Aurora duduk di dalam mobil dengan tangan mengepal di pangkuannya. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Leo duduk di sampingnya, tatapannya lurus ke depan, sementara Lorenzo mengemudi dengan ekspresi serius.
“Kita harus berhati-hati,” kata Lorenzo, memecah keheningan. “Orang-orang yang membunuh ayahmu mungkin masih mengincarmu, Aurora.” Aurora menoleh ke arah Lorenzo. “Aku tidak akan lari. Aku harus tahu siapa yang mengkhianati keluarga kami.” Leo mendesah. “Itu bukan hanya tentang menemukan pengkhianat, Aurora. Ini tentang bertahan hidup.” Aurora menatap Leo tajam. “Apa kau pikir aku tidak tahu itu?” Leo terdiam. Dia tahu Aurora keras kepala, tapi kali ini, situasinya lebih rumit dari yang ia duga. Mereka tiba di sebuah rumah persembunyian di pinggiran kota. Bangunan tua itu tampak sederhana dari luar, tetapi di dalamnya, perlengkapan keamanan yang canggih tersembunyi di balik dinding. Lorenzo membuka pintu dan memberi isyarat agar mereka masuk. Begitu masuk, Aurora melihat seseorang yang tak asing baginya—Nicolo, pria yang pernah menjadi pengawal setia ayahnya. Nicolo berdiri dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya tak terbaca. “Aurora,” katanya datar. Aurora menatapnya penuh selidik. “Kenapa kau ada di sini, Nicolo?” Nicolo menghela napas. “Aku selalu setia pada keluargamu. Aku tahu kau akan mencari jawaban, jadi aku menunggumu di sini.” Aurora melangkah maju. “Lalu, apa yang kau ketahui?” Nicolo menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku tahu seseorang dalam keluarga kita mengkhianati ayahmu. Tapi bukan hanya itu… ada orang lain yang menginginkan warisan DeLuca jatuh ke tangan mereka.” Aurora mengepalkan tangannya. “Siapa?” Nicolo ragu sejenak sebelum menjawab, “Giovanni Russo.” Aurora merasakan darahnya mendidih. Nama itu muncul lagi. “Kau yakin?” tanya Lorenzo. Nicolo mengangguk. “Aku melihatnya berbicara dengan orang-orang yang berkhianat pada ayah Aurora. Dia mungkin bukan dalang utama, tapi dia terlibat.” Aurora menatap Leo. “Kita harus menemukan Giovanni.” Leo mengangguk. “Aku sudah memikirkan hal yang sama.” Lorenzo menoleh ke Nicolo. “Kau bisa membantu kita?” Nicolo tersenyum tipis. “Aku tidak akan di sini kalau tidak mau membantu.” --- Beberapa jam kemudian, mereka menyusun rencana. Nicolo memberitahu mereka bahwa Giovanni sering terlihat di sebuah klub eksklusif di kota, tempat transaksi ilegal sering dilakukan. Aurora mengenakan gaun hitam ketat, rambutnya dibiarkan tergerai. Mata tajamnya bersinar penuh tekad. “Kau yakin ingin ikut?” tanya Leo. Aurora menatapnya dengan percaya diri. “Aku tidak akan duduk diam.” Lorenzo terkekeh. “Baiklah, nona DeLuca. Mari kita mulai permainan ini.” Mereka memasuki klub dengan mudah berkat koneksi Lorenzo. Musik menggelegar, lampu redup berkedip-kedip, dan aroma alkohol memenuhi udara. Aurora berjalan anggun ke tengah ruangan, mencuri perhatian banyak orang. Dia tahu Giovanni akan menyadari kehadirannya. Dan benar saja, dalam hitungan menit, seorang pria berjas mendekatinya. “Aurora DeLuca… Aku tidak menyangka kau akan datang ke tempat seperti ini.” Aurora menoleh. Giovanni Russo berdiri di hadapannya, senyumnya penuh tipu daya. “Aku datang untuk jawaban,” kata Aurora tanpa basa-basi. Giovanni tertawa pelan. “Jawaban? Sayang sekali, dunia kita tidak bekerja