Beranda / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi

Share

Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi

Penulis: Bang Thor
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 17:20:28

Malam di kota itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Anton duduk di meja kecil di sudut warung kopinya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, lampu jalan yang redup menerangi trotoar yang basah setelah hujan sore tadi. Aroma kopi masih tercium samar di udara, bercampur dengan hawa dingin malam. Tapi pikiran Anton tidak berada di sana. Dia memikirkan Reza—dan pesan tersirat di balik aksinya menculik Rina.

Luki duduk di seberang meja, mengaduk kopinya dengan santai. "Jadi, lu beneran bakal ngasih peringatan?" tanyanya, menatap Anton dengan mata menyipit.

Anton menghela napas dalam. "Bukan soal peringatan. Ini soal memastikan mereka nggak nyoba ngulangin hal yang sama."

Luki tersenyum kecil. "Itu artinya lu bakal turun tangan langsung?"

Anton mengangkat alis, matanya bersinar dingin. "Kalau gua nggak turun tangan, mereka bakal pikir gua udah lemah."

Luki tertawa pelan. "Jadi siapa target pertama?"

Anton memandang Luki sejenak. "Kita mulai dari yang paling gampang ditemuin. Donny."

Donny adalah tangan kanan Reza—seorang eksekutor yang dikenal kejam dan tidak kenal ampun. Kalau Reza berani menyentuh Rina, pasti Donny ikut terlibat. Anton tahu kalau ingin mengirim pesan jelas, Donny adalah titik awal yang sempurna.

Anton berdiri, menyambar jaket kulitnya dari sandaran kursi. "Kita selesaikan ini malam ini."

Luki ikut berdiri, menyeringai lebar. "Gua udah kangen lihat lu beraksi."

Anton menatap Luki sebentar. "Jangan senang dulu. Ini bukan buat main-main."

Luki mengangkat bahu. "Terserah. Tapi gua nggak bakal ketinggalan momen ini."

Mereka berdua melangkah keluar dari warung kopi. Anton menutup pintu dan mengunci rapat. Dia menoleh ke arah Luki. "Donny biasa nongkrong di mana sekarang?"

Luki menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Klub malam di distrik timur. Dia ngurus bisnis di sana buat Reza. Kalau kita muncul di sana, mereka pasti langsung tahu kita nyari gara-gara."

Anton tersenyum dingin. "Itu yang gua harapkan."

Mereka masuk ke dalam mobil dan melaju ke distrik timur. Jalanan mulai ramai oleh orang-orang yang keluar menikmati malam. Lampu-lampu klub dan bar berkelap-kelip di sepanjang jalan, menciptakan suasana semu yang kontras dengan ketegangan yang Anton rasakan di dadanya.

Mobil berhenti di depan sebuah klub malam besar dengan papan neon merah menyala bertuliskan "Inferno." Musik bass berdentum keras dari dalam, membuat kaca mobil bergetar pelan. Dua penjaga berdiri di depan pintu masuk, tubuh mereka kekar dengan tatapan penuh waspada.

Anton dan Luki keluar dari mobil. Begitu penjaga melihat Anton, mereka langsung menegang. Salah satu dari mereka mencoba menghalangi jalan Anton, tapi Anton hanya menatapnya dingin. "Gua mau ketemu Donny."

Penjaga itu ragu sejenak. "Donny nggak nerima tamu malam ini."

Anton tersenyum tipis. "Kasih tahu Donny kalau Anton yang nyari dia."

Penjaga itu menelan ludah, lalu memberi isyarat pada temannya untuk masuk ke dalam. Anton dan Luki menunggu di depan pintu, tapi Anton tahu mereka tidak akan menunggu lama. Donny tahu siapa yang datang mencarinya, dan dia pasti cukup cerdas untuk tidak mengabaikannya.

Beberapa menit kemudian, penjaga itu kembali dan mengangguk pelan. "Masuk."

Anton dan Luki berjalan masuk ke dalam klub. Musik dan lampu berwarna-warni menyerang indra mereka. Lantai dansa penuh sesak oleh orang-orang yang menari, sementara asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara. Tapi Anton hanya fokus pada satu titik—ruang VIP di lantai dua.

