LOGINHal pertama yang menyambut Alya saat kesadarannya perlahan kembali adalah rasa nyeri yang tumpul namun persisten di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat seolah diisi timah, dan setiap sendinya mengirimkan sinyal protes saat ia mencoba bergerak. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali. Langit-langit berwarna kelam. Ini kamar Arka.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia menoleh ke samping. Jantungnya yang berdetak lemah seolah berhenti seketika. Di sudut ruangan yang gelap, di atas sebuah kursi berlengan yang besar, Arka tertidur dalam posisi duduk yang jelas tidak nyaman. Kepalanya terkulai ke samping, kemeja birunya kusut masai, dan rambutnya yang biasanya tertata sempurna kini jatuh berantakan menutupi keningnya. Satu tangannya yang terbalut perban terkulai lemas di sisinya. Dia di sini? Semalaman? Di kursi itu? batin Alya, mencoba memproses pemandangan yang tidak masuk akal itu. Pria yang semalam adalah monster, kini tertidur seperti seorang penjaga yang kelelahan. Otaknya tidak bisa memproses kontradiksi itu. Lalu matanya terpaku pada perban di tangan Arka. Ingatan samar tentang pecahan kaca dan perebutan tangan yang kasar melintas di benaknya, membuatnya semakin bingung. Gerakan kecil Alya di atas ranjang rupanya cukup untuk membangunkan Arka. Pria itu tersentak bangun, matanya langsung terbuka dan liar, mencari sumber gerakan. Saat matanya bertemu dengan tatapan Alya yang sayu, ekspresi liarnya langsung melembut, digantikan oleh raut lelah dan cemas yang kentara. Ia langsung berdiri dan menghampiri ranjang. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya, suaranya serak karena baru bangun tidur. Alya tidak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu. Melihat pria itu mendekat, tubuhnya secara refleks menegang, sebuah reaksi trauma yang tidak bisa ia kendalikan. Arka sepertinya menyadari itu. Ia berhenti beberapa langkah dari ranjang, tidak berani mendekat lebih jauh. Ia meraih interkom. “Mbak Rini, tolong siapkan bubur ayam yang sangat lembut dan jus buah. Bawa ke kamar sekarang.” Tak lama kemudian, Mbak Rini datang dengan nampan. Melihat Alya sudah sadar, wajahnya menunjukkan kelegaan yang tulus. “Syukurlah, Neng sudah sadar.” Arka mengambil alih nampan itu dari tangan Mbak Rini. “Biar saya saja. Kamu boleh kembali bekerja.” Ia meletakkan nampan itu di meja samping tempat tidur, lalu menarik sebuah kursi dan duduk di sisi ranjang, menjaga jarak yang aman. “Makan,” katanya. Itu masih sebuah perintah, tapi nadanya sangat berbeda. Ada permohonan di dalamnya. Alya menggeleng pelan. Perutnya terasa mual membayangkan makanan. “Kamu harus makan, Alya,” kata Arka lagi, lebih lembut. “Tubuhmu butuh energi untuk pulih. Sedikit saja.” Dengan tangan gemetar, Alya mencoba meraih sendok. Melihat itu, Arka ragu sejenak, lalu mengambil alih mangkuk dan sendok itu. Sebuah gerakan canggung yang menunjukkan ia tidak terbiasa melakukan ini. Ia menyendok sedikit bubur dan mengarahkannya perlahan ke bibir Alya. Saat sendok itu mendekat, Alya sedikit tersentak mundur. Arka menghentikan gerakannya. Ada kilatan sakit di matanya saat melihat reaksi Alya. Ia menarik sendok itu kembali. “Maaf,” bisiknya, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Ia meletakkan sendok itu kembali ke mangkuk. “Makanlah sendiri jika kamu bisa. Tapi kumohon, makanlah.” Melihat perubahan sikapnya, melihat kilatan rasa bersalah di matanya, Alya akhirnya meraih sendok itu dan mulai makan, suap demi suap, dengan perasaan hampa. Siang harinya, Dokter Wira datang kembali. Setelah memeriksa Alya, ia berbicara dengan Arka di sudut ruangan. “Kondisinya masih sangat lemah, Pak Arka. Secara fisik ia hanya butuh nutrisi dan istirahat total. Tapi yang lebih saya khawatirkan adalah kondisi psikisnya. Dia mengalami syok dan tekanan