seperti itu.” Aurora mendekat, suaranya tajam. “Siapa yang membunuh ayahku?” Giovanni menatapnya lama, lalu berkata, “Kalau kau ingin tahu kebenarannya… datanglah ke gudang tua di dermaga tengah malam ini.” Aurora mengernyit. “Kenapa aku harus percaya padamu?” Giovanni tersenyum miring. “Karena aku satu-satunya yang bisa memberimu kebenaran.” Leo yang berdiri di dekat bar mengepalkan tangannya, siap menyeret Giovanni keluar. Tapi Aurora memberi isyarat agar dia tidak bertindak gegabah. “Baik,” kata Aurora akhirnya. “Aku akan datang.” Giovanni membungkuk sedikit. “Sampai nanti, principessa.” Setelah Giovanni pergi, Leo menghampiri Aurora dengan ekspresi tegang. “Apa yang kau pikirkan?” Aurora menatapnya tajam. “Aku ingin jawaban, Leo.” Leo mendecak. “Ini bisa jadi jebakan.” Lorenzo ikut menimpali. “Kalau begitu, kita harus bersiap.” --- Tengah malam, Aurora, Leo, Lorenzo, dan Nicolo tiba di dermaga. Suasana sepi, hanya suara ombak yang memecah keheningan. Mereka masuk ke dalam gudang tua yang gelap dan lembap. Giovanni sudah menunggu di sana, berdiri di tengah ruangan dengan tangan di saku jasnya. “Kau datang,” katanya santai. Aurora melangkah mendekat. “Katakan apa yang kau tahu.” Giovanni tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memberimu satu petunjuk.” Aurora menahan napas. “Pengkhianat itu ada di antara kalian.” Ruangan langsung terasa mencekam. Leo mengangkat senjata, begitu pula Lorenzo dan Nicolo. “Apa maksudmu?” tanya Aurora dengan suara dingin. Giovanni menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Cari tahu sendiri.” Tiba-tiba, suara tembakan menggema di udara. Aurora terkejut, jantungnya berdebar kencang. Giovanni tersenyum samar sebelum tubuhnya ambruk ke tanah—tertembak di dada. Aurora menoleh ke belakang. Nicolo berdiri dengan pistol berasap di tangannya. Aurora membeku. “Kenapa kau menembaknya?” teriak Aurora. Nicolo menatapnya dingin. “Karena dia terlalu banyak bicara.” Leo langsung mengarahkan pistolnya ke Nicolo. “Jadi kau pengkhianatnya?” Nicolo tertawa kecil. “Oh, Leo… Kau terlalu polos.” Lorenzo mengumpat. “Sial.” Aurora merasa dunianya runtuh. Seseorang yang dia percayai ternyata berkhianat. Nicolo tersenyum. “Permainan baru saja dimulai, Aurora.” Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. “Cepat, kita harus pergi!” seru Lorenzo. Leo menarik Aurora, dan mereka berlari keluar dari gudang, meninggalkan Nicolo yang masih berdiri di sana dengan senyum misteriusnya. Aurora tahu satu hal—ini belum berakhir. Malah, ini baru permulaan.Dua hari telah berlalu sejak kehancuran The Core. Eden gempar. Informasi tentang proyek rahasia yang dijalankan oleh Sylvarin menyebar ke berbagai penjuru dunia. Media internasional memberitakan eksperimen biogenetik dan manipulasi manusia yang dilakukan oleh kelompok rahasia bernama Silsilah Pertama. Nama-nama lama yang selama ini hilang dari sejarah kembali mencuat.Namun, bagi Leo, kemenangan itu terasa sementara.Di markas utama, Leo berdiri di ruang strategi bersama Aurora, Rania, Matteo, dan Elena. Peta kota Eden terpampang di layar besar, diselimuti titik-titik merah yang terus bertambah.“Aku sudah periksa semua jalur komunikasi bawah tanah,” kata Rania. “Dan ini bukan hanya sisa-sisa pasukan Sylvarin. Ada pergerakan baru. Sistem mereka aktif kembali.”Aurora menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Rania menghela napas dan mengetuk layar. “Ada penyusup dalam sistem kita. Seseorang dari dalam mencoba merebut kembali kendali atas jaringan Eden. Aku tidak yakin siapa... tapi kode enkri