Mereka menaiki tangga dan tiba di depan pintu kaca besar yang dijaga oleh dua orang bersenjata. Tanpa bicara, Anton membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Donny duduk di sofa kulit hitam, kaki terangkat ke atas meja, sebatang cerutu di tangannya. Di sampingnya, dua perempuan muda duduk sambil tertawa kecil. Donny melirik Anton dan Luki dengan ekspresi santai.

"Anton…" Donny menyeringai. "Gua nggak nyangka lu bakal muncul secepat ini."

Anton berjalan ke depan Donny, matanya menatap tajam. "Lepasin mereka."

Donny mengangkat alis. "Siapa?"

Anton menatap tajam ke arah dua perempuan di samping Donny. Keduanya langsung berdiri dan pergi tanpa banyak bicara. Begitu pintu tertutup, Anton mencondongkan tubuh ke arah Donny.

"Lu tahu kenapa gua di sini."

Donny tertawa kecil. "Kalau soal Rina, itu bukan urusan gua. Itu perintah dari Reza."

Anton menyipitkan mata. "Lu ikut ambil bagian?"

Donny mengangkat bahu. "Gua cuma jalankan perintah, Ton. Lu tahu gimana sistemnya di dunia ini."

Anton berdiri tegak. Dalam hitungan detik, dia menarik Donny dari sofa dan menghantamkan kepalanya ke meja kaca. Meja itu pecah seketika, membuat Donny berteriak kesakitan.

Luki berdiri di dekat pintu, mengamati dengan tenang.

Anton mencengkeram kerah Donny dan menarik wajahnya yang penuh pecahan kaca ke arahnya. "Dengar baik-baik, Don. Kalau lu atau Reza sentuh keluarga gua lagi, gua bakal bikin kalian berdua nyesel pernah lahir ke dunia ini."

Donny terbatuk, darah menetes dari dahinya. "Lu… nggak bakal bisa kabur dari dunia ini, Ton. Lu udah bagian dari ini semua."

Anton menatap Donny dalam-dalam. "Gua nggak butuh kabur. Tapi gua bisa pastiin kalau lu nggak bakal hidup cukup lama buat lihat gua jatuh."

Anton melepaskan Donny, membiarkan tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Donny mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang berdarah. Anton berbalik dan berjalan menuju pintu. Luki membuka pintu, menyeringai kecil. "Udah selesai?"

Anton menatap Donny sekali lagi. "Ini baru permulaan."

Saat mereka berjalan keluar dari klub, Anton bisa merasakan mata-mata orang di dalam klub tertuju padanya. Semua orang tahu siapa Anton. Semua orang tahu kalau Anton sudah pensiun. Tapi malam ini, mereka juga tahu satu hal baru—Anton masih sama seperti dulu.

Saat mereka kembali ke mobil, Luki menyalakan mesin. "Jadi, apa selanjutnya?"

Anton menatap keluar jendela, matanya dingin. "Selanjutnya, gua buat Reza nyesel karena nyentuh keluarga gua."

Luki tersenyum kecil. "Itu yang gua tunggu."

Mobil melaju pelan meninggalkan distrik timur. Anton tahu, ini baru awal dari perang yang akan datang. Tapi kali ini, dia tidak berjuang demi kekuasaan atau uang. Kali ini, dia berjuang demi keluarganya—dan untuk itu, dia siap menghabisi siapa saja yang berani menghalangi jalannya.

Malam itu, Anton sadar bahwa dia sudah kembali ke jalan lama. Tapi kali ini, dia yang pegang kendali penuh. Dan bagi siapa saja yang berani melawannya, hanya ada satu pilihan: tunduk atau hancur.

Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya di aspal yang masih basah, menciptakan kilauan samar yang menyelimuti suasana malam. Anton duduk di kursi penumpang, matanya menatap kosong ke jalan di depan. Luki di belakang kemudi, sesekali melirik Anton dari sudut mata.

"Ton, gua tahu lu nggak pernah takut sama siapa pun. Tapi gua juga tahu ini nggak bakal selesai cuma dengan bikin Donny babak belur."

Anton tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang, lalu memejamkan mata sejenak. "Gua tahu. Tapi ini bukan soal Reza atau Donny. Ini soal mereka yang pikir gua udah lemah."

Luki tertawa pelan. "Orang-orang mulai lupa siapa lu, Ton. Mereka pikir lu udah jadi warga sipil biasa."

