Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 39 - Perubahan Sang Tiran

Share

Bab 39 - Perubahan Sang Tiran

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-07-16 16:42:29

Hal pertama yang menyambut Alya saat kesadarannya perlahan kembali adalah rasa nyeri yang tumpul namun persisten di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat seolah diisi timah, dan setiap sendinya mengirimkan sinyal protes saat ia mencoba bergerak. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali. Langit-langit berwarna kelam. Ini kamar Arka.

Dengan sisa tenaga yang ada, ia menoleh ke samping. Jantungnya yang berdetak lemah seolah berhenti seketika.

Di sudut ruangan yang gelap, di atas sebuah kursi berlengan yang besar, Arka tertidur dalam posisi duduk yang jelas tidak nyaman. Kepalanya terkulai ke samping, kemeja birunya kusut masai, dan rambutnya yang biasanya tertata sempurna kini jatuh berantakan menutupi keningnya. Satu tangannya yang terbalut perban terkulai lemas di sisinya.

Dia di sini? Semalaman? Di kursi itu? batin Alya, mencoba memproses pemandangan yang tidak masuk akal itu. Pria yang semalam adalah monster, kini tertidur seperti seorang penjaga yang kelelahan. Otaknya tidak bisa memproses kontradiksi itu. Lalu matanya terpaku pada perban di tangan Arka. Ingatan samar tentang pecahan kaca dan perebutan tangan yang kasar melintas di benaknya, membuatnya semakin bingung.

Gerakan kecil Alya di atas ranjang rupanya cukup untuk membangunkan Arka. Pria itu tersentak bangun, matanya langsung terbuka dan liar, mencari sumber gerakan. Saat matanya bertemu dengan tatapan Alya yang sayu, ekspresi liarnya langsung melembut, digantikan oleh raut lelah dan cemas yang kentara. Ia langsung berdiri dan menghampiri ranjang.

“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya, suaranya serak karena baru bangun tidur.

Alya tidak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu. Melihat pria itu mendekat, tubuhnya secara refleks menegang, sebuah reaksi trauma yang tidak bisa ia kendalikan.

Arka sepertinya menyadari itu. Ia berhenti beberapa langkah dari ranjang, tidak berani mendekat lebih jauh. Ia meraih interkom. “Mbak Rini, tolong siapkan bubur ayam yang sangat lembut dan jus buah. Bawa ke kamar sekarang.”

Tak lama kemudian, Mbak Rini datang dengan nampan. Melihat Alya sudah sadar, wajahnya menunjukkan kelegaan yang tulus. “Syukurlah, Neng sudah sadar.”

Arka mengambil alih nampan itu dari tangan Mbak Rini. “Biar saya saja. Kamu boleh kembali bekerja.”

Ia meletakkan nampan itu di meja samping tempat tidur, lalu menarik sebuah kursi dan duduk di sisi ranjang, menjaga jarak yang aman. “Makan,” katanya. Itu masih sebuah perintah, tapi nadanya sangat berbeda. Ada permohonan di dalamnya.

Alya menggeleng pelan. Perutnya terasa mual membayangkan makanan.

“Kamu harus makan, Alya,” kata Arka lagi, lebih lembut. “Tubuhmu butuh energi untuk pulih. Sedikit saja.”

Dengan tangan gemetar, Alya mencoba meraih sendok. Melihat itu, Arka ragu sejenak, lalu mengambil alih mangkuk dan sendok itu. Sebuah gerakan canggung yang menunjukkan ia tidak terbiasa melakukan ini. Ia menyendok sedikit bubur dan mengarahkannya perlahan ke bibir Alya. Saat sendok itu mendekat, Alya sedikit tersentak mundur.

Arka menghentikan gerakannya. Ada kilatan sakit di matanya saat melihat reaksi Alya. Ia menarik sendok itu kembali. “Maaf,” bisiknya, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Ia meletakkan sendok itu kembali ke mangkuk. “Makanlah sendiri jika kamu bisa. Tapi kumohon, makanlah.”

Melihat perubahan sikapnya, melihat kilatan rasa bersalah di matanya, Alya akhirnya meraih sendok itu dan mulai makan, suap demi suap, dengan perasaan hampa.

Siang harinya, Dokter Wira datang kembali. Setelah memeriksa Alya, ia berbicara dengan Arka di sudut ruangan. “Kondisinya masih sangat lemah, Pak Arka. Secara fisik ia hanya butuh nutrisi dan istirahat total. Tapi yang lebih saya khawatirkan adalah kondisi psikisnya. Dia mengalami syok dan tekanan mental yang berat. Dia butuh lingkungan yang tenang dan bebas dari stres sama sekali. Hindari semua jenis tekanan.”

