35)Wanita yang kerap berpakaian modis itu menyandarkan tubuhnya di kursi hotel, menggenggam ponselnya dengan erat. Dalam benaknya, Irish sudah menyusun rencana baru. Jika Teguh tidak ada di Bali, maka ia akan mencari tahu di mana sebenarnya mereka berada dan memastikan bulan madu mereka tidak berjalan mulus.Sementara itu, di bandara yang berbeda, Sakinah dan Teguh bersiap untuk memasuki pesawat menuju Lombok. Sakinah yang melihat Teguh tersenyum penuh keyakinan, merasakan ketenangan. Meski tanpa mengetahui apa rencana Teguh sepenuhnya setelah mereka sampai di sana, ia percaya, perjalanan bulan madu kali ini akan menjadi momen istimewa untuk mereka berdua.Teguh meraih pinggang Sakinah dengan tangan kirinya dengan posesif, seakan ingin menunjukkan pada dunia kalau Sakinah adalah miliknya.“Mas, malu ih diliatin orang-orang,” ucap Sakinah dengan nada protes.“Bodo amat, Sayang. Toh mereka juga nggak kenal kita,” sahut Teguh yang makin mengeratkan dekapannya. Sakinah tersipu malu, kedu
Bab 34Hari-hari pun telah berlalu seperti biasanya sejak kejadian tempo hari. Tidak ada hal besar yang terjadi selama beberapa hari, baik Sakinah maupun para tantenya tampak mengurangi omelannya. Mengingat jika mereka harus menjaga sikap mendekati acara liburan ke Lombok dengan Sakinah dan Teguh.“Wah, akhirnya hari ini tiba juga,” ucap Ratih semringah.“Bener, Ratih. Ah, tante hadi nggak sabar pakai bikini dan main di laut,” sahut Tante Rara.Pun begitu juga dengan Tante Nunik dan Nek Widia yang tampak antusias. Deretan koper mereka sudah siap untuk dibawa. Pada pagi yang cerah itu, semua persiapan sudah selesai. Sakinah dan Teguh bersama Nek Widia, Tante Nunik, Tante Rara, serta Ratih tampak bersiap-siap setelah sarapan untuk menuju bandara. Hati Sakinah berdebar, dan ia sesekali melirik Teguh yang tampak tenang namun penuh percaya diri. Sakinah mulai pasrah dan menduga jika mungkin saja Teguh pasti sudah menyiapkan kejutan yang tak akan disangka oleh keluarganya.“Apa Mas Teguh p
Bab 33Sore itu, setelah menghabiskan waktu cukup lama di kafe untuk menenangkan pikiran, Sakinah akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam rumah dan tentu saja bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan dia hadapi. Begitu memasuki rumah, ia mendapati suasana yang cukup lengang. Namun, tak lama kemudian, suara Tante Rara terdengar dari ruang tamu.“Dari mana aja kamu!” serunya dengan nada tinggi.Sakinah yang sudah mempersiapkan mental pun hanya menjawab singkat. “Aku ada urusan, Tante.”Namun, Tante Nunik yang juga berada di ruang tamu langsung memotong. “Urusan apa? Sekarang kamu udah mulai seenaknya sendiri, ya? Lupa kalau ini rumah siapa?”Nek Widia pun ikut bergabung, menatap Sakinah dengan tatapan tajam. “Kamu pikir kamu bisa bebas gitu aja, Sakinah? Kamu harus ingat siapa yang ngasih kamu tempat tinggal.”Sakinah merasa dadanya mulai sesak, namun ia tetap berusaha menjaga ketenangannya. Ia tersenyum penuh makna. “Ruma
32)Sakinah menatap pantulan dirinya di cermin, memastikan pakaian yang dikenakannya rapi dan hijab pashmina yang ia pilih kali ini tersampir dengan manis di kepala. Sambil merapikan tas selempang kecilnya yang memang sudah tidak baru lagi, Sakinah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran dari ocehan-ocehan yang sering kali ia dengar dari bibinya.Begitu membuka pintu kamar, langkahnya terhenti saat mendapati Tante Rara sedang duduk di ruang tamu dengan tatapan mengintai. Matanya menyipit, penuh selidik, lalu melontarkan pertanyaan dengan nada yang meremehkan.“Sakinah, mau ke mana kamu? Rapi banget, pakai hijab pashmina segala gitu. Mau pamer di luar, ya?” sindir Tante Rara dengan nada sinis.Sakinah menatap Tante Rara sejenak, merasa tak perlu menjawab panjang lebar. “Aku mau keluar sebentar, ada urusan, Tante. Jadi, tolong jangan kepo apalagi ikut campur,” jawabnya dengan nada tenang tapi tegas.Sebenarnya, tidak ada hal penting yang hendak Sakinah lakukan. Akan tetap
31)“Kamu habis dari mana, Mbak Sakinah?” tanya Ratih begitu melihat Sakinah yang pulang ke rumah dengan membawa beberapa barang bawaan.“Belanja,” sahut Sakinah tanpa beban. Mendengar jawaban Sakinah, para tantenya keluar dari kamar untuk melihat apa saja yang Sakinah beli.“Tumben kamu nggak pergi kerja ke warung soto, dan malah belanja banyak gini. Dalam rangka apa?” Tante Rara bertanya dengan nada penasaran sambil melirik ke arah beberapa paper bag di kedua tangan Sakinah. “Nggak dalam rangka apa-apa kok, cuma pengen belanja aja, Tante. Oh ya, mulai kemarin aku udah berhenti kerja di warung soto.” Sakinah tersenyum kecil dan mengakui kalau dia sudah tidak berhenti kerja lagi.“Kenapa berhenti? Capek ya jadi tukang cuci piring, padahal kerjaan itu paling cocok buat kamu, Mbak?” sindir Ratih seraya tertawa mengejek.“Iya dong, Ratih, suamiku kan kaya, jadi aku cuma mau ongkang-ongkang kaki aja ngabisin uang suami! Oh ya, kata Bu Marini apa kamu mau gantiin aku kerja di sana?” sahut
30)Teguh seperti biasa memulai harinya di kantor dengan jadwal yang padat. Meeting demi meeting terjadwal hingga dia hampir tak punya waktu luang. Pekerjaan yang menumpuk, analisis laporan yang terus berdatangan, membuat Teguh sepenuhnya fokus pada pekerjaannya. Namun, di sela-sela kesibukannya itu, pikirannya tetap sesekali melayang ke Sakinah, memikirkan bagaimana ia berusaha keras untuk menjaga kenyamanan dan kebahagiaan istrinya di tengah keluarga Sakinah yang kerap menyulitkan.Waktu terus berjalan hingga akhirnya jam makan siang tiba. Teguh berencana untuk makan di luar setelah meminta Vidia memesan tempat di restoran favoritnya. Namun, saat ia baru saja bersiap-siap untuk keluar, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu."Teguh!" Suara ceria seorang wanita yang tak asing terdengar jelas di telinga Teguh.Teguh mendongak, dan mendapati Irish, dengan senyum lebarnya, berjalan masuk ke dalam ruangannya tanpa diundang. Wanita itu membawa sebuah kotak makan