mental yang berat. Dia butuh lingkungan yang tenang dan bebas dari stres sama sekali. Hindari semua jenis tekanan.” Setelah dokter pergi, Arka berdiri diam di dekat jendela untuk waktu yang lama. Punggungnya yang tegap tampak menanggung beban yang berat. Lalu, Alya melihatnya mengeluarkan ponsel. “Halo, Vira… Iya, ini saya,” suara Arka terdengar tegas. “Alya Safitri tidak akan masuk kerja untuk waktu yang tidak ditentukan. Cuti sakit jangka panjang. Semua proyeknya, alihkan ke orang lain… Tidak ada pertanyaan. Ini perintah saya.” Telepon ditutup. Arka berbalik menatap Alya. “Kamu dengar. Lupakan semua pekerjaan. Fokus saja pada pemulihanmu.” Pekerjaanku. Satu-satunya hal yang menjadi identitas dan kebanggaan Alya di kota ini, kini telah direnggut darinya, meski dengan dalih perhatian. Ia terlalu lelah untuk berdebat. Sore harinya, saat Alya terbangun dari tidurnya, ia melihat tumpukan barang baru di meja samping tempat tidurnya. Sebuah tablet baru, beberapa novel best-seller, dan majalah-majalah fesyen. Arka masuk ke kamar, membawa segelas teh hangat. “Kamu mungkin bosan,” ujarnya sambil meletakkan teh itu. “Itu beberapa bacaan untukmu. Tabletnya sudah diisi dengan film dan musik.” Alya hanya menatap benda-benda itu dalam diam. Sebuah kompensasi? Sogokan? Atau perhatian tulus? Ia tidak tahu lagi. Arka berjalan menuju pintu untuk keluar. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, menatap Alya sekali lagi. Lalu ia menarik pintu, namun tidak menutupnya rapat-rapat. Ia sengaja membiarkannya sedikit terbuka. Setelah Arka pergi, Alya menatap celah pintu yang terbuka itu untuk waktu yang sangat lama. Pintu yang terkunci adalah penjara yang jujur. Tapi pintu yang sengaja dibiarkan terbuka… ini adalah penjara yang lebih kejam. Penjara yang mengejekmu dengan ilusi kebebasan. update 2 Bab setiap hari ya.Dua Tahun Kemudian... Di Bawah Langit Garut... Udara pagi di Garut terasa jernih dan sejuk, dipenuhi aroma tanah basah sisa hujan semalam dan wangi bunga-bunga dari taman Bu Aminah. Di dalam rumahnya yang kini terasa lebih ramai, Alya sedang dengan sabar menguncir rambut seorang gadis kecil yang duduk di pangkuannya. “Nah, sudah cantik putri Bunda,” bisik Alya sambil mengecup pipi gembil itu. Larasati Alya Wijaya, atau Lara, putrinya yang baru berusia satu setengah tahun, tertawa riang. Ia memiliki mata ibunya yang berbinar dan senyum ayahnya yang menawan. Kehadirannya adalah penanda dari babak baru kehidupan mereka yang penuh cinta. “Bunda! Ayah! Ayo, nanti kita terlambat!” seru sebuah suara yang tidak lagi terdengar kekanak-kanakan. Bara, yang kini sudah berusia delapan tahun, berdiri di ambang pintu, tampak gagah dengan kemeja batiknya. Ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas, percaya diri, dan sangat menyayangi adik pe
Sebulan kemudian, dedaunan di taman belakang rumah mereka di Jakarta mulai berguguran, menandai pergantian musim. Bagi Alya, itu juga terasa seperti penanda pergantian babak dalam hidupnya. Keputusan untuk kembali ke Garut telah dibuat, dan bulan terakhir mereka di Jakarta diisi dengan proses pelepasan yang manis dan teratur. Perpisahan pertama adalah dengan Nindya. Mereka duduk di kafe favorit mereka untuk terakhir kalinya. “Jadi lo beneran balik ke Garut?” tanya Nindya, ada nada sedih di balik gaya bicaranya yang jenaka. “Setelah semua perjuangan lo menaklukkan kota ini? Lo udah jadi Ratu di sini, Ly.” Alya tersenyum dan meraih tangan sahabatnya. “Aku sadar, Nin, aku ke sini bukan untuk menaklukkan Jakarta. Aku ke sini untuk menemukan kembali diriku dan menyembuhkan keluargaku. Dan sekarang, misinya sudah selesai. Rumah kami yang sebenarnya ada di sana.” “Janji ya, lo bakal sering ke sini atau gue yang bakal sering neror lo di sana,” ka
