Malam di dermaga itu masih terasa dingin di kulit Aurora, meskipun ia dan yang lainnya sudah berlari menjauh dari gudang tempat Nicolo mengkhianati mereka. Jantungnya masih berdebar keras, bukan hanya karena pelariannya, tapi juga karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap.
Nicolo, seseorang yang ia percayai, ternyata adalah pengkhianat. “Kita harus keluar dari sini,” ujar Lorenzo sambil menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengejar mereka. Leo menggenggam lengan Aurora dan menariknya menuju mobil. “Masuk!” perintahnya. Aurora menurut, meski pikirannya masih berusaha mencerna semuanya. Nicolo telah membunuh Giovanni sebelum pria itu sempat memberikan informasi lebih lanjut. Apa sebenarnya yang dia sembunyikan? Mobil melaju kencang menembus jalanan kota yang sepi. Lorenzo, yang mengemudi, melihat Leo melalui kaca spion. “Menurutmu, Nicolo bekerja untuk siapa?” Leo menghela napas panjang sebelum menjawab. “Jika dia sanggup membunuh Giovanni tanpa ragu, berarti dia punya agenda yang lebih besar.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku ingin tahu semua yang kita bisa tentang dia. Nicolo pasti punya motif sendiri.” Lorenzo mengangguk. “Kita bisa mulai dengan mencari koneksi lama Nicolo. Jika dia bermain di dua sisi, pasti ada jejaknya.” Leo menoleh ke Aurora. “Tapi sebelum itu, kau butuh istirahat.” Aurora menatapnya tajam. “Aku tidak bisa tidur ketika orang yang mengkhianati ayahku masih berkeliaran.” Leo tetap bersikeras. “Aurora, kau butuh energi. Kita tak tahu kapan kita harus bertarung lagi.” Aurora ingin membantah, tapi ia tahu Leo benar. Dengan enggan, ia mengangguk. “Baiklah. Tapi besok kita mulai berburu.” --- Mereka tiba di salah satu rumah persembunyian milik keluarga DeLuca, sebuah vila mewah di luar kota. Lorenzo memastikan keamanan tempat itu sebelum mereka masuk. Setelah mandi, Aurora duduk di balkon kamarnya, memandang langit malam. Angin malam membelai wajahnya, tapi itu tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Leo muncul di ambang pintu, bersandar di kusen dengan tangan di saku. “Tak bisa tidur?” Aurora menoleh dan menggeleng. “Terlalu banyak yang kupikirkan.” Leo melangkah mendekat. “Aku tahu ini berat bagimu. Tapi kita akan menemukan jawabannya.” Aurora menatapnya. “Aku ingin mempercayai itu, Leo. Tapi semakin dalam kita menggali, semakin berbahaya.” Leo duduk di kursi di sebelahnya. “Kau tak perlu melakukannya sendirian. Aku di sini.” Aurora tersenyum tipis. “Aku tahu.” Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Lalu, Leo berkata, “Tidurlah. Aku akan berjaga.” Aurora menghela napas dan akhirnya menurut. --- Keesokan paginya, mereka kembali ke kota dengan tujuan satu: menemukan jejak Nicolo. Lorenzo sudah menelusuri beberapa informasi dan menemukan bahwa Nicolo memiliki kontak dengan keluarga mafia lain, yakni keluarga Moretti. “Keluarga Moretti?” Aurora mengernyit. “Mereka punya sejarah panjang sebagai musuh ayahku.” Leo menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Mungkin Nicolo sudah lama bersekongkol dengan mereka.” Lorenzo meletakkan selembar foto di meja. “Ini adalah Ricardo Moretti, kepala keluarga mereka saat ini. Jika Nicolo bekerja dengan Moretti, kita harus bertemu dengannya.” Aurora menatap foto pria itu. “Dan bagaimana caranya?” Leo menyeringai. “Dengan cara kita.” --- Malamnya, mereka menyusup ke sebuah klub eksklusif yang dikenal sebagai markas operasi keluarga Moretti. Aurora mengenakan gaun hitam dengan belahan tinggi, sementara Leo dan Lorenzo mengenakan jas hitam yang membuat mereka terlihat seperti bagian dari dunia ini. Ketika mereka memasuki klub, suasana gemerlap menyambut mereka. Musik mengalun pelan, aroma