Anton membuka matanya, sorot dingin di matanya kembali muncul. "Mungkin gua udah pensiun, tapi bukan berarti gua jadi orang lain. Kalau mereka pikir gua nggak punya nyali buat ngadepin mereka, mereka bakal tahu betapa salahnya pikiran itu."

Luki menyalakan rokok dan menyeringai. "Masalahnya, lu tahu dunia ini nggak bakal pernah benar-benar ngelepas lu, kan? Sekali lu masuk, lu nggak bisa keluar."

Anton menoleh ke arah Luki. "Kalau gua nggak bisa keluar, berarti gua harus bikin aturan baru."

Luki tertawa, embusan asap rokok keluar dari hidungnya. "Itu baru Anton yang gua kenal."

Saat mereka sampai di depan warung kopi, Anton turun dari mobil dan memandang bangunan kecil itu. Lampu di dalam masih menyala. Dari jendela, Anton bisa melihat Rina duduk di meja, tertidur dengan kepala tertunduk di atas lengannya. Wajahnya terlihat lelah, tapi tenang.

Anton berjalan masuk dan duduk di samping Rina. Dia menyentuh pelan rambut keponakannya, membuat Rina terbangun dengan tatapan mengantuk. "Om… udah pulang?"

Anton tersenyum kecil. "Udah. Om udah beresin urusan tadi."

Rina mengusap matanya. "Om nggak kenapa-kenapa, kan?"

Anton menggeleng. "Om baik-baik aja. Sekarang kamu tidur lagi."

Rina tersenyum kecil, lalu kembali menundukkan kepala dan tertidur. Anton memperhatikan wajah Rina yang damai, lalu menghela napas panjang. Dunia lamanya mungkin mencoba menariknya kembali, tapi Anton tahu sekarang dia memiliki alasan yang lebih besar untuk bertarung—Rina.

Luki masuk dan bersandar di ambang pintu. "Jadi, apa langkah selanjutnya?"

Anton menatap Luki sebentar, lalu berdiri. "Gua bakal kasih Reza waktu buat berpikir. Kalau dia cukup pintar, dia bakal ngerti pesan yang gua kasih lewat Donny."

Luki menyeringai. "Dan kalau dia nggak ngerti?"

Anton mengambil cangkir kopi di meja, menghirup pelan isinya, lalu menaruhnya kembali dengan suara pelan. "Kalau dia nggak ngerti, gua bakal datang lagi. Tapi kali ini, gua nggak bakal sekadar ngasih peringatan."

Anton berjalan menuju pintu dan memandang ke arah jalan yang gelap di luar. Dalam pikirannya, dia tahu ini belum selesai. Dunia bawah kota ini sedang bergolak, dan cepat atau lambat, semuanya akan meledak. Tapi Anton tidak takut. Dia sudah pernah melewati neraka sebelumnya—dan kalau dunia ini ingin membawanya kembali ke dalam kegelapan, Anton siap menyalakan api.

Di luar, angin malam berhembus pelan. Anton berdiri diam, matanya menyipit menatap ke kegelapan di ujung jalan. Luki berjalan ke sampingnya.

"Jadi, lu bakal perang lagi?"

Anton tersenyum tipis. "Kalau itu artinya gua bisa jaga orang-orang yang gua sayang… gua bakal perang sampai titik darah penghabisan."

Malam itu, Anton tahu satu hal pasti—dunia lama memang tidak akan pernah melepaskannya. Tapi kali ini, dia tidak akan jadi pion di permainan orang lain. Dia akan jadi pemain utama. Dan jika Reza atau siapa pun berpikir mereka bisa mengendalikan Anton, mereka akan belajar dengan cara yang paling brutal bahwa Si Tangan Besi masih memegang kendali penuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mafia Insyaf    Bab 32: Rumah yang Menyimpan Luka

    Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,

  • Mafia Insyaf    Bab 31: Suara yang Dilenyapkan

    Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan

  • Mafia Insyaf     Bab 30: Warisan Darah dan Bayangan Lama

    Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le

  • Mafia Insyaf    Bab 29: Sekutu Semu dan Musuh Tak Terlihat

    Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu

  • Mafia Insyaf    Bab 28: Ular di Ruang Rapat

    Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata

  • Mafia Insyaf    Bab 27: Dari Jaket Kulit ke Jas Armani

    Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status