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah mewah Jakarta itu terasa begitu berbeda. Gema dari pertarungan, tangisan, dan pengkhianatan telah memudar, digantikan oleh kehangatan dari rutinitas keluarga yang damai. Dinding-dinding yang tadinya terasa dingin dan asing, kini dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa menenangkan. Pagi itu, Alya sedang berdiri di teras belakang dengan secangkir teh hangat, mengawasi Arka dan Bara yang sedang bermain sepak bola di taman. Arka, sang mantan Kaisar Es, kini tidak ragu untuk bergulingan di atas rumput dan membiarkan putranya menertawakannya. Ia telah menanggalkan jubah perangnya, dan kembali menjadi suami dan ayah seutuhnya. Melihat pemandangan itu, Alya merasakan gelombang kedamaian yang begitu sempurna hingga terasa sureal. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video dari Nindya. “Ly!” sapa Nindya heboh. “Gue masih nggak percaya tiap kali baca be
Sebulan kemudian, Alya menatap ke luar jendela ruang kerjanya. Pemandangan Jakarta yang dulu terasa mengancam, kini tampak berbeda. Itu hanyalah sebuah kota, latar dari kehidupannya yang baru. Kehidupan yang, secara ajaib, terasa begitu damai. Rumah mereka kini benar-benar terasa seperti rumah. Dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya yang bereksperimen di dapur, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa hangat dan menenangkan. Suaminya itu benar-benar telah berubah. Ia memimpin Arroihan Group dengan tangan yang kokoh namun adil, mendelegasikan lebih banyak, dan selalu memprioritaskan waktu untuk pulang dan makan malam bersama keluarganya. Hubungan Alya dengan Saphira—ia masih sulit membiasakan diri dengan nama itu—juga berkembang menjadi sesuatu yang unik. Mereka bukan sahabat, tapi mereka adalah sekutu yang solid. Mereka berkomunikasi hampir setiap hari, merancang setiap detail dari proyek “Wisma Kebaikan Rahman Wijaya” di Garut. Di antara diskusi tentan
Perjalanan menuju Puncak pada hari Selasa, 9 September 2025, terasa begitu berbeda dari semua perjalanan mereka sebelumnya. Udara di dalam mobil sunyi, namun bukan karena ketegangan atau amarah, melainkan karena sebuah perasaan gentar yang khusyuk. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka, tapi mereka berdua merasa bahwa ini adalah sebuah perjalanan menuju akhir dari sebuah bab yang panjang dan menyakitkan. “Menurutmu apa yang dia maksud dengan ‘keadilan’, Mas?” tanya Alya pelan. Arka menggeleng, matanya fokus pada jalanan yang menanjak. “Aku tidak tahu, Sayang. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dia sedang merencanakan sesuatu yang licik. Rasanya… berbeda.” Mereka tiba di depan rumah kayu kecil itu. Pemandangannya masih sama asrinya, namun auranya terasa lebih damai. Melati Suryo menyambut mereka di pintu dengan sebuah pelukan hangat untuk Alya. Matanya yang sembap menunjukkan bahwa ia telah banyak menangis, namun kini ada seberkas cahay
Beberapa minggu berlalu seperti sebuah mimpi yang indah. Rumah yang tadinya terasa seperti medan perang, kini telah berubah menjadi surga kecil yang sesungguhnya. Kepercayaan dan keintiman yang telah terjalin kembali di antara Alya dan Arka menjadi fondasi yang kokoh, mengubah setiap sudut rumah menjadi penuh kehangatan.Arka benar-benar menepati janjinya. Ia mendelegasikan lebih banyak pekerjaan pada Vira, menolak rapat-rapat yang tidak penting, dan selalu berusaha pulang sebelum Bara tidur. Sisi “manja”-nya yang dulu hanya muncul sesekali, kini menjadi bagian dari keseharian mereka—sebuah permintaan pelukan tiba-tiba di tengah kesibukan Alya, atau rengekan cemburu yang lucu saat Alya terlalu fokus pada Bara. Bagi Alya, semua itu adalah bukti cinta yang paling tulus.Alya sendiri menemukan dunianya. Kemenangannya di komite sekolah telah memberinya rasa hormat dan posisi yang tak terbantahkan. Ia kini memimpin program bimbingan membaca dengan penuh semangat, dan para ibu