Langit di utara Eden dipenuhi awan kelabu, menandai bahwa malam ini bukan malam biasa. Konvoi kecil yang terdiri dari tiga kendaraan lapis baja berhenti di batas hutan mati—area terlarang yang bahkan oleh penjaga Eden dianggap sebagai “zona tak kembali.” Tapi di sanalah The Core—fasilitas rahasia tempat Sylvarin, sosok misterius dari Silsilah Pertama, menjalankan eksperimen genetika tanpa batas.Leo turun dari kendaraan, helm hitam dengan teknologi taktis terpasang rapat di kepalanya. Di belakangnya, Aurora mengecek perlengkapan tempurnya dengan tenang. Rania berada di mobil kedua, membawa peralatan enkripsi dan komunikasi. Elena dan Marco memimpin pasukan infiltrasi.“Sensor thermal menunjukkan jalur terowongan ini masih aktif,” ujar Rania sambil menatap tablet di tangannya. “Tapi sinyal gangguan sudah terasa. Kemungkinan besar kita akan buta begitu masuk.”Leo memandang lubang masuk kanal yang tertutup semak dan besi tua. Bau lembab dan karat menyengat dari dalam.“Kita masuk dalam
Kapsul kaca tempat Kirana Vale terbaring perlahan dibuka, disertai desisan udara yang dilepaskan dari sistem pengaman biologis. Di ruangan medis markas bawah tanah mereka, Rania dan dua teknisi bekerja cepat. Aurora berdiri tak jauh dari ranjang darurat, jari-jarinya saling menggenggam erat. Leo berada di sampingnya, matanya tak lepas dari sosok wanita yang mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran.“Kita berhasil menstabilkan tekanan darahnya,” kata Rania pelan. “Suhu tubuhnya kembali normal. Tapi... masih ada efek samping dari masa pembekuan. Ia mungkin tidak langsung ingat semuanya.”Aurora menahan napas. “Berapa lama dia bisa mulai bicara?”“Beberapa menit ke depan, jika semua berjalan baik.”Suasana di ruangan itu menegang. Setiap detik terasa seperti selamanya. Dan akhirnya, kelopak mata Kirana bergerak, lalu perlahan terbuka.Matanya yang hijau tajam menatap kosong pada langit-langit ruangan, sebelum berpindah ke wajah putrinya. Ada keraguan di sana... lalu ketakutan... lalu air
Pintu logam berkarat itu bergemuruh pelan saat terbuka, memperlihatkan lorong sempit yang dilapisi tembok logam usang. Bau besi tua dan lembap langsung menyergap penciuman Leo dan timnya. Di balik lorong itu, mereka tahu, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah nasib Eden.Leo melangkah pertama. Lampu sorot helmnya menyapu dinding yang dipenuhi bekas goresan—entah dari alat kerja atau sisa-sisa pertempuran masa lalu. Marco dan dua anggota lain membuntuti dengan senjata terangkat. Mereka tahu: satu kesalahan saja, dan sistem pertahanan Eden yang belum aktif selama bertahun-tahun bisa saja menyala kembali.“Aku menangkap energi panas di depan,” bisik Marco sambil memeriksa alat pendeteksi. “Tapi... tidak stabil. Seperti—”“—Seperti ada yang mencoba menyalakan sistem dari dalam,” potong Leo.Mereka mempercepat langkah, menuruni tangga spiral menuju ruang pusat kendali yang disebut dalam pesan Cassian. Semakin dalam mereka melangkah, semakin jelas terlihat bahwa tempat ini belum mati—ia ha
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a