Setelah dokter pergi, Arka berdiri diam di dekat jendela untuk waktu yang lama. Punggungnya yang tegap tampak menanggung beban yang berat. Lalu, Alya melihatnya mengeluarkan ponsel.

“Halo, Vira… Iya, ini saya,” suara Arka terdengar tegas. “Alya Safitri tidak akan masuk kerja untuk waktu yang tidak ditentukan. Cuti sakit jangka panjang. Semua proyeknya, alihkan ke orang lain… Tidak ada pertanyaan. Ini perintah saya.”

Telepon ditutup. Arka berbalik menatap Alya. “Kamu dengar. Lupakan semua pekerjaan. Fokus saja pada pemulihanmu.”

Pekerjaanku. Satu-satunya hal yang menjadi identitas dan kebanggaan Alya di kota ini, kini telah direnggut darinya, meski dengan dalih perhatian. Ia terlalu lelah untuk berdebat.

Sore harinya, saat Alya terbangun dari tidurnya, ia melihat tumpukan barang baru di meja samping tempat tidurnya. Sebuah tablet baru, beberapa novel best-seller, dan majalah-majalah fesyen. Arka masuk ke kamar, membawa segelas teh hangat.

“Kamu mungkin bosan,” ujarnya sambil meletakkan teh itu. “Itu beberapa bacaan untukmu. Tabletnya sudah diisi dengan film dan musik.”

Alya hanya menatap benda-benda itu dalam diam. Sebuah kompensasi? Sogokan? Atau perhatian tulus? Ia tidak tahu lagi.

Arka berjalan menuju pintu untuk keluar. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, menatap Alya sekali lagi. Lalu ia menarik pintu, namun tidak menutupnya rapat-rapat. Ia sengaja membiarkannya sedikit terbuka.

Setelah Arka pergi, Alya menatap celah pintu yang terbuka itu untuk waktu yang sangat lama. Pintu yang terkunci adalah penjara yang jujur. Tapi pintu yang sengaja dibiarkan terbuka… ini adalah penjara yang lebih kejam. Penjara yang mengejekmu dengan ilusi kebebasan.

update 2 Bab setiap hari ya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 196 - Sang Dalang

    ​Perjalanan pulang dari Puncak diselimuti oleh keheningan yang tebal dan berat. Raka, yang mengerti bahwa kedua sahabatnya itu butuh ruang, mengambil alih kemudi, membiarkan Arka duduk di kursi penumpang depan dan Alya di belakang. Bara tertidur pulas, tidak menyadari beban sejarah yang baru saja diletakkan di pundak kedua orang tuanya.​Alya menatap punggung suaminya. Arka hanya duduk diam, menatap kosong ke jalanan gelap di depan. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang CEO yang marah atau seorang ahli strategi yang dingin. Ia terlihat… hancur. Pria yang seumur hidupnya bertarung demi nama keluarga dan kehormatan ibunya, baru saja mengetahui bahwa ibunya sendiri adalah arsitek dari potensi kehancurannya.​Rasa benci Alya pada Sandra kini terasa berbeda. Dulu ia membenci wanita itu karena kesombongan dan kekejamannya. Sekarang, ia membencinya dengan tingkat yang baru, karena Sandra tidak hanya menyakitinya, tapi telah mengkhianati dan merusak putranya sendiri dengan cara yan

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 195 - Pengakuan Terakhir

    ​Perjalanan menuju Puncak terasa seperti sebuah pelarian menembus kegelapan. Alya menatap ke luar jendela, lampu-lampu kota yang tadinya terasa mengancam kini perlahan menghilang, digantikan oleh pepohonan gelap dan jalanan yang menanjak. Udara di dalam mobil terasa begitu tegang, hanya diisi oleh suara napas mereka yang teratur dan deru mesin.​Mereka tiba di Panti Wreda Kasih Ibu lewat tengah malam. Tempat itu sunyi senyap, diselimuti oleh kabut tipis khas pegunungan. Di dekat gerbang yang tertutup, sebuah mobil yang familier terparkir di bawah lampu jalan yang remang. Raka sedang bersandar di kap mobil, menunggu mereka.​Saat Alya dan Arka turun, hawa dingin Puncak langsung menyergap mereka.​“Kalian akhirnya sampai,” sapa Raka, nada bercandanya hilang, digantikan oleh keseriusan. “Gue udah di sini dari sejam yang lalu.”​“Bagaimana situasinya?” tanya Arka cepat. “Apa ada yang aneh?”​“Aman. Sepi banget,” jawab Raka. “Gue udah ‘mengobrol’ sama satpam yang jaga

