkan.
Tidak disangka kalau kisah asmara keduanya akan berakhir tragis tanpa bisa bersatu. Baik Max maupun Elia sama-sama menjadi cinta pertama bagi satu sama lain, mereka cocok dan kompak dalam berbagai hal, bahkan selama tiga tahun menjalin hubungan, sangat jarang sekali terjadi percekcokan. Elia selalu memaklumi bagaimana sosok Maxime dan apapun hal yang dilakukan, sementara Max juga tidak pernah mengabaikan Elia sesibuk apapun dirinya dalam menjalani sesuatu.
"Tapi kenapa? bukankah kau berjanji mau menungguku sebentar lagi?" Max menunjukkan wajah memohon, "Cuma sampai aku lulus kuliah, sebentar lagi saja. Aku juga sudah mapan dan punya penghasilan lebih dari cukup untuk kita dari coffe shop ini."
Elia menggeleng, "Ayahku sudah mengatur perjodohan dengan pria pilihannya, aku tak bisa berbuat apapun."
Max menaruh telapaknya diatas kedua tangan Elia yang saling bertaut, "Baiklah kalau begitu malam ini juga aku akan datang ke rumahmu, kita bicara baik-baik dengan ayahmu."
"Tidak bisa, aku sudah mencoba berkali-kali," balas gadis itu pesimis. Selain itu, jika Maxime sampai datang ke rumah, Davine bisa saja langsung mengoyak tubuh dan menggerogoti habis jantung Max karena keberaniannya datang langsung ke kandang singa.
Namun tampaknya Max tidak peduli meski dirinya juga sudah tahu sebetapa mengerikan seorang Liam Carter, walau hanya lewat tatapan mata, "Maka kini giliranku sendiri yang bicara."
"Jangan, keputusan Ayah sudah mutlak, kau akan celaka kalau menentangnya," cegah Elia semakin khawatir kalau Max memang akan bertindak sungguhan.
"Tapi Elia ini bukan hanya tentang perasaan..."
Saat itu pintu depan coffe shop yang memiliki lonceng berbunyi, seseorang yang sama sekali tidak asing menarik pandangan Elia dari pembicaraannya dengan Maxime.
"Lawrence?"
Gadis itu sontak berdiri dari tempatnya dengan bola mata bergetar panik, seolah tertangkap basah telah melakukan sesuatu yang buruk.
Lawrence dengan senyum ramah menghampirinya dengan senyum lebar, "Elia, kebetulan yang sangat luar biasa kita bertemu di sini tanpa janji, tapi siapa... pria ini?" ekspresinya berubah sedikit maam setelah tahu ada 'sosok' lain yang menemani calon pengantinnya, terlebih itu seorang pria.
"Dia teman—"
Ucapannya dengan cepat dipotong oleh Maxime, ketika dia tampak menyadari kegugupan Elia, "Aku kekasihnya."
Law yang semula fokus pada Elia, memutar pandangan ke arah Maxime, "Aku tak percaya ini, tapi aku calon suami kekasihmu."
Maxime tersenyum miring, "Jadi dia orangnya, Elia?"
"Cukup, maafkan aku Maxime, kita harus mengakhirinya sekarang juga, aku tak mau urusannya jadi semakin panjang." Elia yang semula hanya diam akhirnya angkat bicara menjawab pertanyaan keduanya, "Lawrence calon suamiku dan kami akan menikah tak lama lagi, maaf tapi semoga kau bisa dapat wanita yang jauh lebih baik dariku."
Elia lantas pergi begitu saja sembari menarik Lawrence keluar dari coffe shop milik Maxime.
"Kenapa kau bisa ada di sini tiba-tiba? kau menguntitku?"
Law mengelak, "Ini tempat umum, semua orang juga tahu di sini coffe shop paling enak."
"Tidak mungkin, kau pasti mengikutiku dan memata-matai seluruh kegiatanku."
"Aku tidak segila itu, Elia." Lawrence mengubah pandangannya jadi sedikit lebih santai, tak mau terlihat mengerikan dihadapan calon pengantinnya, "Lagipula jujur saja tidak masalah, kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan pria barista itu, dan kita akan menikah sebentar lagi. Apa yang perlu ku takutkan jika pada akhirnya aku yang menang?"
Elia menghela napas kesal, melangkah menjauhi Lawrence.
Hanya saja tampaknya tidak akan semudah itu untuk pergi karena pria itu segera menarik pergelangan tangannya, "Akan ku antar."
Gadis itu hanya terdiam pasrah dan mengikuti kemanapun dirinya dibawa pergi.
To be Continued...