cerutu memenuhi udara, dan orang-orang berpakaian mahal menikmati minuman mereka. Aurora berjalan dengan percaya diri, langsung menarik perhatian para tamu. Namun, matanya hanya tertuju pada satu sosok: Ricardo Moretti, yang duduk di sebuah sofa mewah di lantai atas, dikelilingi oleh pengawal. Lorenzo menyelipkan tangan ke sakunya. “Dia dikelilingi pengaman.” Leo menyeringai. “Bagaimana kalau kita buat sedikit gangguan?” Aurora mengangkat alis. “Kau punya ide?” Leo meneguk minumannya dan berbisik, “Percayalah padaku.” Tanpa memberi waktu bagi Aurora untuk bertanya lebih lanjut, Leo berjalan ke arah seorang pria berbadan besar yang tampaknya bekerja untuk Ricardo. Dalam sekejap, dia menyenggol pria itu dengan keras hingga minuman pria itu tumpah ke jas mahalnya. “Sial!” pria itu mengumpat dan langsung mendorong Leo. “Tenang, kawan,” Leo berkata dengan santai. “Aku tidak sengaja.” Namun, pria itu tampaknya tidak ingin damai. Ia mengayunkan tinjunya ke arah Leo, tetapi Leo dengan mudah menghindar dan membalas dengan satu pukulan telak ke rahangnya. Suasana langsung kacau. Orang-orang menoleh, dan para pengawal Ricardo bergerak untuk mengendalikan situasi. Sementara itu, Lorenzo mengambil kesempatan untuk menyelinap ke lantai atas, diikuti oleh Aurora. Saat mereka sampai di ruangan pribadi Ricardo, dua pengawal menghadang mereka. Aurora menarik napas dalam-dalam sebelum tersenyum dan mendekati mereka. “Aku ingin berbicara dengan Ricardo.” Salah satu pengawal menatapnya tajam. “Tuan Moretti tidak menerima tamu tanpa janji.” Aurora berpura-pura kecewa. “Sayang sekali. Aku hanya ingin memberinya informasi tentang Nicolo.” Mata pengawal itu sedikit berubah. Ia menatap rekannya sebelum berkata, “Tunggu di sini.” Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Ricardo Moretti menatap mereka dari dalam ruangan. “Masuk.” Aurora dan Lorenzo masuk ke dalam ruangan yang mewah dengan dekorasi klasik. Ricardo duduk di belakang meja kayu besar, menyesap anggurnya. “Aurora DeLuca,” katanya dengan nada santai. “Apa yang membawamu ke tempatku?” Aurora menatapnya tajam. “Aku ingin tahu tentang Nicolo.” Ricardo menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Nicolo? Dia pemain cerdas.” Aurora mengangkat dagunya. “Aku ingin tahu siapa yang menarik benangnya.” Ricardo tertawa kecil. “Kenapa aku harus memberitahumu?” Aurora mencondongkan tubuhnya. “Karena jika dia bisa mengkhianati ayahku, dia juga bisa mengkhianatimu.” Ricardo menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kau cerdas, Aurora.” Dia menyesap anggurnya lagi sebelum berkata, “Nicolo tidak hanya bekerja untuk Moretti… tapi juga seseorang yang lebih besar.” Aurora menegang. “Siapa?” Ricardo menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, “Antonio Vasquez.” Aurora mengerutkan kening. Nama itu asing baginya. Lorenzo terkejut. “Bos kartel dari Spanyol?” Ricardo mengangguk. “Nicolo bekerja untuknya. Jika kau ingin balas dendam, kau harus siap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari sekadar mafia Italia.” Aurora merasa darahnya berdesir. Ini lebih besar dari yang ia kira. Leo tiba-tiba masuk ke ruangan dengan nafas sedikit memburu. “Kita harus pergi. Sekarang.” Aurora tahu satu hal—permainan ini baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya. ---Dua hari telah berlalu sejak kehancuran The Core. Eden gempar. Informasi tentang proyek rahasia yang dijalankan oleh Sylvarin menyebar ke berbagai penjuru dunia. Media internasional memberitakan eksperimen biogenetik dan manipulasi manusia yang dilakukan oleh kelompok rahasia bernama Silsilah Pertama. Nama-nama lama yang selama ini hilang dari sejarah kembali mencuat.Namun, bagi Leo, kemenangan itu terasa sementara.Di markas utama, Leo berdiri di ruang strategi bersama Aurora, Rania, Matteo, dan Elena. Peta kota Eden terpampang di layar besar, diselimuti titik-titik merah yang terus bertambah.