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 194 - Langkah Balasan

    ​Keheningan di ruang kerja itu terasa berat, dipenuhi oleh kengerian dari kebenaran yang baru saja terungkap. Alya menatap layar ponsel di tangan Arka, nama ‘Yayasan Larasati’ dan ‘Seraphina Wijoyo’ seolah menari-nari mengejeknya.​“Dia tahu,” bisik Alya, suaranya bergetar. “Dia tidak hanya tahu kita sudah bertemu dengan Ibu Melati. Dia tahu setiap langkah kita, Mas. Dia mengawasi kita.”​Perasaan diawasi, perasaan bahwa benteng aman di rumah mereka hanyalah sebuah ilusi, membuat Alya bergidik. ‘Habislah sudah,’ batinnya putus asa. ‘Dia mengendalikan semuanya. Kita tidak akan pernah bisa menang.’​Arka tidak panik. Alya memperhatikan bagaimana suaminya itu memproses keterkejutan. Wajahnya yang tadinya pucat pasi, kini perlahan mengeras menjadi sebuah topeng baja yang dingin. Ia mulai berjalan mondar-mandir, bukan karena cemas, tapi karena otaknya yang tajam sedang bekerja dengan kecepatan kilat.​“Ini bukan sekadar untuk mengisolasi Melati,” kata Arka, lebih pada dir

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 193 - Wali Rahasia

    ​Pertanyaan terakhir Alya menggantung di udara ruang kerja yang sunyi. “Apa hubungan sebenarnya antara ayahku… dan kakakmu?”​Arka menatap dokumen digital di hadapannya, lalu menatap Alya. Wajahnya dipenuhi oleh kebingungan dan rasa sakit yang sama besarnya dengan yang Alya rasakan. Semua yang ia pikir ia tahu tentang ayahnya, tentang keluarganya, kini terasa seperti tumpukan kebohongan.​“Aku tidak tahu, Sayang,” jawab Arka jujur, suaranya terdengar berat. “Aku sama sekali tidak tahu. Ayahmu… dia tidak hanya melindungi Melati. Dia secara aktif terlibat dalam kehidupan Saphira. Memberikan nama keluarganya… itu bukan hal kecil. Itu adalah sebuah deklarasi. Sebuah bentuk tanggung jawab.”​Alya mencoba mencerna implikasi dari semua ini. Ayahnya, yang selama ini ia kenal sebagai pria sederhana dari Garut, ternyata memainkan peran kunci dalam salah satu drama keluarga paling rahasia di Jakarta. Ia bukan sekadar korban, ia adalah salah satu pemain utamanya.​“Tapi kenapa?”

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 192 - Dua Darah, Satu Dendam

    Panggilan telepon itu berakhir, namun gema dari tekad Alya masih tertinggal di udara. Arka menatap layar televisi yang masih menampilkan wajah Seraphina, namun kini tatapannya tidak lagi dipenuhi amarah, melainkan kekaguman pada istrinya. Alya benar. Panik adalah jebakan Seraphina. Dan mereka tidak akan masuk ke dalamnya.​Dengan ketenangan yang baru ditemukan, Arka kembali meraih ponselnya. Alya, yang masih berdiri di dekat televisi, memperhatikannya. Ia mendengar suaminya berbicara di telepon, bukan lagi dengan nada frustrasi, melainkan dengan suara dingin dan penuh wibawa sang komandan.​“Vir, kau lihat beritanya,” kata Arka pada Vira. “Aku mau kau yang pegang kendali penuh atas respons media dan investor. Strategi kita bertahan, beli waktu. Jangan panik, jangan defensif. Rilis siaran pers yang menyatakan kita ‘menyambut baik semua proposal yang bertujuan untuk kemajuan’ dan sedang ‘mengkajinya secara internal’. Buat mereka

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 191 - Serangan Fajar

    Senin pagi, 8 September 2025, dimulai dengan ketenangan yang terasa palsu. Kehangatan intim dari akhir pekan masih tersisa, namun kini dibalut dengan lapisan energi yang tegang. Di meja makan, Arka sudah rapi, namun matanya tak lepas dari tablet yang menampilkan data pasar saham.​“Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata terakhirnya, Mas,” kata Alya sambil meletakkan secangkir kopi di samping suaminya. “‘Adikku’. Dia mengatakannya dengan begitu santai, seolah itu bukan apa-apa.”​Arka mendongak, meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat. “Itu adalah gayanya, Sayang. Menjatuhkan bom seolah itu hanya kerikil. Dia ingin kita kehilangan keseimbangan dan terus memikirkannya. Jangan berikan kepuasan itu padanya. Hari ini kita fokus, tetap pada rencana kita.”​Setelah sarapan, Alya bersiap mengantar Bara. Arka menahannya di depan pintu, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.​“Apapun yang terjadi hari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status