"Pernikahan paling ku hindari akhirnya tiba tak lama lagi." Satu bulan yang dihindari terasa amat singkat, entah bagaimana Elia bisa hadir di butik khusus untuk untuk merancang busana pengantin ketika semalam ia menangis habis-habisan memikirkan masa depan yang amat mengerikan. "Ibu, kalau boleh jujur aku tidak ingin hidup, aku benci dilahirkan sebagai keluarga ini, maafkan aku bu." Elia hampir menangis lagi saat melihat tubuhnya dari pantulan cermin—mengenakan gaun putih tulang lengkap aksesoris sederhana seperti tiara perak. Di belakangnya, Lawrence tersenyum melihat pantulan tubuhnya sendiri yang dibalut tuxedo putih berpadu celana bahan warna senada. Elia sedikit heran, pria itu terlihat lebih mengagumi dan memperhatikan diri sendiri ketimbang calon pengantinnya—meski Elia tak berharap hal itu terjadi pula. Hanya saja sikap Law sedikit aneh. Kebanyakan pria tak akan berhenti memuji, mengagumi, dan merayu pasangannya ketika sedang berpenampilan bak bidadari. Lawrence benar-bena
Lawrence Rollan—pria itu tumbuh sedari kecil bersama keluarga asuh, berasal dari panti asuhan dan menjadi salah satu anak beruntung yang di angkat oleh keluarga kaya nan terpandang. Dididik menjadi lelaki berpendidikan dan penuh wibawa, menjadikannya sosok hebat diusia muda. Menjadi motivasi banyak orang, sehingga perlahan nama baiknya melambung populer di kalangan segala usia terutama anak muda. Sayang beberapa tahun lalu, kedua orang tua asuh Lawrence mengalami kecakaan lalu lintas yang mengakibatkan tragedi kematian, membuatnya kembali sebatang kara di dunia yang memandangnya sempurna. Tn. Rollan sepenuhnya memberikan kepemilikan atau warisan kepada Law karena tidak memiliki keturunan. Surat wasiat juga sudah disiapkan sejak lama, jauh sebelum tragedi kecelakaan terjadi. Aset rumah, tanah, apartemen, hotel, hingga perusahaan, kini telah menjadi milik Law sepenuhnya, ditambah ia memiliki company sendiri yang sudah berdiri sejak Tn. Rollan masih hidup. Perusahaan yang Lawrence pi
"Pernikahanmu dua jam lagi, bersiaplah." "Pastikan saja pengantinku agar tidak bertindak sembarangan menuju detik-detik hari kebahagiaannya." Lawrence tersenyum sinis, mulai merapikan surai hitamnya yang disisir rapi ke belakang. Belum sepenuhnya matahari terbit, belum pula cahaya bulan menghilang, pria itu sudah siap dengan pakaian formal berupa kemeja hitam berbalut tuxedo putih dan celana bahan warna senada. Terlalu awal untuk berias sebenarnya. Dia begitu sibuk merapikan penampilan dari ujung rambut sampai pangkal kaki agar terlihat sempurna dihadapan banyak orang pada hari pernikahan yang sakral ini. Will menyanggah, "Kalian sudah mulai dekat, apa itu masih belum meyakinkanmu kalau Elia bisa saja kabur?" "Kalaupun dia ingin kabur, itu hanya angan-angan semata, dia tidak akan pernah bisa membatalkan pernikahan ini, keadaannya terpojok." Law menoleh, tak sengaja mendapati raut buruk yang terpatri di wajah remaja muda itu, "Kau kenapa Will?" "Hanya prihatin pada Elia." Will meng
"Akhirnya selesai juga," helaan napas terdengar, begitu dasi yang melilit leher dilonggarkan beserta beberapa kancing kemeja bagian atas dilepas. Law memandang pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan bangga, "Aku muak berlama-lama di tempat itu. Menunjukkan senyum palsu dan menyambut orang asing adalah kegiatan paling menyebalkan di dunia." "Hanya karena tak betah di acara pernikahanmu sendiri, kau sampai membakar gedung dan membayar ganti ruginya sendiri, dasar gila," komentar Will. Keduanya kini tengah berada di rumah Lawrence, setelah insiden kebakaran besar tadi, ia segera memboyong orang-orang terdekat ke rumahnya, termasuk Elia beserta keluarga Carter. "Dari pada berkomentar tidak jelas, kenapa kau tak ambilkan istriku air dingin dan tenangkan dia." Will menyela tidak setuju, "Tunggu, itu harusnya kewajibanmu." Sontak, Law membalasnya dengan nada bantahan, "Kau berani menyuruhku?" "Lakukan kegiatan heroik di saat seperti ini, Elia pasti sangat terpuruk karena kegaga