“Aku sudah periksa semua jalur komunikasi bawah tanah,” kata Rania. “Dan ini bukan hanya sisa-sisa pasukan Sylvarin. Ada pergerakan baru. Sistem mereka aktif kembali.”Aurora menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Rania menghela napas dan mengetuk layar. “Ada penyusup dalam sistem kita. Seseorang dari dalam mencoba merebut kembali kendali atas jaringan Eden. Aku tidak yakin siapa... tapi kode enkri
Langit di utara Eden dipenuhi awan kelabu, menandai bahwa malam ini bukan malam biasa. Konvoi kecil yang terdiri dari tiga kendaraan lapis baja berhenti di batas hutan mati—area terlarang yang bahkan oleh penjaga Eden dianggap sebagai “zona tak kembali.” Tapi di sanalah The Core—fasilitas rahasia tempat Sylvarin, sosok misterius dari Silsilah Pertama, menjalankan eksperimen genetika tanpa batas.Leo turun dari kendaraan, helm hitam dengan teknologi taktis terpasang rapat di kepalanya. Di belakangnya, Aurora mengecek perlengkapan tempurnya dengan tenang. Rania berada di mobil kedua, membawa peralatan enkripsi dan komunikasi. Elena dan Marco memimpin pasukan infiltrasi.“Sensor thermal menunjukkan jalur terowongan ini masih aktif,” ujar Rania sambil menatap tablet di tangannya. “Tapi sinyal gangguan sudah terasa. Kemungkinan besar kita akan buta begitu masuk.”Leo memandang lubang masuk kanal yang tertutup semak dan besi tua. Bau lembab dan karat menyengat dari dalam.“Kita masuk dalam
Kapsul kaca tempat Kirana Vale terbaring perlahan dibuka, disertai desisan udara yang dilepaskan dari sistem pengaman biologis. Di ruangan medis markas bawah tanah mereka, Rania dan dua teknisi bekerja cepat. Aurora berdiri tak jauh dari ranjang darurat, jari-jarinya saling menggenggam erat. Leo berada di sampingnya, matanya tak lepas dari sosok wanita yang mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran.“Kita berhasil menstabilkan tekanan darahnya,” kata Rania pelan. “Suhu tubuhnya kembali normal. Tapi... masih ada efek samping dari masa pembekuan. Ia mungkin tidak langsung ingat semuanya.”Aurora menahan napas. “Berapa lama dia bisa mulai bicara?”“Beberapa menit ke depan, jika semua berjalan baik.”Suasana di ruangan itu menegang. Setiap detik terasa seperti selamanya. Dan akhirnya, kelopak mata Kirana bergerak, lalu perlahan terbuka.Matanya yang hijau tajam menatap kosong pada langit-langit ruangan, sebelum berpindah ke wajah putrinya. Ada keraguan di sana... lalu ketakutan... lalu air
Pintu logam berkarat itu bergemuruh pelan saat terbuka, memperlihatkan lorong sempit yang dilapisi tembok logam usang. Bau besi tua dan lembap langsung menyergap penciuman Leo dan timnya. Di balik lorong itu, mereka tahu, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah nasib Eden.Leo melangkah pertama. Lampu sorot helmnya menyapu dinding yang dipenuhi bekas goresan—entah dari alat kerja atau sisa-sisa pertempuran masa lalu. Marco dan dua anggota lain membuntuti dengan senjata terangkat. Mereka tahu: satu kesalahan saja, dan sistem pertahanan Eden yang belum aktif selama bertahun-tahun bisa saja menyala kembali.“Aku menangkap energi panas di depan,” bisik Marco sambil memeriksa alat pendeteksi. “Tapi... tidak stabil. Seperti—”“—Seperti ada yang mencoba menyalakan sistem dari dalam,” potong Leo.Mereka mempercepat langkah, menuruni tangga spiral menuju ruang pusat kendali yang disebut dalam pesan Cassian. Semakin dalam mereka melangkah, semakin jelas terlihat bahwa tempat ini belum mati—ia ha
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a