19 tahun lalu"Selamat ulang tahun Nathan, semoga panjang umur," sebuah kue tiga tumpuk persegi dengan lilin berbentuk angka tujuh muncul sesaat setelah seorang anak lelaki memejamkan mata dengan erat. Kedua orang tuanya kompak melantunkan nyanyian ulang tahun khas anak-anak.Meski malam itu tengah hujan deras, sesekali disertai petir, sama sekali tidak menghalangi kebahagiaan keluarga kecil tersebut.Seorang anak perempuan yang lebih kecil berusaha mendekati kue milik sang kakak, "Aku mau tiup lilin!"Sang ibu langsung menengahi, "Tiup bersama-sama dengan kakak ya, ayo kita hitung, satu... dua... tiga..."Api kecil itu pun padam."Nathan sekarang sudah tujuh tahun, mau hadiah apa dari ayah dan ibu?" pria baya itu mengusap kepala putra sulungnya dengan lembut.Nathan tampak berpikir sejenak, ia sudah punya segala hal tanpa meminta dibelikan, tidak ada lagi benda yang diinginkan. Namun saat melihat riak air dari akuarium ikan di sudut kamar, ia teringat sesuatu, "Ayah berjanji mengajak
"Elia memasang penyadap suara di kamar kalian." "Berapa banyak?" Lawrence tertawa karena sebelumnya ia juga telah memasang penyadap suara sekaligus kamera pengintai di seluruh area rumah tanpa terkecuali. Lawrence sudah menyiapkan segala hal secara terperinci karena ia tahu Liam Carter juga punya rencana yang telah disiapkan, bahkan ia meminta salah satu tangan kanannya yaitu Enrique atau yang kerap dipanggil En untuk selalu memantau pergerakan Elia yang dirasa mencurigakan. Seperti saat ini, En tengah memantau Elia lewat kamera pengawas sembari melaporkan seluruh kegiatan yang mencurigakan pada Law. "Tiga, dibawah laci dekat ranjang, di belakang meja rias, dan di dalam cekungan lampu tidur." "Bagus, mari terus lihat perkembangannya kedepan, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang Carter itu." En terus memandangi kegiatan Elia, bahkan tidak peduli ketika gadis itu mulai melepas pakaian dan menggantinya dengan handuk. Ia hanya fokus dengan apa yang diperintahkan Law, "Belum jel
"Semoga tidak terjadi apapun malam ini." Elia bergumam dalam hati sembari memejamkan mata rapat. Sejak makan malam berakhir, Lawrence tak dapat menutup matanya sedetik pun, baik tubuh maupun pikiran dibuat tidak karuhan. Matanya sesekali melirik Elia yang tidur sembari memeluk perutnya, lekuk tubuh gadis itulah yang jadi sebab ketidakfokusannya. Entah sengaja atau tidak, Elia mengenakan piyama satin warna putih yang cukup tipis, bagian-bagian tubuhnya kelihatan jelas meski bentuk pakaian itu normal. Apalagi saat tubuh mereka bersentuhan secara langsung. Sebagai pria normal, Lawrence tentu tergoda. Ia tak pernah berpikir akan sampai seperti ini efeknya terhadap sekujur tubuh. Tak buang waktu, ia segera pergi berendam air dingin, tidak peduli kalau sekarang sudah pukul satu malam. Lawrence lantas menghubungi En untuk menanyakan cara mengatasinya. Meski belum menikah, En yang merupakan penggila gadis club tentu amat mengerti masalah seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang lebih suka
"Aku sudah menikah, Maxime," ungkap Elia begitu sampai di hadapan Max. Keduanya bertemu di taman kota, tidak jauh dari coffe shop. Dahulu tempat itu juga sering didatangi keduanya, dalam kondisi perasaan yang masih indah tentunya, bukan konflik seperti saat ini. Pria itu sontak tertawa, "Aku tahu, tapi jika kau setia pada suamimu harusnya tidak perlu datang 'kan?" "Iya, tapi kedatanganku bertujuan untuk menegaskan padamu kalau aku sudah menikah, jadi ini mungkin kali terakhir kita bertemu diam-diam begini." Elia menggelengkan kepala dengan wajah memohon, sungguh hal ini juga berat baginya, "Jangan menggangguku lagi." Max menghentikan tawanya, sembari melirik sinis, "Aku tidak percaya kau akan mengatakan hal itu padaku, padahal dulu kita romantis sekali." Elia berdecak, tidak suka membahas masa-masa indah yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, karena itu hanya menyisakan memori menyakitkan yang sebenarnya tidak ingin dilupakan, "Langsung saja, apa yang mau kau jelaskan?" Sebe